Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Dilema Uni Eropa di Balik Isu Lingkungan Tambang Nikel Indonesia
Tagar.id Jenis Media: Nasional
TAGAR.id - Nikel sangat penting untuk transisi global menuju energi hijau, tetapi pertambangan sering kali memiliki masalah lingkungan, seperti yang baru-baru ini ditunjukkan dalam kasus tambang di Indonesia. David Hutt melaporkannya untuk DW.
Hingga 2050, pasokan nikel tahunan harus meningkat sebesar 208%, dan pasokan tembaga tahunan sebesar 156% dibandingkan dengan tingkat produksi pada 2020. Ini menjadi target emisi nol karbon (net zero emision) global, demikian menurut laporan terbaru yang dibuat oleh International Finance Corporation (IFC) Bank Dunia.
Setidaknya 15 mineral dan logam lainnya harus diekstraksi dengan kecepatan yang sama untuk mencapai target iklim, kata laporan itu. Tapi beberapa analis berpendapat hal itu tidak mungkin dilakukan. Pihak lain mempertanyakan apakah pemenuhan kebutuhan mineral penting ini dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada April lalu mengatakan: "Ketika kita membentuk kembali cara kita menggerakkan masyarakat dan ekonomi kita, kita tidak dapat mengganti satu industri ekstraktif yang kotor dan eksploitatif dengan industri ekstraktif yang kotor dan eksploitatif lainnya. Perlombaan menuju nol karbon tidak boleh menginjak-injak kaum miskin."
Undang-undang Uni Eropa mendukung tujuan ini. Petunjuk Uji Keberlanjutan bagi Perusahaan yang baru-baru ini disepakati memandatkan, mulai 2029, perusahaan-perusahaan Eropa harus membuktikan bahwa mereka mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan dan hak asasi manusia di seluruh rantai pasokan mereka.
"Peraturan dan aturan yang datang dari Brussels sehubungan dengan Kesepakatan Hijau Uni Eropa berlaku sama untuk bisnis Eropa dan bisnis asing yang ingin menjual barang atau jasa di Uni Eropa," kata Chris Humphrey, direktur eksekutif Dewan Bisnis Uni Eropa-ASEAN, kepada DW.
"Jelas bahwa bisnis Eropa, karena peraturan yang diberlakukan oleh regulator di Eropa, sekarang perlu memastikan bahwa operasi mereka di luar negeri sesuai dengan berbagai persyaratan pelaporan yang keluar dari Brussels dan tempat lain," tambahnya.
Perusahaan-perusahaan Uni Eropa mundur dari tambang Indonesia
Pada Juli, BASF dari Jerman dan Eramet dari Prancis menarik diri dari proyek kilang nikel dan kobalt "Sonic Bay" senilai 2,6 miliar dolar AS (sekitar Rp41,6 triliun) di Indonesia di tengah kritik bahwa tambang yang memasok bahan baku tersebut mengancam hutan tempat tinggal suku asli di pedalaman.
Langkah ini akan meningkatkan penambangan logam-logam tersebut secara signifikan dari tambang Weda Bay Nickel di dekatnya, tambang nikel terbesar di dunia dan bagian dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), di mana Eramet memiliki saham minoritas.
Pada 2022, Indonesia memproduksi hampir setengah dari pasokan nikel dunia, yang digunakan secara luas dalam kendaraan listrik dan baterai, menurut US Geological Survey.
Diadopsi pada April oleh Dewan Uni Eropa, Undang-Undang Bahan Baku Kritis Eropa mencantumkan 34 mineral penting dan 17 mineral strategis (termasuk nikel) yang penting untuk transisi hijau. Undang-undang ini memudahkan Uni Eropa untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan melalui kesepakatan dengan "negara-negara ketiga yang bersahabat."
Sejauh ini, penambangan nikel terbuka dilaporkan sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, dan penggunaan batu bara untuk menggerakkan pabrik peleburan nikel telah mencemari air.
Perusahaan-perusahaan Uni Eropa sering mengutarakan alasan komersial, mengapa mereka tidak berpartisipasi dalam proyek nikel di Indonesia, tetapi juru bicara BASF mengatakan, perusahaannya membutuhkan "pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan."
"Meskipun pembatalan proyek Sonic Bay dapat mengurangi polusi bagi masyarakat setempat, pemerintah Indonesia harus melakukan lebih banyak hal untuk meminimalkan dampak penambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat yang tinggal di dekat IWIP dan kawasan industri nikel lainnya," tulis Krista Shennum, peneliti dari kelompok kampanye Climate Rights International, di jurnal The Diplomat bulan ini.
Batasan-batasan Kesepakatan Hijau Uni Eropa
Sebagian besar perusahaan Uni Eropa memang menarik diri dan tidak terlibat dalam dalam penambangan bahan mentah di Asia, yang tidak berkelanjutan. Tetapi itu membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan dari negara-negara lain, teruitama Cina, kata Frederick Kliem, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, kepada DW.
Kliem mengatakan bahwa Kesepakatan Hijau Uni Eropa memberi peluang bagi "pihak ketiga yang bersedia mensubsidi industri mereka dan melakukan kerusakan lingkungan dan sosial untuk memungkinkan transisi energi di dalam negeri dan di tempat lain."
Tetapi tuduhan subsidi serupa juga dilontarkan terhadap Uni Eropa, yang baru-baru ini memberlakukan tarif khusus terhadap kendaraan listrik buatan Cina yang masuk ke pasarnya. Brussels menunjuk pada subsidi tinggi kendaraan listrik di Cina yang merupakan"praktik perdagangan yang tidak adil".
"Uni Eropa mengeluhkan persaingan usaha tak sehat yang dilakukan oleh Cina terhadap panel surya, turbin angin dan kendaraan listrik, namun pada saat yang sama, mereka juga menikmati harga listrik yang dihasilkan oleh panel surya yang sangat murah, yang secara eksklusif merupakan hasil dari produksi Cina, di mana produk itu disubsidi (oleh Pemerintah Cina)," kata Kliem.
"Tanpa produk-produk Cina ini, transisi energi dan elektrifikasi ekonomi tidak akan mungkin terjadi," tambahnya.
Presiden Joko Widodo, telah berupaya menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi baterai kendaraan listrik (EV) global dengan meningkatkan kapasitas pertambangan, terutama untuk nikel. Pelarangan ekspor komoditas ini memastikan bahwa komoditas tersebut harus diproses di dalam negeri. Pada 2014, Pemerintah Indonesia melarang ekspor semua nikel yang belum diolah.
Sejak itu, Cina dilaporkan telah menginvestasikan lebih dari 30 miliar dolar AS (sekitar Rp 480 triliun) ke rantai pasokan nikel Indonesia, termasuk peleburan dan produksi baterai mobil listrik.
Indonesia mulai kehabisan cadangan nikel bermutu tinggi
Indonesia kehabisan cadangan nikel berkadar tinggi, sehingga hanya menyisakan bijih berkadar rendah yang mengandung sebagian kecil nikel. Hal ini membuat ekstraksi menjadi sulit. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah melalui pencucian asam bertekanan tinggi, atau HPAL, yang menghasilkan banyak limbah beracun.
Kevin O'Rourke, analis dari konsultan risiko politik Reformasi Information Services, mengatakan kepada DW bahwa ada alternatif yang "menjanjikan” untuk HPAL, tetapi mereka menghadapi perlawanan dari regulator lokal Indonesia yang tetap bertahan dengan pemrosesan HPAL yang murah dan sudah dikenal.
"Jika pasar negara maju seperti Uni Eropa membatasi impor nikel kotor, maka akan ada insentif bagi para pengembang yang bertanggung jawab untuk memasok bahan yang diproduksi secara lebih etis," kata O'Rourke.
"Ketika produsen Indonesia tidak mampu menembus pasar negara maju yang menguntungkan di Barat, mereka mungkin akan mulai mengejar sejumlah opsi untuk menghindari emisi dan limbah dari HPAL," tambahnya.
Bridget Welsh, peneliti di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia, mengatakan bahwa tujuan Uni Eropa seharusnya adalah "membuat pekerjaan 'kotor' menjadi tidak terlalu kotor secara keseluruhan."
Pemerintah Indonesia hingga kini telah menyetujui Kemitraan Keamanan Mineral dengan 14 negara dan Uni Eropa untuk mempercepat pengembangan rantai pasokan mineral penting yang berkelanjutan, dengan fokus pada peningkatan standar lingkungan. (rs/hp)/dw.com/id. []
Sentimen: positif (94.1%)