Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Kab/Kota: Solo
Tokoh Terkait
KIM dan Tantangan Lokal Pilkada Serentak "Made in" Jakarta
Kompas.com Jenis Media: Nasional
DIAKUI atau tidak, terbukti konfigurasi persaingan politik yang melatari pemilihan presiden tahun 2024 menular ke daerah-daerah jelang Pilkada serentak pada November 2024 nanti.
Bukan saja karena sebagian kekuatan politik daerah menginginkan hal itu terjadi, tapi juga karena keinginan “eksplisit” dari kekuatan politik yang ada di pusat, terutama kekuatan baru pemenang pemilihan nasional, untuk menyuntikkan model persaingan politik di tingkat pusat ke daerah.
Walhasil, di banyak daerah Koalisi Indonesia Maju (KIM), sebagai koalisi pemenang pemilihan presiden, akhirnya ikut menjelma menjadi kekuatan yang nyaris berkategori “supermajority” dengan “magnitudo” lokal yang sangat besar.
Replikasi model kompetisi pusat di daerah ini memang cukup mengkhawatirkan, karena pada kasus-kasus tertentu justru berisiko membungkam aspirasi publik yang secara nominal jumlahnya tak sedikit.
Misalnya di Jakarta. Hasil survei sebelum pencalonan resmi yang menempatkan Anies Rasyid Baswedan di posisi teratas, dengan elektabilitas di atas 40 persenan, justru harus “gugur" begitu saja di tengah jalan sebagai akibat dari model kompetisi pusat yang merembes ke daerah.
Pasalnya, pemenang di pusat memang tidak menginginkan Anies Baswedan berkuasa di Jakarta. Walhasil, peluang Anies untuk maju di kontestasi Pilkada Jakarta juga ditutup sedemikian rupa.
Di Sumatera Utara pun nampaknya tak terlalu jauh berbeda. Dari sisi peta politik, kekuatan politik KIM yang mengerucut di belakang Bobby Nasution, membuat lawannya yang kebetulan petahana, Edy Rahmayadi, harus menerima kenyataan hanya didukung beberapa partai.
Empat partai yang mendukung Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala adalah PDI Perjuangan (PDIP), Partai Hanura, Partai Ummat, dan Partai Buruh.
Sementara partai-partai politik yang mendukung Bobby dan Surya, yaitu Partai Golkar, Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS), Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasional Demokrat (NasDem), PSI, PPP, PKB, dan Demokrat.
Tentu secara kasat mata, Bobby adalah pihak yang paling diuntungkan karena mendadak mendapatkan mesin politik dengan kapasitas sangat besar, tanpa harus melalui proses “kaderisasi” kepemimpinan daerah yang selayaknya harus dilalui oleh seorang calon gubernur.
Dikatakan demikian, hanya bermodalkan pengalaman satu periode menjadi kepala daerah di tingkat dua (wali kota); Wali kota Medan, pun tanpa memperlihatkan keunggulan yang menonjol, baik dari sisi kebijakan, program maupun dari sisi model leadership (keteladanan, kebijaksanaan, dan sejenisnya, misalnya), seorang Bobby bisa langsung menaikkan tawaran politiknya menjadi calon kepala daerah untuk level provinsi.
Hal itu bisa terjadi tentu salah satunya karena Bobby berhasil memindahkan model kompetisi politik di level nasional ke level daerah.
Pertama, dengan statusnya sebagai menantu Presiden Jokowi, Bobby secara pukul rata diasumsikan nyaris oleh semua pihak, baik di Pusat dan di Sumut sudah layak untuk menjadi pemimpin di level provinsi.
Kedua, karena faktor pertama tersebut, akhirnya Bobby juga diasumsikan layak mendapatkan dukungan politik secara masif sebagaimana mantan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang pernah mendapatkan dukungan politik untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024 tempo hari.
Artinya, terjadi semacam “political framing” di Sumatera Utara bahwa dari kubu besar KIM, yang notabene sebenarnya terdiri dari banyak partai politik dan diduduki oleh banyak orang hebat (senior) di KIM tingkat Sumut, akhirnya hanya melahirkan Bobby sebagai satu-satunya yang dianggap layak mewakili untuk maju sebagai calon gubernur di satu sisi dan satu-satunya tokoh yang layak berhadapan dengan petahana dengan dukungan pusat secara masif di sisi lain.
Memang, pada tataran teknis, berdasarkan perkembangan dan dinamika politik Sumut terkini, asumsi tersebut akhirnya mendapat afirmasi dari hasil-hasil survei Pilkada Sumut yang ada.
Bobby nyatanya memang mendapatkan angka elektabilitas yang sangat dominan. Survei Pilkada Sumut 2024 yang dirilis Katadata Telco Survey oleh Katadata Insight Center (KIC) belum lama ini menggambarkan persaingan Bobby Nasution dan Edy Rahmayadi hingga September ini.
Elektabilitas Bobby tercatat dua kali lipat lebih sedikit dibanding elektabilitas Edy Rahmayadi, 35 persen berbanding 17 persen, meskipun popularitas kedunya terpaut tipis, 67 persen berbanding 63 persen.
Di sisi lain, hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga tak terlalu jauh berbeda. Elektabilitas Bobby juga tercatat sebesar 41,2 persen, dibanding 21,1 persen elektabilitas Edy Rahmayadi.
Sementara itu, dari sisi perhitungan “top of mind”, Bobby mencatatkan angka 34 persen, berbanding 15,1 persen angka yang diraih Edy Rahmayadi.
Sentimen: positif (100%)