Sentimen
Positif (44%)
19 Sep 2024 : 13.00
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Surabaya

Tokoh Terkait
Agus Arianto

Agus Arianto

Polling: Masyarakat Menilai Pajak Bangun Rumah Sendiri Tidak Layak Diberlakukan

19 Sep 2024 : 13.00 Views 20

SuaraSurabaya.net SuaraSurabaya.net Jenis Media: News

Polling: Masyarakat Menilai Pajak Bangun Rumah Sendiri Tidak Layak Diberlakukan

Mulai tahun depan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor akan naik dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen.

Kenaikan ini sejalan dengan rencana peningkatan tarif PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Saat ini, tarif PPN untuk kegiatan membangun rumah sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022, yang menetapkan tarif sebesar 20 persen dari tarif PPN umum. Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, tarif untuk membangun rumah sendiri akan naik menjadi 2,4 persen.

Kegiatan membangun sendiri mencakup pendirian bangunan baru dan perluasan bangunan lama, dengan syarat tertentu. PPN hanya dikenakan jika konstruksi utama terdiri dari bahan seperti kayu, beton, atau baja, digunakan untuk tempat tinggal atau usaha, dan luas bangunan minimal 200 meter persegi. Rumah dengan luas di bawah 200 meter persegi tidak dikenakan PPN.

Yustinus Prastowo Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, mengonfirmasi bahwa kenaikan tarif PPN untuk membangun sendiri akan menjadi 2,4 persen. Ia menjelaskan bahwa pengenaan PPN untuk kegiatan membangun sendiri sudah diterapkan sejak 1995, dan bertujuan untuk menciptakan keadilan antara pembangunan rumah dengan kontraktor dan tanpa kontraktor.

Namun, Daniel Djumali Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), menilai pajak ini sebagai beban tambahan bagi masyarakat. Ia juga menyoroti masalah terkait kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang tidak terealisasi. Penambahan kuota FLPP yang dijanjikan tidak sesuai harapan, berdampak pada berbagai sektor, termasuk masyarakat, pengembang, pekerja, dan kontraktor.

Terkait Pajak Bangun Rumah Sendiri atau KMS, menurut Anda layak diberlakukan atau tidak?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (19/9/2024), mayoritas peserta polling menilai pajak bangun rumah sendiri tidak layak diberlakukan.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 79 persen peserta polling menyebut pajak bangun rumah sendiri tidak layak diberlakukan. Sedangkan 21 persen lainnya menyebutnya layak.

Kemudian dari data di Instagram @suarasurabayamedia, 87 persen voters peserta polling menyebut pajak bangun rumah sendiri tidak layak diberlakukan. Sedangkan 13 persen lainnya menyebutnya layak.

Terkait hal itu, Agus Arianto Toly dosen Tax Accounting Program Petra Christian University (PCU) mengatakan, meskipun aturan tentang PPN untuk KMS telah berlaku lama, perdebatan tentang kelayakannya masih relevan.

Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen sudah diatur dalam undang-undang dan masih menunggu implementasi pemerintahan baru.

Secara teori, Agus menjelaskan bahwa PPN adalah pajak konsumsi yang berlaku di seluruh dunia. Dalam sistem Value Added Tax (VAT) yang diterapkan di Indonesia, ada pertambahan nilai pada setiap tahap produksi atau pembangunan.

Agus menjelaskan bahwa kebijakan PPN untuk KMS diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022 yang bertujuan menciptakan keadilan, berdasarkan sudut pandang pemerintah.

“Jika pembangunan rumah dengan kontraktor dikenakan PPN, maka membangun sendiri juga harus dikenakan PPN. Jadi keadilannya berangkat dari sana,” terang Agus saat on air di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi.

“Sebenarnya, kalau dirunut dari teori maupun secara legal, seharusnya tidak ada masalah. Masih bisa dibilang wajar. Apalagi ini sudah berlaku lama.

Namun, masalah aturan ini tidak banyak yang tahu atau tak ditegakkan, itu hal lain. Agus menyerahkannya ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Agus menggarisbawahi bahwa fungsi pajak tidak hanya sebagai sumber pendapatan APBN tetapi juga memiliki fungsi sosial.

“(Pemerintah) tetap mendapatkan uang dari pajak, tapi bagaimana caranya aspek ekonomi, sosial, termasuk politik tetap stabil,” terangnya.

Dalam kasus KMS, ia memandang lebih banyak aspek sosial. Jadi, ia menilai bahwa hal ini sangat bergantung pada kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintahan baru nanti.

“Saya berharap itu dibereskan dulu. Baru kemudian aturan 12 persen ini diputuskan naik atau tidak. Karena kalau itu masih belum beres, fokusnya bisa menjadi beda,” tegasnya. (saf/ipg)

Sentimen: positif (44.4%)