Sentimen
Informasi Tambahan
Club Olahraga: Arsenal
Event: Liga Inggris
Kab/Kota: Madiun, London
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Kesaktian Pancasila, Belajar dari Rwanda
Detik.com Jenis Media: News
Hari ini, 1 Oktober 2024, Bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan tersebut didasari atas 'kesaktian' Pancasila yang tetap kokoh berdiri menjadi payung besar kebhinekaan bangsa.
Sebagaimana diketahui, pada 1965, Pancasila mendapat rongrongan kejam dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berujung pada Gerakan 30 September (G/30/S/PKI). Momen itu bukan yang pertama, karena di tahun 1948, PKI juga melakukan pemberontakan untuk mengubah Pancasila, tepatnya pemberontakan di Madiun.
Dua kali percobaan pemberontakan yang gagal di atas menunjukkan Pancasila semakin kuat sebagai pegangan dan the way of life seluruh elemen. Di dalamnya memuat pengakuan akan Religiusitas (Ketuhanan), Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Lima sila tersebut yang menjadi kesepakatan bangsa ini sebagai modal dasar dalam pergaulan antar bangsa.
Meski begitu, bangsa Indonesia harus melangkah maju, menatap ke depan, seraya menjadikan masa kelam G/30/S sebagai pelajaran bagi generasi masa depan. Terkait hal tersebut, pada akhir September ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melakukan langkah penting dengan pencabutan tiga Tap MPR, yaitu TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 terkait dengan Presiden Soekarno, TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 yang dikaitkan dengan Presiden Suharto, dan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pertanggung jawaban Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dengan pencabutan tiga TAP MPR tersebut, maka nama baik para mantan Presiden Indonesia itu dipulihkan. Bahkan MPR juga mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan kepada ketiga tokoh besar Republik dimaksud. Apa pelajaran dari kebijakan itu?
Bahwasannya bangsa Indonesia harus melangkah maju, melakukan pembangunan di semua bidang untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Dalam kampanye ke sana, dibutuhkan energi besar dan kolektif untuk merealisasikan impian tersebut. Salah satunya melalui penghentian rasa saling curiga antar kelompok, permusuhan antar generasi, yang pada gilirannya membuat kita terjebak dalam konflik internal tak berkesudahan.
Tentu saja kita tidak melupakan berbagai kesalahan di masa lalu. Tetapi kita juga tak adil jika tidak mengindahkan capaian dan sumbangsih besar para pemimpin bangsa itu. Keberadaan TAP MPR sekian dekade, lebih dari cukup sebagai penanda bahwa pernah terjadi peristiwa tersebut. Namun setiap generasi punya caranya sendiri untuk membawa bangsanya maju di eranya masing-masing.
Cara Rwanda
Apa yang dilakukan Rwanda paling tidak bisa menjadi contoh bagi kita, bagaimana negara di Sub Sahara tersebut menyelesaikan masa lalunya secara beradab dan kini melangkah maju menjadi The Singapore of Africa.
Pada 1994, negara tersebut terkoyak perang saudara yang berlangsung 100 hari dan menewaskan lebih dari 800.000 jiwa. Genosida tidak hanya meminta nyawa, melainkan juga hilangnya harapan generasi muda.
Setelah era kegelapan berakhir, para pemimpin Rwanda bersepakat untuk menuntun negaranya keluar dari jurang permusuhan. Selanjutnya mereka menatap jauh ke depan, dengan pembangunan SDM, budaya dan ekonomi.
Dari sejumlah kebijakan yang dilakukan, dua yang utama adalah adanya kepemimpinan yang kuat untuk menciptakan stabilitas politik. Rwanda di bawah kepemimpinan Presiden Paul Kagame sejak tahun 2000 memprioritaskan stabilitas politik dan keamanan. Stabilitas ini sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Pemerintah juga menerapkan pendekatan zero tolerance terhadap korupsi yang berkontribusi pada tata kelola pemerintahan yang baik dan kepercayaan investor asing.
Berikutnya, rekonsiliasi dan persatuan nasional. Genosida yang mengerikan pada tahun 1994 menghancurkan negara tersebut, tetapi pemerintah Rwanda fokus pada proses rekonsiliasi dan penyembuhan sosial. Program-program seperti Gacaca Courts (pengadilan tradisional) digunakan untuk mengadili pelaku genosida di tingkat komunitas, sementara pemerintah mempromosikan persatuan nasional dan menghindari identifikasi etnis secara resmi. Hal ini menciptakan kohesi sosial yang penting untuk pembangunan jangka panjang.
Lepas 30 tahun pasca tragedi, 2024, negara kecil di Barat Afrika tersebut berhasil membangun ekonomi dan sosial. Negara berpenduduk 13 juta jiwa tersebut sejak awal berfokus menata industri pariwisata sebagai sumber utama devisa. Hasilnya luar biasa, sektor ini berhasil berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Peran sektor pariwisata melesat hingga mencapai US$ 247 juta pada semester I-2023. Nilai itu naik tajam dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022 sebesar US$ 158 juta (World Bank).
Tak hanya itu, budaya rakyat Rwanda juga berbeda dengan kebanyakan negara Afrika, khususnya dalam kebersihan kota. Di Kagali misalnya, tidak ada sampah dan puntung rokok di jalan. Bahkan penggunaan bungkus plastik pun telah lama dilarang secara resmi.
Tak cukup disitu? Bagi kita yang suka menonton Liga Inggris (EPL), Rwanda sejak beberapa tahun lalu menjadi sponsor klub besar London, Arsenal.
Kisah awal kesuksesan itu dimulai saat masa-masa awal pasca tragedi genosida, karena Kagame membuka diri kepada semua peneliti dan filmmaker dunia untuk menulis dan memotret tragedi tersebut secara bebas. Tidak ada monopoli kebenaran dari suku Hutu yang mayoritas atau Tutsi yang banyak mendominasi elit sebelum genosida terjadi.
Pemerintah justru mendorong para peneliti dan sineas menonjolkan perspektif korban, sehingga produk penelitian maupun film nantinya menjadi pelajaran bagi generasi muda agar tidak lagi mengulang kisah kelam. Hasilnya, salah satunya film Hotel Rwanda (2004) mendapatkan banyak penghargaan. Film tersebut tidak berbicara kepentingan suku tertentu, namun kisah sedih para korban yang terjebak dalam perang.
Tentu saja tantangan setiap negara berbeda dan resolusi konflik pun bisa beragam. Tetapi mengambil pelajaran dari bangsa lain yang berhasil menyelesaikan masa lalunya secara terhormat dan beradab, merupakan pilihan yang bijaksana.
Di sini penting bagi kita semua untuk mengedepankan sikap open minded, dengan mendengar masukan dari manapun, selama itu bermanfaat untuk pembangunan bangsa. Terkait penyelesaian sejarah G/30/S, banyak pilihan yang bisa kita tempuh, mulai dari pendekatan hukum, budaya, hingga rekonsiliasi.
Dalam skala kejadian yang sangat besar, terkadang pendekatan hukum sulit dilakukan karena akan membentur dengan berbagai identitas, budaya dan kelompok. Maka penyelesaian secara politik maupun budaya, dalam payung besar rekonsiliasi, dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan.
Tugas Sejarah
Upaya ke arah sana sebenarnya telah dilakukan oleh para pemimpin bangsa pasca reformasi. Presiden BJ Habibie yang membuka ruang demokrasi, mencabut larangan penerbitan buku-buku terkait dengan peristiwa 1965. Sejak itu ratusan karya bermunculan dan dapat diakses secara bebas oleh masyarakat.
Lalu Presiden Gusdur melanjutkan upaya tersebut dengan meminta maaf atas nama negara kepada para korban. Selain itu, dia juga mengupayakan rehabilitasi dan memberikan ruang yang luas untuk munculnya berbagai diskusi terkait tragedi tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2005 membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai forum untuk menemukan kebenaran atas setiap peristiwa masa lalu. Namun MK membubarkan KKR pada 2006 karena dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945.
Kemudian Presiden Jokowi mendukung dilaksanakannya Simposium Nasional 1965 (2016) yang bertujuan membahas tragedi 1965 secara terbuka dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk korban, pelaku, dan akademisi. Meski begitu, sepertinya masih ada 'luka yang belum sembuh' dari sejumlah pihak, sehingga upaya-upaya tersebut belum menghasilkan suatu hal yang lebih konkret.
Atas situasi yang kompleks tersebut, menurut penulis perlu kiranya suatu pendekatan baru yang bersifat natural, kultural dan bottom up yang diinisiasi dari bawah sehingga hasilnya akan lebih solid. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi setiap dialog maupun event, termasuk mendorong semua pihak untuk bersikap open minded dan memikirkan masa depan.
Kesamaan melihat masa depan inilah yang sejauh ini belum terlihat, sehingga masing-masing pihak masih bertahan di posisinya. Dalam rekonsiliasi, tidak boleh ada pihak paling menang dan lainnya kalah.
Ini merupakan forum non judisial yang tidak bicara hitam-putih seperti hukum bekerja, melainkan kebersamaan dan persatuan. Apa yang dilakukan pemerintah Rwanda mungkin dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk melakukan lompatan atas peristiwa masa lalu-tidak hanya 1965-sehingga kesaktian Pancasila akan terjaga hari ini dan sampai kapan pun. Wallahualam.
Dr Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Politisi Partai Golkar
Sentimen: positif (100%)