Sentimen
Negatif (100%)
20 Sep 2024 : 00.35
Informasi Tambahan

Institusi: UGM

Kab/Kota: Sleman, Paris

Pakar Komunikasi UGM Bahas Potensi AI untuk Perangi Hoaks Isu Krisis Iklim

20 Sep 2024 : 07.35 Views 2

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Pakar Komunikasi UGM Bahas Potensi AI untuk Perangi Hoaks Isu Krisis Iklim

Harianjogja.com, SLEMAN—Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Novi Kurnia melihat potensi Artificial Intelligence (AI) sebagai medium pemerangan hoaks krisis iklim. Gagasan ini Novi sampaikan dalam forum UNESCO Digital Learning Week 2024: Steering Technology for Education di Paris, Prancis.

"Riset dari CfDS itu menemukan 24,2 persen dari responden percaya bahwa krisis iklim itu buatan elit global. Mereka ini disebut climate change denier atau kelompok yang menolak mempercayai krisis iklim," kata Novi dalam keterangan tertulis, Rabu (18/9/2024).

Dalam agenda tersebut, Novi mengangkat maraknya misinformasi dan hoaks terkait krisis iklim. Menurut Novi, perhatian terhadap isu krisis iklim saat ini belum meningkat.

Malahan, kini justru muncul kelompok penentang isu yang dikhawatirkan bisa menghambat kebijakan pemerintah untuk menghadapi krisis iklim. Karena dibutuhkan strategi untuk memberantas misinformasi krisis iklim perlu dilakukan sedini mungkin.

Riset Center for Digital Society (CfDS) juga menunjukkan bila 98% misinformasi ditemukan berasal dari media sosial. Jumlah ini terdiri dari bermacam-macam bentuk misinformasi, seperti konten hoaks, parodi, kesalahan konteks, sampai konten palsu.

Ditemukan bahwa sebanyak 57,7% merupakan false connection atau kesalahan informasi terkait krisis iklim. Kendati sebagian besar responden mampu memilah misinformasi krisis iklim, namun hanya 20% yang mampu menyangkal kembali segala bentuk misinformasi.

"Indonesia termasuk tinggi populasi yang tergolong climate change denier ini, karena mereka juga yang menyebarkan misinformasi. Mumpung pertumbuhannya masih belum banyak, justru harus segera dilawan," kata Novi.

Persebaran informasi seputar krisis iklim yang belum populer di masyarakat, membuat riset dilakukan dengan menganalisis informasi yang sudah terverifikasi sebagai hoaks oleh fact-checker. Tapi potensi persebaran misinformasi menurut Novi tentu akan meningkat jika publik mulai menaruh perhatian pada isu krisis iklim.

Novi juga mengangkat isu soal bagaimana potensi AI dalam melawan misinformasi krisis iklim. Saat ini, organisasi anti-hoaks seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), hingga Google sudah menggunakan AI sebagai alat filtrasi hoaks dan misinformasi.

BACA JUGA: Tupperware Bangkrut dan Ajukan Pailit, Ini Alasannya

AI lanjut Novi mampu menyaring dan menyanggah artikel atau konten yang diidentifikasi sebagai hoaks. Sayangnya, penggunaan AI juga memiliki beberapa tantangan yang perlu dihadapi.

"Level akurasi fact checking menggunakan AI itu masih 30-90%. Sulit bagi AI untuk memfiltrasi konteks, jangan sampai nanti informasi yang benar diidentifikasi hoaks," tuturnya.

Di sisi lain Novi juga menambahkan adanya kesulitan bagi AI untuk memfilter konteks dalam Bahasa Indonesia, karena sistem AI yang berkembang saat ini masih berbasis Bahasa Inggris.

AI dengan basis muatan Bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun istilah-istilah masyarakat masih memerlukan pengembangan lebih lanjut.

Secara umum peluang AI sebagai alat filtrasi misinformasi dan hoaks perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan Non-Government Organization (NGO). 

Kolaborasi antar sektor menurut Novi sangat dibutuhkan supaya isu krisis iklim dapat tersalurkan ke masyarakat tanpa terhambat hoaks.

Selain itu pengembangan AI harus dilandaskan pada kebutuhan masyarakat, tentu dengan basis data kearifan lokal dan nilai-nilai masyarakat. Jika tidak, Novi menilai AI bisa berpotensi untuk memproduksi misinformasi dan hoaks itu sendiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sentimen: negatif (100%)