Mencegah Anarki Konstitusi
Medcom.id Jenis Media: News
LANGKAH Mahkamah Konstitusi (MK), yang dinilai berbagai kalangan sebagai bagian untuk menyehatkan demokrasi, ternyata tak disambut baik oleh semua pihak. Justru sebaliknya, ada lembaga tinggi negara yang punya tafsir sendiri, lantas memilih berseberangan, padahal konstitusi menggariskan bahwa putusan MK wajib dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh siapa pun tanpa terkecuali. Lembaga yang bersimpang jalan dengan MK itu ialah DPR. Perbedaan terang dan gamblang mereka tunjukkan dalam menyikapi putusan terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dan usia minimal calon kepala daerah. Dua hari lalu, MK membuat putusan perihal dua masalah itu. Untuk ambang batas, majelis hakim MK memutuskan bahwa pencalonan kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi sebesar 25% perolehan suara hasil pileg DPRD sebelumnya atau 20% kursi DPRD. Ketentuannya disamakan dengan ambang batas calon perseorangan. MK juga menolak mengubah syarat umur calon kepala daerah, dari dihitung saat penetapan menjadi ketika pelantikan. Perubahan ini sebelumnya diputuskan Mahkamah Agung dalam uji materi peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, dengan putusan MK, usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota dihitung pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan. Dua putusan itu menuai simpati. MK diapresiasi karena telah memulihkan muruahnya yang remuk setelah mengubah ketentuan batas usia calon wakil presiden yang melempengkan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menuju kursi wakil presiden. Putusan MK kali ini seperti vitamin bagi demokrasi yang sedang kepayahan. Mereka yang berakal sehat rasanya mustahil untuk tak menyambut baik putusan itu. Akan tetapi, realitasnya, tak semua satu frekuensi dengan MK. Padahal, sebagai penjaga konstitusi, putusan MK adalah konstitusi juga. Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR kemarin, seluruh fraksi di DPR kecuali PDIP punya tafsir sendiri, sikap sendiri. Untuk batas usia calon kepala daerah, mereka memilih mengikuti putusan MA. Untuk ambang batas pencalonan kepala daerah, mereka menyepakati putusan MK hanya berlaku bagi partai nonkursi DPRD. Adapun bagi parpol pemilik kursi berlaku ketentuan lama. Wakil pemerintah pun mengamini. Begitulah situasi ketatanegaraan di Republik ini. MK yang membuat keputusan, DPR yang mengingkari. MK menghasilkan ketentuan, DPR coba-coba membuat tafsir sendiri. Sehatkah? Jelas tidak. Sebuah negara hanya bisa tertib jika semua orang menaati aturan. Aturannya, MK adalah lembaga tinggi yang oleh negara diberi hak dan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang terhadap UUD 1945. Aturannya, setiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti tidak ada lagi upaya hukum untuk mengujinya. Mengikat berarti semua anak bangsa wajib mematuhinya. Siapa dia, apa pun jabatannya, setinggi apa pun kedudukannya. Suka tidak suka, mau tidak mau, menguntungkan atau merugikan, tidak ada urusan. Aturannya, putusan MK adalah untuk dilaksanakan, bukan ditafsirkan sesuai kepentingan. Maka, aneh, sangat aneh, jika ada lembaga negara lebih memilih menafsirkan, lalu menolak mematuhi, bahkan berlawanan dengan putusan MK. Sikap seperti itu jelas merupakan preseden buruk, sangat buruk, dalam kepatuhan terhadap hukum. Apa jadinya negeri ini jika mereka yang semestinya menjadi pelopor dalam memuliakan hukum malah menistakannya? Bagaimana nasib bangsa ini jika lembaga pilar demokrasi justru unjuk kekuasaan menghalangi upaya penguatan demokrasi? Kita berharap semoga kekacauan tidak terjadi.
LANGKAH Mahkamah Konstitusi (MK), yang dinilai berbagai kalangan sebagai bagian untuk menyehatkan demokrasi, ternyata tak disambut baik oleh semua pihak. Justru sebaliknya, ada lembaga tinggi negara yang punya tafsir sendiri, lantas memilih berseberangan, padahal konstitusi menggariskan bahwa putusan MK wajib dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh siapa pun tanpa terkecuali.Lembaga yang bersimpang jalan dengan MK itu ialah DPR. Perbedaan terang dan gamblang mereka tunjukkan dalam menyikapi putusan terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dan usia minimal calon kepala daerah.
Dua hari lalu, MK membuat putusan perihal dua masalah itu. Untuk ambang batas, majelis hakim MK memutuskan bahwa pencalonan kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi sebesar 25% perolehan suara hasil pileg DPRD sebelumnya atau 20% kursi DPRD. Ketentuannya disamakan dengan ambang batas calon perseorangan.
MK juga menolak mengubah syarat umur calon kepala daerah, dari dihitung saat penetapan menjadi ketika pelantikan. Perubahan ini sebelumnya diputuskan Mahkamah Agung dalam uji materi peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, dengan putusan MK, usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota dihitung pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan.
Dua putusan itu menuai simpati. MK diapresiasi karena telah memulihkan muruahnya yang remuk setelah mengubah ketentuan batas usia calon wakil presiden yang melempengkan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menuju kursi wakil presiden.
Putusan MK kali ini seperti vitamin bagi demokrasi yang sedang kepayahan. Mereka yang berakal sehat rasanya mustahil untuk tak menyambut baik putusan itu. Akan tetapi, realitasnya, tak semua satu frekuensi dengan MK. Padahal, sebagai penjaga konstitusi, putusan MK adalah konstitusi juga.
Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR kemarin, seluruh fraksi di DPR kecuali PDIP punya tafsir sendiri, sikap sendiri. Untuk batas usia calon kepala daerah, mereka memilih mengikuti putusan MA. Untuk ambang batas pencalonan kepala daerah, mereka menyepakati putusan MK hanya berlaku bagi partai nonkursi DPRD. Adapun bagi parpol pemilik kursi berlaku ketentuan lama. Wakil pemerintah pun mengamini.
Begitulah situasi ketatanegaraan di Republik ini. MK yang membuat keputusan, DPR yang mengingkari. MK menghasilkan ketentuan, DPR coba-coba membuat tafsir sendiri. Sehatkah? Jelas tidak.
Sebuah negara hanya bisa tertib jika semua orang menaati aturan. Aturannya, MK adalah lembaga tinggi yang oleh negara diberi hak dan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang terhadap UUD 1945. Aturannya, setiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti tidak ada lagi upaya hukum untuk mengujinya. Mengikat berarti semua anak bangsa wajib mematuhinya. Siapa dia, apa pun jabatannya, setinggi apa pun kedudukannya. Suka tidak suka, mau tidak mau, menguntungkan atau merugikan, tidak ada urusan.
Aturannya, putusan MK adalah untuk dilaksanakan, bukan ditafsirkan sesuai kepentingan. Maka, aneh, sangat aneh, jika ada lembaga negara lebih memilih menafsirkan, lalu menolak mematuhi, bahkan berlawanan dengan putusan MK.
Sikap seperti itu jelas merupakan preseden buruk, sangat buruk, dalam kepatuhan terhadap hukum. Apa jadinya negeri ini jika mereka yang semestinya menjadi pelopor dalam memuliakan hukum malah menistakannya? Bagaimana nasib bangsa ini jika lembaga pilar demokrasi justru unjuk kekuasaan menghalangi upaya penguatan demokrasi? Kita berharap semoga kekacauan tidak terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ADN)
Sentimen: positif (66.3%)