Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Hewan: Gajah
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Banyuwangi, Taman Sari, Kulon Progo, Wamena
Kasus: HAM, KKN, nepotisme, korupsi, penembakan
Tokoh Terkait
Sekarang Minta Pengampunan Rakyat, Ini Deretan Dosa Jokowi Selama Jadi Presiden
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Presiden Jokowi lagi-lagi menarik perhatian publik, usai menyampaikan permintaan maaf menjelang akhir masa jabatannya sebagai pemimpin Indonesia. Namun, di balik permintaan maafnya itu, ada berbagai kontroversi yang dilakukannya hingga memicu amarah rakyat.
Berbagai 'dosa' Jokowi selama menjabat sebagai Presiden pun dikuliti rakyat melalui berbagai maklumat. Salah satunya oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Ada pula Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang turut menggugat Jokowi atas dosa-dosanya terhadap rakyat. Dirangkum Pikiran-Rakyat.com dari berbagai sumber, berikut deretan dosa Jokowi selama menjabat sebagai presiden.
29 Dosa Jokowi Menurut KontraSBertepatan dengan 4 tahun Jokowi di periode kedua, KontraS mengungkap 29 'dosa' sang presiden. Dalam menyusun laporan tersebut, KontraS sudah menggunakan berbagai metode, termasuk konsultasi dengan para ahli di bidang demokrasi dan konstitusi.
Demokrasi Dibabat Habis di Bawah Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin Regulasi dan kebijakan diputuskan melalui mekanisme yang jauh dari jangkauan publik. Proses penunjukkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang tidak memperhatikan Accountability, Participation, Predictability, and Transparency. Brutal dan represif dalam menyikapi pendapat di ruang publik. Ada 622 pelanggaran dan serangan terhadap kebebasan sipil meliputi kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai. Penyempitan kebebasan ruang sipil di ranah digital. Ada 89 peristiwa berkaitan dengan UU ITE, baik penangkapan, pelaporan, hingga pemenjaraan dengan total 101 korban. Kekerasan Berbasis Investasi (Capital Violence) Masifnya pembangunan dan proyek strategis nasional yang memicu konflik terhadap masyarakat. Sebanyak 964 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di sektor sumber daya alam dan pembangunan. Politik berkepihakan terhadap pemilik modal secara terang-terangan. Memberikan "karpet merah" bagi kepentingan oligarki. Pelanggaran HAM dalam sektor sumber daya alam dan pembangunan. Aktor terbesar dalam konflik agraria; swasta 732 peristiwa, kepolisian 178 peristiwa, pemerintah 113 peristiwa, dan TNI 20 peristiwa. Contohnya kericuhan di Pulau Rempang. Ada konflik di wilayah adat masyarakat Seruyan. Menguatnya Militerisme dan Mundurnya Agenda Reformasi Sektor Keamanan Empat tahun pemerintahan Jokowi kultur kekerasan dan militeristik yang muncul secara terang-terangan. Aktor-aktor keamanan dijadikan sebagai 'senjata' untuk menyelesaikan berbagai masalah. Gagalnya Jokowi melakukan pembenahan terhadap Polri. Gagal Merevisi UU Peradilan Militer dan potensi menguatnya militerisme. Akuntabilitas BIN dan penyalahgunaan intelijen. Buruknya Penegakan Hukum dan Politik Impunitas Dalam banyak kasus, hukum dijadikan sebagai alat penguasa untuk melakukan pembungkaman. Bukti buruknya penegakan hukum, yakni, penyelesaian kasus Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Jokowi terhadap kasus pelanggaran HAM berat hanya 'omong kosong' karena tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan permintaan maaf yang disusul dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas negara. Hingga detik ini negara belum meratifikasi ICPPED (Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa). Menuju Pemilu 2024: Potensi Kecurangan dan Indikasi Politik Berpihak Jokowi Ketidaknetralan dan politik cawe-cawe Jokowi dalam kajian ketatanegaraan merupakan bentuk penyimpangan terhadap konstitusi. Cawe-cawe presiden dalam pemilu dalam arti campur tangan serta menangani penyelenggaraan pemilu dapat dipastikan menimbulkan ekses negatif. Sikap Jokowi di Level Internasional Indonesia dinobatkan sebagai anggota Dewan HAM PBB keenam kalinya pada 10 Oktober 2023 meski masih memiliki banyak catatan buruk atas situasi HAM dalam negeri. Momentum Universal Periodic Review (UPR), mekanisme Dewan Hukum dan HAM PBB dalam meninjau kondisi dan situasi HAM. Sudah 10 Tahun dan dua putaran UPR, Indonesia belum juga meratifikasi OPCAT untuk isu penyiksaan dan ICPPED di isu penghilangan paksa. Koalisi masyarakat sipil untuk UPR melihat bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian yang cukup dan maksimal dalam isu yang dijamin dalam dua konvensi tersebut. Dosa Jokowi Digugat Mahkamah Rakyat Luar BiasaRezim Jokowi dinyatakan terbukti bersalah langgar hak konstitusi rakyat dan tidak lagi memiliki kelayakan sebagai presiden oleh sembilan Hakim Rakyat pada Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang digelar pada Selasa 25 Juni 2024 di Wisma Makara Universitas Indonesia, Jakarta.
Selain Jokowi, masyarakat turut menggugat Puan Maharani selaku Ketua DPR dan Lanyalla Mahmud Mattalitti selaku Ketua DPD yang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, adapun sepuluh partai politik yang memiliki kewenangan di bidang legislasi yang lolos parlemen dari tahun 2014, antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, Hanura, PPP, Demokrat, dan PKS.
Sejumlah masalah yang diadukan dan kemudian dicatat sebagai “Nawadosa” (sembilan dosa), meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi. Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional masyarakat, seperti normalisasi terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta, eksplorasi nikel sejumlah daerah termasuk di pulau kecil Pulau Wawonii, deforestasi Papua yang mengancam Masyarakat Adat Suku Awyu dan Moi, penggusuran Taman Sari dan Dago Elos, maupun berbagai proyek dan kebijakan lainnya yang justru merugikan masyarakat dan menguntungkan pihak segelintir.
Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas diselesaikan, di antaranya Pembantaian Tahun 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Tragedi Rumah Geudong, Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi, Penembakan Misterius, kasus Munir dan Marsinah, Penghilangan Orang Secara Paksa, Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Timor Timur, Simpang KKA, Kasus Abepura, Wasior Papua, Wamena, Jambo Keupok Aceh, Timang Gajah di Bener Meriah, Paniai, hingga Tragedi Stadion Kanjuruhan dan kejahatan kemanusian lainnya.
Berdasarkan kasus-kasus yang disebutkan, sidang Mahkamah Rakyat akhirnya ditutup dengan putusan majelis hakim yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni:
Menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak hidup dan indikasi kuata adanya kejahatan kemanusiaan dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat/petani. Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasi kekerasan, kekerasan berbasis rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil. Tergugat terbukti melanggar ham dan merusak demokrasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar ham berat dan melanggengkan impunitas. Menyatakan tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara cara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik. Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa Orde Baru. Dengan demikian, tergugat telah melakukan impeachable offense sebagaimana tertuang pada pasal 7a UUD RI 1945. Menyatakan tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik. Menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan; Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwi fungsi abri, melanggengkan impunitas, operasi militer illegal. Tergugat terbukti menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi. Tergugat terbukti memundurkan demokrasi antara lain mengembalikan dwi fungsi TNI/POLRI, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi serta memberlakukan kembali azas Domein Verklaring dalam pertanahan dari masa kolonial. Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia yaitu dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”. Tergugat terbukti melakukan setidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 1945, korupsi dalam arti luas, adan/atau terbukti melakukan perbuatan tercela Jokowi Minta MaafJokowi menyampaikan permohonan maafnya di hadapan publik. Ia memohon maaf sebab tak bisa selalu menyenangkan dan memenuhi keinginan semua pihak dalam setiap kebijakannya.
Mewakili Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, Jokowi merasa harus meminta maaf atas segala khilaf dalam menjalankan amanah sebagai kepala negara.
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara Dzikir dan Doa Kebangsaan di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis malam, 1 Agustus 2024.
"Bapak Wakil Presiden, Bapak-Ibu sekalian, Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air, dalam kesempatan yang baik ini, di hari pertama bulan Kemerdekaan, bulan Agustus, dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkanlah saya dan Profesor K.H. Ma'ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya," kata Presiden Jokowi.
"Atas segala salah dan khilaf selama ini, khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia," ujar dia lagi.
Presiden mengaku sadar, dirinya hanya manusia biasa yang tidak bisa selalu sempurna dalam bertindak dan mengambil langkah mengepalai Indonesia.
"Saya tidak sempurna, saya manusia biasa, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Hanya milik Allah, Kerajaan Langit dan Bumi serta apapun yang ada di dalamnya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," kata Presiden ke-7 RI itu.
Presiden lantas mengajak seluruh hadirin undangan untuk berdoa bersama, memohon pertolongan Allah SWT agar diberikan kemudahan untuk meraih cita-cita bangsa yang maju, bangsa yang baldatun, thayyibatun, wa rabbun ghofur, yaitu negeri yang baik dengan Rabb (Tuhan) yang Maha Pengampun.***
Sentimen: negatif (100%)