ANIES DI JEGAL, TUMBAL POLITIK BERJATUHAN

Oposisicerdas.com Oposisicerdas.com Jenis Media: News

15 Agu 2024 : 12.18
ANIES DI JEGAL, TUMBAL POLITIK BERJATUHAN

Menjelang Pilkada serentak 2024 yang sebentar lagi akan dilaksanakan tepatnya November 2024 mendatang, gonjang ganjing politik semakin memanas. Pilkada terkesan berbau aroma pilpres, hal ini ditandai dengan isu saling jegal dalam kontekstasi. Pilkada DKI selalu menjadi sorotan nasional, karena dianggap DKI Jakarta menjadi sumbu perpolitikan nasional. Tak pelak lagi dengan munculnya nama Anies Baswedan mantan kandidiat Pilpres 2024 yang lalu, kini namanya semakin menguat untuk tampil sebagai peserta kontekstasi dalam perhelatan lima tahunan ini di DKI Jakarta. Tak bisa dipungkiri tingkat elektabilitas dan hasil survey dengan capaian 24,9 %, Ahok 20,7%, Ridwan kamil 8%, Kaesang Pangarep 1%. Secara rasional tingkat keterpilihan Anies Baswedan sulit untuk dibendung dibandingkan dengan calon lainnya. 

Tapi politik bukan sebatas hasil survey dan tingkat elektabilitas sebagai modal, namun dukungan partai politik sangatlah penting sebagai syarat administratif untuk dicalonkan. Publik lalu menilai, bahwa dengan tingkat survey yang tinggi---sepertinya para kompetitor lainnya sedikit ngerem untuk melawan Anies Baswedan. Dengan harapan tiga partai politik PKS, PKB dan Nasdem pendukung Anies di pilpres kembali berulang memberikan dukungan kepada Anies Baswedan. 

Sejak awal PKS telah memberikan dukungan kepada Anies Baswedan dengan Sohibul Iman (AMAN) walau hal ini memunculkan berbagai reaksi dari berbagai pihak seperti ; (1) ketakutan kalau kemudian PKS menjadi common enemy dari berbagai partai politik yang ada. (2) sikap overconvidence PKS ini, pada akhirnya PKS merubah sikap dengan meminta Anies Baswedan untuk memilih wakilnya ataukah tetap dari PKS. Hal itu didasari karena PKS adalah pemenang pileg di DKI. Itu wajar. 

Seiring dengan itu komunikasi politik pun berlangsung lintas partai politik---termasuk kemesraan politik antara PKS dan PSI yang dihadiri langsung oleh Kaesang Pangarep di kantor PKS. Kemsraan itu lalu kemudian memunculkan berbagai reaksi kalau PKS sudah mulai masuk pada jebakan restu politik dinasti yang selama ini PKS suarakan kalau politik dinasti itu harus ditolak. Tapi lagi-lagi politik seperti teka-teki silang---yang dimaksud itu, tapi kenyataannya ini. 

Operasi “gelap” penjegalan

Ada semacam operasi “gelap” dalam upaya penjegalan bakal calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang terancam tak bisa mencalonkan diri di tengah manuver pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. KIM Plus adalah sebutan untuk koalisi yang sedang digagas partai-partai pendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Kata "plus" merujuk partai-partai yang pada pilpres lalu tak mendukung Prabowo. KIM Plus adalah upaya gerakan politik untuk memproteksi sekaligus melakukan penjegalan terhadap lawan politknya---dalam hal ini Anies Baswedan. Sepertinya “dendam politik” masih berlangsung di tengah pelaksanaan pilkada terkhusus di DKI Jakarta. 

Anies Baswedan secara elektoral telah mendapatkan dukungan dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB DKI Jakarta 12 Juni lalu. Meski begitu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB belum membuat keputusan. Sekretaris Jenderal PKB Jazilul Fawaid mengatakan pihaknya masih mengkaji dinamika politik yang terus berkembang. Termasuk kunjungan ketua umum PKB Muhaimin Iskandar bertandang kerumah dinas Prabowo Subianto yang juga membicarakan tentang pilkada DKI Jakarta. Dari pertemuan tersebut justru menyisakan berbagai spekulasi kalau kemudian PKB akan bergabung dengan koalisi KIM plus. 

Teka-teki langkah politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 mulai menemukan jawabannya. PKS disebut dalam waktu dekat akan berlabuh bersama poros politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) "Plus". Jika langkah PKS pada akhirnya benar-benar menyeberang ke KIM "Plus", hal itu otomatis berdampak besar terhadap nasib Anies Baswedan yang sebelumnya mendapat dukungan dari partai besutan Ahmad Syaikhu itu.

PKS tinggalkan Anies.

Pengalaman politik di Pilpres Anies Baswedan dengan PKS seakan menjadi anak panah dengan busurnya yang sulit terpisahkan satu sama lain. PKS sebagai partai Islam yang berbasis ideologi perubahan, dengan sosok Anies Baswedan semakin menambah daya tarik tersendiri untuk memilih PKS. Artinya Anies effect memberi pengaruh elektoral dan keterpilihan PKS untuk menambah kursi di parlemen secara nasional, begitu pula di DKI Jakarta.  

Namun di tengah diskursus politik menjelang Pilkada khususnya di DKI Jakarta, opini dan polemik kian menyeruak dipermukaan setelah PKS intens melakukan komunikasi dengan partai-partai di koalisi Indonesia Maju (KIM), sehingga terdengar kabar segera merapatnya PKS ke kubu KIM "Plus" dan itu disampaikan langsung oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Kabar merapatnya PKS ke KIM "Plus" merupakan hasil komunikasi yang dijalin antara partai politik di KIM dan PKS. Sikap PKS itu kemudian memunculkan berbagai sikap publik terhadap keputusan PKS meninggalkan Anies Baswedan dan besar kemungkinan akan mendukung Ridwan kamil yang di nahkodai KIM. 

Partai Golkar dan Gerindra adalah dua partai yang cukup besar pengaruhnya di tubuh KIM—sehingga ada semacam dominasi penentuan kandidat kepala daerah baik bagi Golkar maupun Gerindra di sejumlah daerah. Seperti DKI Jakarta Golkar memutuskan Ridwan kamil sebagai kandidat, dan itu sudah disampaikan ketum Airlangga Hartarto saat itu. Wacana pasangan Ridwan Kamil pun mencuat dipermukaan dengan inisial “S”, ntah itu Shohibul Iman atau bukan. Tentu pernyataan Airlangga Hartarto ini sedikut “berisik” dipusaran KIM, karena diporos itu ada Kaesang Pangarep (anak presiden) sekaligus ketua umum PSI, yang juga santer dibicarakan untuk menjadi kandidat dalam kontekstasi pilgub DKI. 

PKS pergi, Nasdem datang

Nasdem sebagai partai nasionalis selalu punya feeling politik yang kuat dalam menentukan sikap politiknya. Dukungan Nasdem kepada Anies Baswedan di pilpres telah memberikan efek elektoral yang signifikan dengan nainya suara kursi parlemen secara nasional. Tidak bisa dipungkiri bagi Nasdem Anies Effect itu ada dn memberikan kontribusi bagi Nasdem. Setelah PKS menarik dukungan terhadap Anies di pilgub DKI, justru Nasdem mengambil peran stratejik dengan tetap mendukung anies Baswedan sebagai bakal calon gubernur di pilkada DKI, dan hal itu disampaikan langsung oleh Surya Paloh selaku ketua umum Nasdem. 

Isu penjegalan pun tercium oleh PDIP---dan itu disambut dengan sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, baginya penjegalan terhadap Anies di pilgub DKI adalah operasi untuk membumi-hanguskan demokrasi, ini tak sehat bagi demokrasi. Ahok yang memiliki elektabilitas 20,7% pun belum mendapatkan dukungan dari partainya PDIP. Artinya apa, PDIP membaca ada kemungkinan “operasi penjegalan” Anies akan dilawan PDIP dengan cara mengusung Anies Vaswedan sebagai kandidat calon gubernur di pilkada DKI. Kalau poros Nasdem, PKB dan PDIP benar-benar mengusung Anies---maka posisi PDIP di DKI akan menggeser PKS. 

Anies dicongkel, Airlangga Hartarto terjungkal

Apakah “operasi gelap kekuasaan” itu mengharuskan adanya tumbal politik?, Golkar adalah partai besar runner up di pileg 2024 yang lalu setelah PDIP. Tentu menjadi ancaman bagi partai-partai lain atas manuver politik golkar. Apatalagi di kubu KIM golkar salah satu pengusung dan berhasil memenangkan Prabowo-Gibran di pilpres. Gerindra yang mendorong kadernya di Jawa Barat Dedy Mulyadi yang berpasangan Attaliya istri dari Ridwan kamil dari golkar, sehingga golkar membawa Ridwan kamil ke DKI. teka teki pasangan Ridwan kamil di pilgub DKI menjadi tanda tanya, mungkinkah dari PKS atau PSI (Kaesang Pangarep)?, Drama spekulasi ini juga mengundang berbagai tafisr untuk melihat geliat politik terutama dari golkar yang cukup intensif. 

Ataukah ini sebagai titik awal menjelang 20 oktober 2024 mendatang?, Golkar direbut, Airlangga Hartarto harus tumbang---demi mendapatkan legacy politik pasca lengsernya Jokowi. Begitu banyak orang secara politik bersandar pada Jokowi---termasuk mereka yang tersandera, sejak pilpres kemarin. Sandera pun satu persatu dilepas, agar proses hukum yang menderanya terbuka. Tenut Jokowi butuh partai yang besar untuk menjaga agenda-agenda politiknya termasuk diri dan keluarganya. Karena itu tidak cukup membangun dinasti politik, tetapi juga harus berkuasa di partai politik. Berikutnya Jokowi butuh partai politik seperti golkar untuk mengimbangi kekuatan Prabowo Subianto di Gerindra. 

Karena itu, Anies dijegal, Airlangga hartarto yang terjungkal, dan ini adalah tumbal politik di tubuh partai yang berlambang pohon beringin ini. Kekuatan luar telah menggerogoti partai Golkar, sehingga mau atau tidak mau Airlangga Hartarto harus dengan “terpaksa” lempar handuk dari ketua umum partai golkar. 

Pertanyaannya adalah kenapa elit politik begitu takut dengan Anies?. Ini bisa dibilang karma politik mengena pada diri Airlangga Hartarto, memusuhi lawan, tetapi dibenci kawan. Politik itu menegaskan pada kekuasaan, bukan yang memiliki kebenaran---(Paul Krugman)

Dan demokrasi kita tiba di fase ini, dimana politik tidak lagi mau bicara soal yang punya kemampuan, kecerdasan, ketokohan dan pikiran---tetapi lebih memilih siapa yang mau diajak untuk berkoalisi dalam kolusi. Kegagalan partai politik dalam proses kaderisasi dan pendidikan politik juga adalah bagian yang melemahkan jantung demokrasi. Termasuk pembegalan demokrasi dengan cara-cara “premanisme institusional”, menyandera, lalu menjatuhkannya. Sebuah epilog yang amat tragis dalam demokrasi kita akhir-akhir ini. 

Oleh: Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, catatan Cacat-an Demokrasi.

______________________________________

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Sentimen: positif (100%)