Sentimen
Tokoh Terkait
Politisi Jadi Profesor, Tak Layak?
Kompas.com Jenis Media: Nasional
BELAKANGAN, publik Indonesia heboh dengan skandal guru besar abal-abal. Banyak orang dicurigai melakukan kecurangan dalam memperoleh gelar berprestise itu.
Tadinya skandal ini mencuat terkait investigasi terhadap sebelas dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, yang mendapat gelar profesor lewat jalan pintas. Lalu menyerempet ke para politisi yang mendapat gelar profesor.
Sorotan tertuju kepada Sufmi Dasco Ahmad, politisi Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI yang baru dinobatkan jadi profesor dua tahun lalu.
Juga, menyasar Bambang Soesatyo, politisi Golkar dan Ketua MPR RI, yang sedang mengajukan gelar profesor ke Kemendikbud Ristek.
Dasco dan Bambang, bukan pencipta tradisi ini. Banyak politisi lain yang lebih duluan dianugerahi gelar profesor.
Sebutkan saja beberapa yang paling populer, Megawati Soekarnoputri (PDIP), Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat), Siti Nurbaya Bakar (NasDem), dan Fahmi Idris (Golkar).
Pakar atau karier?
Perdebatan layak atau tak layak politisi jadi profesor berpunca dari keberbedaan sudut pandang. Sebagian orang melihat profesor sebagai karier akademik di lingkungan perguruan tinggi.
Perspektif lain melihatnya sebagai kualifikasi intelektual atau kepakaran pada bidang keilmuan tertentu.
Regulasi di Indonesia mengakomodasi keduanya. Guru besar sebagai gelar karier hanya diberikan kepada akademisi yang aktif mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat mengikuti cara-cara yang dipikirkan oleh orang-orang di perguruan tinggi.
Sisi lain, terdapat gelar profesor kehormatan yang diberikan kepada kalangan non-akademisi berdasarkan penilaian capaian keilmuan atau kepakaran di bidang tertentu.
Selain karena dinilai sangat pakar, profesor kehormatan diberikan kepada kalangan yang tidak berkarier di dunia akademik, tetapi menyempatkan diri mengajar di perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam Permendikbud Ristek 38/2021.
Karenanya, orang-orang yang masih meributkan pemberian gelar profesor kepada politisi ada dua kemungkinan. Pertama, mengira profesor hanya gelar karier akademik, atau kedua, meragukan kepakaran atau kualifikasi keilmuan para politisi dalam bidang spesifik.
Memang, capaian jenjang karier lebih mudah dinilai dan diperiksa berdasarkan syarat-syarat administrasi tertentu. Namun, tidak cukup mudah memberi penilaian dan mengukur kualifikasi keilmuan para politisi.
Bisakah kepakaran bidang keilmuan ini hanya dinilai dari publikasi di jurnal internasional bereputasi?
Dari era Yunani kuno, para filsuf sudah menyadari bahwa ilmu itu berdimensi ganda, teoritis dan praksis.
Sentimen: positif (40%)