Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Babi, Ular
Institusi: Australian National University
Kab/Kota: Tangerang, Alor
Dari Sunda ke Sahul, Perjalanan Epik Manusia Purba dan Temuan Penting di Tanimbar
Koran-Jakarta.com Jenis Media: Nasional
Hendri A. F. Kaharudin, Australian National University dan Sue O'Connor, Australian National University
Kisah perjalanan manusia purba menuju Sahul-yang kini dikenal sebagai Australia dan New Guinea-adalah salah satu babak paling menarik dalam sejarah migrasi prasejarah.
Sebab, sejak sebelum area ini dihuni manusia, Paparan Sahul telah terpisah oleh lautan dari Asia Tenggara Daratan, Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali yang dulunya tergabung oleh daratan menjadi Paparan Sunda.
Untuk sampai ke Sahul, manusia harus menerjang rintangan air melintasi taburan pulau yang dikenal dengan nama Wallacea. Artinya, perjalanan ini menunjukkan keterampilan pelayaran yang maju, menjadikannya momen penting dalam sejarah manusia.
Penelitian terbaru kami, yang dipimpin oleh arkeolog dari Australian National University (ANU), bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia, telah mengungkap keberadaan manusia di Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku, sejak 42.000 tahun yang lalu.
Temuan ini menambah pemahaman kita tentang kedatangan manusia prasejarah di wilayah ini. Lokasi Tanimbar yang berada di ujung tenggara Wallacea dan berseberangan langsung dengan Sahul menegaskan bahwa manusia telah menghuni sebagian besar pulau di sisi selatan Wallacea, dari Kepulauan Sunda Kecil hingga sisi selatan Maluku sejak sekurang-kurangnya 40.000 tahun yang lalu.
Dua jalur migrasi
Baca Juga :
Penggelembungan Nilai Jadi Temuan Ombudsman di PPDB BantenSelama bertahun-tahun, para arkeolog banyak terlibat dalam perdebatan mengenai jalur migrasi dari Sunda ke Sahul. Pada pertengahan 1950an, Birdsell mengemukakan dua jalur utama: jalur utara melalui pulau-pulau seperti Sulawesi, Halmahera, dan Seram, serta jalur selatan yang melewati Timor dan Kepulauan Tanimbar. Jalur-jalur ini berfungsi sebagai koridor penting melalui Wallacea, kawasan kepulauan yang menantang dengan laut dalam dan jalur sempit di antara pulau-pulau.
Jalur utara dianggap potensial karena lompatan pulau yang lebih pendek, visibilitas antar pulau yang lebih baik, serta telah mengungkap banyak situs arkeologi penting.
Situs seperti Leang Karampuang di Sulawesi mengungkap lukisan cadas berusia sekitar 51.200 tahun, memberikan wawasan tentang budaya dan teknologi manusia purba. Pulau-pulau seperti Talaud dan Gebe menunjukkan bukti keberadaan manusia sejak sebelum Glasial Maksimum Terakhir (kurang lebih 20 ribu tahun yang lalu), mengindikasikan hunian yang berkelanjutan di kawasan Wallacea.
Sebaliknya, jalur selatan, meski lebih berisiko dengan penyeberangan laut yang lebih besar, juga memiliki situs-situs penting di Kepulauan Sunda Kecil. Flores, Alor, dan Timor, misalnya, menunjukkan bukti hunian manusia lebih dari 40.000 tahun yang lalu, dengan ketergantungan dan adaptasi yang tinggi pada sumber daya laut.
Jejak pelaut handal di Elivavan
Penemuan terbaru di Elivavan, Pulau Fordata, Kepulauan Tanimbar, Maluku, menambah bagian penting pada teka-teki ini. Dengan pertanggalan sekitar 42.000 tahun yang lalu, Elivavan menjadi salah satu situs tertua di Wallacea, dan mengindikasikan proses diaspora yang singkat di sepanjang sisi selatan Wallacea. Jejak hunian tertua dari Flores di sebelah barat hingga Tanimbar di ujung timur menunjukkan umur hunian antara 47 hingga 40 ribu tahun yang bermakna sebagian besar pulau-pulau di jalur selatan telah diokupasi dalam kurun waktu beberapa ribu tahun saja atau bahkan lebih singkat.
Data temuan arkeologi juga mengungkapkan pemanfaatan sumber daya laut dan darat yang tinggi. Penghuni Elivavan banyak mengkonsumsi ikan, kerang, kepiting, bulu babi dan makropod (hewan berkantung seperti kanguru atau walabi).
Invertebrata pesisir seperti kerang, kepiting, dan bulu babi relatif lebih mudah dikumpulkan dan dapat menjadi pilihan makanan ketika perburuan ikan atau makropod tidak berhasil. Menariknya, saat ini tidak diketahui ada makropod di Kepulauan Tanimbar. Kemungkinan mereka telah punah secara lokal beberapa saat sebelum orang Eropa datang melakukan eksplorasi di Maluku pada masa kolonial.
Kolonisasi Sahul bukanlah peristiwa tunggal, melainkan proses bertahap melalui beberapa gelombang migrasi yang berangsur-angsur. Komunitas manusia awal kemungkinan besar bermigrasi menyusuri garis pantai, memanfaatkan sumber daya laut untuk konsumsi dan teknologi, dan mendirikan pemukiman sepanjang perjalanan mereka. Strategi lompatan pulau ini memfasilitasi pertukaran budaya dan adaptasi, membentuk masyarakat yang beragam di Sahul.
Namun, asal usul manusia pertama penghuni Elivavan ini masih belum dapat dipastikan. Mereka bisa saja datang dari pulau-pulau terdekat seperti Timor atau mungkin melalui migrasi balik dari New Guinea ke pulau-pulau Wallacea.
Baca Juga :
BPBD Tangani 70 Laporan Temuan Ular di TangerangTerlepas dari mana mereka datang, mereka harus mengarungi lebih dari 100 km perjalanan laut untuk dapat sampai ke Tanimbar. Ini menunjukkan kemajuan teknologi maritim mereka bahkan sejak 42.000 tahun yang lalu.
Banyaknya penelitian yang terus berkembang di wilayah yang kurang dieksplorasi seperti Kepulauan Tanimbar dan sekitarnya berpeluang mengungkap lebih banyak misteri kehidupan manusia purba dan pola migrasi mereka. Kekayaan arkeologi Wallacea terus memberikan wawasan baru tentang masa lalu kita, mengungkap ketahanan dan kecerdikan nenek moyang kita yang menavigasi laut dan mendirikan pemukiman di pesisir maupun di pedalaman selama puluhan ribu tahun.
Hendri A. F. Kaharudin, PhD Student & Research Assistant, Australian National University dan Sue O'Connor, Distinguished Professor, School of Culture, History & Language, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Redaktur : -
Penulis : -
Sentimen: positif (100%)