Pemerintahan Prabowo dan Tantangan Ketidakadilan Sosial yang Kian Kompleks
Kompas.com Jenis Media: Nasional
TANGGAL 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden ke-8, memimpin negara Republik Indonesia selama lima tahun ke depan, 2024-2029.
Merujuk ke visi dan misi dan program pembangunan yang dipaparkan selama masa kampanye, termasuk program makan gratis, tak diragukan bahwa pemerintahan Prabowo terarah ke Visi Indonesia Emas 2045.
Visi Indonesia Emas menaruh harapan besar pada Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.
Saat ini, Gen Z merupakan kelompok generasi terbesar di Indonesia dengan jumlah 74,93 juta jiwa atau 27,94 persen dari total penduduk jumlah penduduk Indonesia per Juni 2024, sebesar 282.477.584 jiwa.
Dengan 70,72 persen penduduk yang berusia produktif (15 hingga 64 tahun), Indonesia berharap dapat menikmati bonus demografi, yang membantunya memajukan ‘keadilan sosial’ bagi seluruh rakyat Indonesia dan meraih masa emasnya pada 2045.
Namun, jalan menuju ke sana tidak mudah. Selama lima tahun ke depan, pemerintahan Prabowo akan berhadapan dengan sejumlah pekerjaan besar, terutama dalam mengatasi, atau setidak-tidaknya memperkecil kesenjangan sosial.
Soalnya, selain semakin lebar, kesenjangan sosial Indonesia tampaknya telah menjadi semakin kompleks.
Keadilan sosialSejatinya, ‘keadilan’ (atau sebaliknya, ketidakadilan) sudah menjadi pokok pemikiran para filsuf Yunani kuno pada abad 5-4 sebelum Masehi, dan terus menjadi topik diskusi hingga saat ini.
Namun, penelusuran peneliti dan penulis Austria, Kai Weiss (2022), frasa ‘keadilan sosial’ baru diperkenalkan oleh seorang Jesuit berkebangsaan Italia, Luigi Taparelli (1793-1862).
Weiss menjelaskan, bagi Taparelli ‘keadilan sosial’, bukanlah tentang ‘keadilan redistributif’ berdasarkan keputusan pemerintah. Keadilan sosial juga tidak terkait dengan gagasan tentang kesetaraan sosial atau ekonomi absolut, seperti dalam bahasa progresif.
Sebaliknya, keadilan sosial adalah hukum alamiah yang harus didasarkan pada prinsip subsidiaritas dan dikaitkan dengan pemahaman teologis tentang ekonomi.
Menurut Taparelli, keadilan sosial mesti bertolak dari realitas bahwa manusia tidak dilahirkan bebas, tetapi dibelenggu untuk selalu bergantung sepanjang hidupnya pada orang-orang dan lembaga di sekitarnya.
Oleh karena itu, keadilan sosial, dalam makna yang paling sederhana adalah kebajikan moral; suatu keinginan yang konstan dan terus-menerus untuk memberikan hak kepada setiap orang.
Keadilan sosial berarti setiap orang menghendaki dan melakukan apa yang adil bagi orang lain hanya karena orang lain berpartisipasi dalam masyarakat yang sama dengan dirinya.
Oleh para pemikir pada masa kemudian, gagasan ‘keadilan sosial’ dikembangkan untuk mengadvokasi perlakuan yang adil bagi semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kemampuan, atau status sosial ekonomi.
Dalam pemikiran terakhir, ‘keadilan sosial’ mencakup isu-isu yang semakin kompleks meliputi isu perusakan lingkungan yang menjadi topangan hidup petani dan komunitas adat, dan akses teknolog digital yang terbatas bagi penduduk miskin dan mereka yang tinggal di pedesaan.
Pertanyaannya, bagaimana wujud ‘keadilan sosial’ dalam konteks Indonesia saat ini? Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintahan Prabowo untuk memajukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada periode 2024-2029?
Pertanyaan ini sengaja diajukan karena ada indikasi kuat sebagian besar masyarakat Indonesia belum merasakan keadilan sosial.
Dengan kata lain, saat ini masyarakat Indonesia semakin terbelah oleh kesenjangan sosial yang semakin lebar.
Data BPS menunjukkan, hingga Maret 2024, kemiskinan di perkotaan masih sebesar 7,09 persen, sedangkan kemiskinan di pedesaan sebesar 11,79 persen. Total jumlah penduduk Indonesia yang miskin masih besar, yaitu 25,22 juta jiwa.
Sejumlah indikator menunjukkan bahwa ketakadilan akses bidang pendidikan menjadi masalah yang ruwet untuk diselesaikan.
Menurut data BPS dan Susenas (2023), lulusan pendidikan terbanyak di Indonesia adalah SMA/sederajat dengan persentase 30,22 persen. Diikuti lulusan SD/sederajat sebesar 24,62 persen, dan lulusan SMP/sederajat sebanyak 22,74 persen.
Target rata-rata lama pendidikan nasional adalah 12 tahun, tetapi kenyataannya hanya mencapai 8,3 tahun. Selain itu, persentase penduduk yang tidak tamat SD dan yang belum pernah sekolah masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 9,01 persen dan 3,25 persen.
Sentimen: positif (100%)