Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Ibadah Haji, Ibadah Umroh
Tokoh Terkait
Ini Kesimpulan dan Rekomendasi Pansus Haji 2024
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Kesimpulan dan rekomendasi Pansus Haji 2024 itu diberikan oleh Ketua Pansus Haji 2024 Nusron Wahid dan diterima oleh Ketua DPR Puan Maharani sebagai pimpinan rapat.
Kemudian, Puan mempersilahkan seluruh fraksi untuk menyampaikan pandangannya terhadap pansus haji 2024.
Terdapat 9 kesimpulan pansus haji yang dibacakan oleh Nusron Wahid antara lain:
Pertama, Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator. Sementara dalam penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan Government to Government akan tetapi berubah menjadi Government to Business, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak syarikah menggunakan kerangka bisnis.
Kedua, soal kebijakan yang diurai dalam dua kesimpulan. Pertama, dalam pembagian Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia.
Kedua, kementerian Agama melalui Dirjen PHU melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA No. 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Ketiga, ihwal distribusi Kuota Haji yang diurai 4 kesimpulan antara lain;
Pertama, pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping, penggabungan, dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan dimana pendamping diisi oleh jemaah haji reguler yang bukan mahramnya.
Kedua, sampai tahun 2024, Kementerian Agama masih belum mengupayakan secara maksimal untuk menyelesaikan masalah 5,678 nomor porsi kuota "batu" yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti di mana jemaah haji berada/bertempat tinggal.
Ketiga, terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun 1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat (2).
Keempat, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Selanjutnya, kesimpulan keempat tentang Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Haji dan Umroh yang diurai dalam tiga kesimpulan.
Pertama, pansus melihat sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala.
Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat berangkat haji.
Kedua, sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala.
Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka peluang orang berangkat haji tanpa antrian.
Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.
Kelima, terkait dengan pendaftaran haji 2024, Pansus Haji 2024 mengurainya dengan tiga kesimpulan yakni
Pertama, di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan.
"Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antri (mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024)," kata Nusron Wahid.
Kedua, ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah.
"Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan dan/atau tahun keberangkatan," sambungnya.
Keenam, ihwal nilai manfaat yang menurut Pansus Haji ditemukan adanya ketidakadilan dalam pengelolaannya.
"Dalam mempergunakan nilai manfaat, ditemukan adanya ketidakadilan, dimana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrian," ungkapnya.
Ketujuh, soal jemaah cadangan lunas tunda. Pansus Haji 2024 menilai jumlah Jemaah Haji Lunas tunda sampai tahun 2024 adalah sebesar 30 persen dari kuota haji nasional.
Seharusnya merekalah yang diprioritaskan untuk diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahram, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya.
"Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya," jelasnya.
Kedelapan, soal pelaporan dan pengawasan yang dianggap adanya pelemahan pengawasan dari PIHK.
Nusron mengurai dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri.
"Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji," ujarnya.
Kesembilan, soal pelayanan yang tidak sesuai dengan rangkaian ibadah haji dan standar pelayanan.
"Pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan," demikian Nusron Wahid.
Sentimen: positif (88.9%)