Sentimen
Positif (50%)
11 Sep 2024 : 11.20
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019

Kab/Kota: Batang

Tokoh Terkait

Melihat Potesi Dampak PP 28/2024 Terhadap Industri Hasil Tembakau

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

11 Sep 2024 : 11.20
Melihat Potesi Dampak PP 28/2024 Terhadap Industri Hasil Tembakau
Jakarta -

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih menghadirkan banyak diskusi. PP tersebut dinilai mampu membuat Industri Hasil Tembakau (IHT) semakin terpuruk.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan hal itu disebabkan IHT diatur oleh dua pertaruan yakni fiskal dan nonfiskal. Dia menjelaskan peraturan fiskal dilihat dari harga cukai yang setiap tahunnya terus merangkak naik.

"Kita perlu tau industri hasil tembakau ini dua hal yang kami hadapi. Kami bukan hanya industri padat karya tapi juga padat regulasi. Regulasi kami diatur dari dua sisi satu fiskal, satu lagi regulasi non fiskal seperti UU Kesehatan atau PP 28/2024," kata Henry di acara diskusi Ruang Rembuk bertajuk 'Wacana Kebijakan Kemasan Polos pada Produk Tembakau,' Jakarta Selatan, Senin (9/9/2024).

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menjelaskan kenaikan harga cukai terlihat dari 4 tahun terakhir. Di mana pasca Pemilu 2019 harga cukai terus merangkak naik.

"Kita mengetahui sejak 2019, tahun politik tarif cukai tidak ada kenaikan. Tapi di 2020 tarif cukai naik 23% dan harga jual eceran naiknya 35%. (Tahun) 2020 saat pandemi masuk, situasi itu industri kretek masih cukup kuat. Dihantam lagi 2021 tarif cukai dinaikan kembali 12,5%, 2022 dinaikan 12%," jelasnya.

Sementara untuk 2023 cukai pun mengalami kenaikan hingga 10% dan di 2024 besarannya sama. Menurutnya kenaikan harga cukai tersebut tidak hanya memberikan beban kepada IHT sana. Namun, kenaikan tersebut juga membuat peredaran rokok ilegal semakin menjamur.

"4 tahun kami dibebani oleh peraturan fiskal, konsekuensinya harga rokok tidak terjangkau. Akhirnya muncul rokok-rokok ilegal. Sebagai gambaran (sekarang) isi 16 batang harga jual sudah di atas Rp 30 ribu. Kalau yang ilegal isi 20 batang bisa Rp 13 ribu," ungkapnya.

Menurutnya, beban yang dirasakan oleh industri hasil tembakau tidak hanya berhenti sampai di situ. Kehadiran PP 28/2024 juga menghadirkan beban baru. Pasalnya terdapat sejumlah pasal yang dinilai mampu bebebankan IHT dalam negeri.

Dia mencontohkan Pasal 431 dalam PP tersebut. Aturan tersebut mengatur kadar nikotin dan tar. Hal itu tentu bisa berdampak buruk terhadap para petani tembakau Indonesia.

"Industri kretek menggunakan bahan baku lokal 97%. Di mana saya katakan bahan baku lokal itu baik itu tembakau, ada cengkeh. Petani kita masih sifatnya tradisional dan belum ada teknologi seperti di luar. Sehingga hasil tembakau yang dihasilkan oleh petani dalam negeri itu tembakau-tembakau yang sifatnya nikotin tinggi," ungkapnya.

Menurutnya, imbas dari aturan tersebut yakni para pelaku industri harus mengimpor bahan baku tembakau dari luar negeri untuk memenuhi mematuhi aturan tersebut.

"Bila kadar tar dan nikotin dibatasi pemerintah pasti akan terjadi tembakau hasil petani tidak bisa dipakai. Konsekuensinya dari risikonya apa? Berarti import, import tembakau," terangnya.

Dia menjelaskan polemik dari peraturan tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Aturan kemasan polos yang terdapat di PP tersebut juga dinilai membuat persaingan bisnis tidak sehat. Padahal di satu sisi, serapan tenaga kerja sektor industri hasil tembakau mencapai 5,98 juta pekerja dengan kontribusi kepada negara yang tidak sedikit.

"Dengan adanya kemasan polos tentu akan terjadinya persaingan tidak sehat khususnya makin maraknya munculnya rokok-rokok ilegal," ungkapnya.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan meskipun rokok dari aspek kesehatan itu tidak baik. Namun industri tersebut harus dilihat secara lebih objektif. Sebab sektor tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional.

"Saya tidak pernah menyangkal rokok itu dari sisi aspek kesehatan. Tapi melihat rokok dengan bobot hanya dengan ketentuan kesehatan itu tidak fair. Menurut saya itu pemikiran yang tidak konstitusional. Karena ketika kita tidak objektif dalam melihat isu rokok ini, saya melihat ada hak-hak sektor lain yang tidak dihormati. Sementara konstitusi kita mengharuskan kita untuk berpikir objektif, melihat sesuatu itu dengan sisi objektif," tuturnya.

Dari sisi penerimaan, dia mengatakan kontribusi sektor tersebut kepada negara tergolong sangat besar. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu 'tulang punggung' perekonomian nasional.

Untuk itu, seharusnya dalam setiap pembuatan peraturan pada sektor tersebut harus melibatkan banyak aspek. Tidak hanya bisa mengedepankan pada satu aspek saja.

"Rokok ini kalau dari sisi penerimaan cukai dan perpajakan Rp 300 triliun lebih. Kita bersyukur karena rokok ini menyumbangkan kepada negara, membuat negara tidak berhutang Rp 300 triliunan. Artinya apa kalau kita berbicara sebagai tulang punggung sebagai hidup kita itu ditopang oleh rokok dan itu national interest," tutupnya.

(Content Promotion/Ruang Rembuk)

Sentimen: positif (50%)