Sentimen
Negatif (80%)
18 Jul 2024 : 07.45
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Institusi: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Kasus: Pemalsuan dokumen

Tokoh Terkait

Solusi Atasi Sengkarut PPDB: Zonasi atau Tes Tertulis?

18 Jul 2024 : 07.45 Views 2

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Solusi Atasi Sengkarut PPDB: Zonasi atau Tes Tertulis?

PIKIRAN RAKYAT - Cerita yang sama selalu bergulir dalam setiap tahapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Manipulasi domisili tempat tinggal, mark up nilai raport, sertifikat asli tapi palsu (aspal) hingga cerita sekolah jualan kursi. Meski pun berulang, tidak ada perubahan regulasi. Tiada yang masuk penjara, padahal ini sudah bisa dikategorikan pemalsuan dokumen.

Tidak heran bila setiap tahun, ibarat kaset rusak, kisah yang sama akan hadir lagi. Persis dongeng sebelum tidur. Sebenarnya apa yang harus dilakukan, menghapuskan sistem zonasi dan kembali pada seleksi dengan tes tertulis di tiap sekolah?

Pengamat pendidikan yang juga Kepala Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Cecep Darmawan menyebutkan dari sisi masyarakat masih melekat bahwa PPDB itu hanya menjaring calon peserta didik masuk ke sekolah negeri. Kemudian, masih ada pola pikir, sekolah negeri unggulan yang jadi tujuan. Belum lagi, para politisi yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) berteriak-teriak akan menggratiskan pendidikan kalau terpilih.

“Ini membuat kita semua jadi salah arah untuk membangun dunia pendidikan yang ideal. Sudah saatnya para politisi berhenti mengkampanyekan pendidikan gratis sebagai janji politik. Sudah saatnya pula pemerintah pusat berhenti mengintervensi pemerintah daerah. Berikan otonomi pendidikan pada daerah,” ujarnya pada Selasa 9 Juli 2024.

Cecep mengatakan bahwa sengkarut dalam PPDB selalu mengkambinghitamkan jalur zonasi dengan sebutan anak-anak nakal dan bodoh bisa masuk sekolah unggulan. Sementara anak-anak pintar malah tergeser karena rumahnya jauh dari sekolah.

Standar sekolah

Ilustrasi sekolah.

Persoalannya, kata Cecep, jalur zonasi akan jadi omong kosong tanpa sekolah dengan standar sama. Akan jadi percuma juga bila persebaran sekolahnya tidak merata.

“Padahal yang terpenting seperti amanah konstitusi, semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dan kewajiban negara memenuhi sarana dan prasarananya. Tidak ada klausul kalau itu pendidikannya harus di sekolah negeri,” ucapnya.

Sekali lagi, penerapan jalur zonasi dengan persentase 50 persen seperti yang diatur pemerintah pusat, akan percuma kalau sekolahnya tidak mencukupi dan standarnya tidak sama. “Akan terus ada sekolah unggulan yang diperebutkan tiap tahunnya,” katanya.

Sejatinya tidak ada disparitas antara sekolah negeri yang satu dengan yang lain. Tidak ada yang akan memetakan sekolah swasta di kasta yang lebih rendah dari sekolah negeri bila memiiliki standar yang sama. Penentuan standar inilah yang ditentukan oleh pemerintah.

Cecep mencontohkan pemerintah yang memiliki roadmap untuk memeratakan sekolah unggul dalam waktu lima tahun ke depan. Sehingga, orang tua tidak akan lagi berebutan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah manapun terutama yang dekat dengan rumah. Karena baik sekolah negeri dan swasta sudah memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.

Persoalan jalur masuk sekolah, menurut Cecep, tidak perlu ada campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya membuat prinsip-prinsipnya, pemerintah daerah yang menentukan teknisnya karena lebih paham tentang daerahnya.

Opsi penetapan jalur masuk sekolah

Cecep menawarkan dua opsi penetapan jalur yang diserahkan pada pemerintah daerah di saat bersamaan pemerintah pusat dan daerah memeratakan kuantitas dan kualitas sekolah. Opsi pertama, dengan melibatkan sekolah swasta dalam PPDB. Artinya, waktu penerimaan siswa tidak ada yang berbeda. Cecep menyebut seringkali sekolah swasta memulai PPDB jauh lebih awal dari sekolah negeri.

“Jika ada yang mengeluh sekolah swasta mahal, pemerintah harus intervensi dengan memberikan bantuan pada sekolah sehingga tidak ada lagi sebutan sekolah swasta itu mahal,” ujarnya.

Opsi kedua, membiarkan pemerintah daerah yang menentukan jalur apa saja yang akan diaplikasikan dalam PPDB di daerahnya. Menurut Cecep, bisa saja, jatah jalur zonasi lebih sedikit karena lokasi sekolah jauh dari pemukiman warga. Atau ada sekolah yang memilih untuk membuka jalur prestasi saja. “Itu semua kewenangan daerah yang lebih paham dengan wilayahnya sendiri,” katanya.

Bahkan tidak menutup kemungkinan akan diselenggarakan tes untuk menyaring siswa yang masuk. Cecep menerangkan untuk proses ini harus melibatkan pihak lain seperti perguruan tinggi yang akan membuat soal tes dengan berpegang pada kurikulum yang ditetapkan. Keterlibatan pihak lain ini sebagai jaminan proses tes tidak memberikan celah kecurangan.

Akan tetapi, model apa pun yang dipilih, Cecep menyebutkan perlunya melibatkan banyak pihak untuk mengurangi terjadinya kecurangan. Selama ini, hanya sekolah yang menjadi panitia. Ke depan, kata Cecep, bisa melibatkan pihak lain seperti desa atau kelurahan, polisi, Disdukcapil dan instansi lainnya dalam kepanitiaan PPDB di sekolah.

Selain itu, dalam aturan PPDB harus ada penegasan tentang pelanggaran dan sanksinya. Cecep mengatakan berbagai kecurangan PPDB sudah mengarah ke tindak pidana sehingga perlu ada aturan tegas yang akan memberikan rasa jera dan peringatan pada yang lain bila melanggar aturan PPDB.

“Sanksi itu bisa diterapkan pada pelanggar, baik guru, orangtua, kepala sekolah, oknum dari instansi lain,” katanya.***

Sentimen: negatif (80%)