Sentimen
Negatif (94%)
7 Okt 2024 : 00.23
Informasi Tambahan

Institusi: UGM

Perempuan Lebih Rentan dari Dampak Perubahan Iklim

7 Okt 2024 : 07.23 Views 3

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Perempuan Lebih Rentan dari Dampak Perubahan Iklim

JOGJA-Kepala Bidang Kualitas Hidup (KLH) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Rofiqoh Widiastuti menilai perempuan dan anak paling beresiko terkena dampak dari perubahan iklim, mulai dari krisis pangan, kesehatan dan sanitasi, akses air bersih, hingga ekonomi.

Belum lagi perempuan juga menghadapi hambatan sosial, ekonomi, dan politik yang membatasi kapasitas mereka untuk mengatasinya. "Keterbatasan mobilitas  menempatkan perempuan di daerah pedesaan pada suatu posisi di mana mereka dipengaruhi oleh perubahan iklim secara tidak proporsional," kata Rofiqoh dalam Talkshow di Radio Starjogja FM, Kantor Harian Jogja, Jumat (4/10/2024).

Talkshow Harmoni Keluarga dengan tema Perubahan Iklim dan Ekonomi Perempuan itu terselenggara atas kerjasama DP3AP2 DIY, Starjogja FM, dan Harian Jogja. Selain Rofiqoh Widiastuti, narasumber dalam Talkshow tersebut adalah Dosen pada Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yulida Pangastuti.

Rofiqoh mengatakan perempuan terutama di pedesaan paling rentan ketika mereka sangat tergantung pada sumber daya alam lokal untuk mata pencaharian. Tuntutan tersebut dengan tanggung jawab untuk mengamankan air, makanan dan bahan bakar untuk memasak. 

Ia mencontohkan ketika terjadi kekeringan sebagai dampak perubahan iklim maka perempuan petani kesulitan akses pangan. Demikian ketika suami penghasilannya kurang, misalnya dari hasil pertanian atau nelayan, maka perempuan yang terdampak langsung karena perempuan akan mendahulukan untuk makan suami dan anak. 

BACA JUGA: Ini Upaya DP3AP2 DIY Menangani dan Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Selain itu juga dapat berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika suami tidak bisa mengontrol emosi di tengah kekurangan ekonomi. "Karena itu penting untuk identifikasi strategi yang peka terhadap gender untuk menanggapi krisis lingkungan dan kemanusiaan yang disebabkan oleh perubahan iklim dari semua stakeholder," ujarnya.

Dari DP3AP2 sendiri sudah melakukan berbagai upaya pendekatan, diantaranya pemberdayaan ibu-ibu melalui Desa Prima dalam pengelolaan sampah sebagai bagian kepedulian lingkungan sekaligus menambah income keluarga. Mengkampanyekan peduli lingkungan dengan mengurangi sampah mulai dari lingkungan keluarga, membiasakan untuk makan dari lingkungan sendiri melalui real food bukan makanan cepat saji, menanam bahan makanan di sekitar rumah, mengurangi penggunaan plastik.

Tidak hanya di DP3AP2, namun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya juga diharapkan agar dalam mengeluarkan kebijakan harus mengarusutamakan gender, misalnya di Dinas Sosial dalam menyalurkan bantuan juga harus melihat bahwa kepala keluarga tidak hanya laki-laki namun juga banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.

"Artinya strategi pengarusutamaan gender ta hanya dinas kami tapi terintegrasi semua OPD," kata dia.

Rofiqoh juga mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang soal relasi kesetaraan dimulai dari lingkungan kecil, yakni keluarga. " Mengubah cara pandang bahwa perempuan dan laki laki dalam pembangunan punya hak sama pada akses, kontrol dan manfaat pembangunan. Tanpa ada pengecualian," ujarnya. Kemudian ketika perempuan bekerja hanya sebagai tambahan income keluarga tapi dilihat dari sisi kinerja dan profesionalitas.

Sementara Dosen pada Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yulida Pangastuti mengatakan dampak perubahan iklim tidak hanya sehari dua hari, namun jangka panjangnya sudah terasa, misalnya cuaca panas hingga terjadinya bencana kekeringan yang berakibat pada pengurangan suplai air bersih masyarakat.

Hal itu dipengaruhi karena sejumlah sebab di antaranya pembangunan masif, penebangan pohon tanpa mengedepankan konservasi air. Sehingga sumber air bersih berkurang, berdampak pada petani gagal panen. "Bagi warga perkotaan yang ekonomi menengah ke atas mungkin tidak merasakan dampak itu karena mereka merasa terlindungi dengan membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara warga miskin tidak mampu melakukan itu. Ini harus menjadi perhatian," katanya. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sentimen: negatif (94.1%)