Sentimen
Negatif (61%)
20 Okt 2024 : 07.05
Informasi Tambahan

Kasus: KKN

Partai Terkait

Kenapa Retno Marsudi yang Berprestasi Cemerlang Tidak Masuk Kabinet Prabowo-Gibran?

20 Okt 2024 : 14.05 Views 2

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Kenapa Retno Marsudi yang Berprestasi Cemerlang Tidak Masuk Kabinet Prabowo-Gibran?

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menyayangkan keputusan tidak terpilihnya Retno Marsudi dalam kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, padahal menteri Luar Negeri dua periode itu dinilai sangat berprestasi.

Feri menyoroti perubahan arah diplomasi Indonesia yang dikaitkan dengan pendekatan maskulin, mempertanyakan mengapa feminisme dipandang negatif.

"Emang apa salahnya dengan feminisme?," ujar Feri dikutip dalam unggahan akun x @CakKhum (18/10/2024).

Menurutnya, Retno Marsudi telah menunjukkan kinerja yang gemilang di dunia internasional, termasuk ketika Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

"Bukankah Bu Retno tampil sangat berlian dalam diplomasi kemarin? Pertama kali Indonesia menjadi anggota dewan keamanan (PBB), tapi tidak dipilih jadi Menteri yang berprestasi seperti ini," tukasnya.

Blak-blakan, Feri menyayangkan bahwa prestasi ini tidak mendapat penghargaan yang setimpal, dan justru Retno tidak dipilih kembali dalam kabinet baru.

"Diplomasi tadi soal maskulin dan feminim bahwa ini pertama kali Indonesia menunjukkan keberanian luar biasa dalam forum-forum PBB itu workout berapa kali," sebut Feri.

"Ini luar biasa sekali menurut saya. Jadi untuk diplomasi ini perlu diberikan nilai B plus nih. Malah ternyata tidak dipilih itu," tambahnya.

Ia juga menyinggung tentang penunjukan pejabat yang memiliki hubungan keluarga dengan Presiden, seperti keponakan yang menjadi Wakil Menteri Keuangan.

"Kalau soal KKN, tetap KKN ada keponakannya jadi Wakil Menteri Keuangan. Faktanya begitu," Feri menuturkan.

Bagi Feri, isu utama bukanlah soal hubungan keluarga, tetapi lebih kepada kompetensi individu yang dipilih.

"Jadi bagi saya, sebenarnya bukan soal keluarga atau tidak keluarga. Tapi anda berkapasitas atau tidak. Nah apakah dengan seluruh orang begitu, sebanyak ini betul-betul akan mewujudkan sistem presidensial yang efektif dan efisien," cetusnya.

Ia kemudian membandingkan dengan Brasil, yang memiliki sistem presidensial serupa tetapi hanya memiliki 23 menteri, jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia yang memiliki 49.

"Jadi ada relasi koalisi di parlemen dibawa juga di eksekutif ternyata jumlah Menterinya 23. Kita kenapa 49 atau kurang dari itu," tukasnya.

Feri bilang, jumlah menteri yang terlalu besar, yang menurutnya dapat menyebabkan kekacauan birokrasi.

"Catatan kami di penelitian, sudah diberikan kepada pemerintah-pemerintah yang ada. Kita hanya membutuhkan 21 Kementerian supaya juga tidak kacau," tandasnya.

Menurut Feri, semakin banyak kementerian, semakin besar peluang munculnya peraturan menteri yang berlebihan, yang pada akhirnya membuat birokrasi semakin rumit.

"Karena kekacauan birokrasi kita dimulai dari peraturan menteri. Makin besar Menterinya, makin banyak peraturan menteri, makin kacau birokrasi," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Sentimen: negatif (61.5%)