Sentimen
Negatif (99%)
21 Jun 2024 : 17.44
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Ford, Vivo

BUMN: PT Pertamina, PLN

Kab/Kota: Batang, Paris, Kyoto

Tokoh Terkait

Mengenal Karakteristik Pasar Karbon Indonesia

Detik.com Detik.com Jenis Media: Metropolitan

21 Jun 2024 : 17.44
Mengenal Karakteristik Pasar Karbon Indonesia
Jakarta -

Pemerhati hubungan internasional Makarim Wibisono mengungkap karakter pasar karbon Indonesia. Mari kenali karakteristik pasar karbon Indonesia yang disebut-sebut Presiden RI Joko Widodo bakal jadi poros perdagangan karbon dunia

Berbagai konferensi internasional dalam rangka UNFCCC membahas masalah penting dalam usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) salah satunya ialah keterbatasan dana. Adapun perdagangan karbon (carbon trading) disebut menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah pembiayaan tersebut.

"Sebelum Paris Agreement, perdagangan karbon telah berlangsung dengan mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) sebagai hasil dari Protokol Kyoto. Di samping itu Joint Credit Mechanism (JCM), kerja sama bilateral Indonesia-Jepang, serta mekanisme perdagangan karbon sukarela (Voluntary Carbon Mechanism=VCM) yang dilakukan secara langsung tanpa ada pencatatan oleh negara telah dijalankan oleh pihak independen dengan menggunakan skema Plan Vivo, Verra, Gold Standard dan lain-lain," ujar Makarim dalam keterangan tertulis, Jumat (21/6/2024).

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka bertindak sebagai penilai independen internasional dan ada di antaranya menjadi tempat pemasarannya. Skema ini yang sedang berlangsung di Indonesia sebelum kelahiran Perpres no 98 tahun 2021 yang berjalan tanpa pengaturan. Sebagai kenyataannya para pelaku cenderung tidak mau diatur," sambungnya.

Ia menjelaskan sebelum Desember 2015, jual beli karbon di Indonesia terjadi secara bebas dari negara maju yang terdaftar dalam Annex 1 kepada negara berkembang sebagai penyedia karbon. Berbagai model telah dilaksanakan dalam skema jual beli karbon ini, salah satunya result based payment atau penurunan emisi dilakukan oleh negara dan diberi rewards berupa pembayaran.

Ada juga Voluntary Carbon Market (VCM) tanpa pengaturan dan berlangsung bebas antara bisnis to bisnis secara internasional. Skema ini terjadi di Indonesia mulai tahun 2010-2011, setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke 13 di Bali tahun 2007.

"Selama periode ini telah terjadi perdagangan karbon tanpa otorisasi dan pencatatan yang rapi sehingga pengelolaan hutan konsesi telah diserahkan kepada pembeli karbon. Pemegang izin konsesi tidak memiliki kemampuan lagi untuk mengatur areal izin yang diberikan oleh pemerintah," papar Makarim.

Ia mencontohkan 37.000 ha areal di Taman Nasional (TN) Tanjung Puting dikelola oleh manajemen di Hong Kong. Demikian pula areal izin seluas 77.000 di TN Sebangau dan areal izin di TN Batang Gadis seluas 20.000 ha.

"Tidak adanya pengaturan apa-apa terkait karbon kepada pemegang izin konsesi hutan di waktu yang lalu menyebabkan tidak ada pelaporan apapun kepada pemerintah termasuk mengenai pendapatan dan berisiko adanya peralihan konsesi dan wanprestasi perizinan konsesi," katanya.

"Hal ini juga melanggar UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup sekaligus hilangnya pendapatan negara berupa pajak dan PNBP," lanjut Makarim.

Diketahui, sejumlah kritik pada perdagangan tanpa pencatatan atau otorisasi negara ini telah dibahas oleh World Economic Forum tahun 2023, VCMI tahun 2022, Tropical Forest Carbon Initiative tahun 2023, the Business Time 2023 dan the Guardian Jerman.

Ada yang mengatakan kredit karbon yang dihasilkan dari pasar karbon sukarela kurang berkualitas, kurang transparan, bahkan terindikasi menjadi kredit hantu yang tidak nyata (Junk Credit/Phantom Credit). Penggunaan kredit karbon dari voluntary carbon market pun dipertanyakan oleh banyak pihak karena tidak mengikuti pedoman dan aturan internasional maupun nasional secara penuh.

Menurut Makarim, perlu mendalami unsur pokok untuk memperjelas pengertian mengenai perdagangan karbon di Indonesia. Ia menekankan perdagangan karbon adalah kegiatan memperjualbelikan sertifikat kredit karbon. Adapun komoditas perdagangannya bukanlah karbon, melainkan usaha mengendalikan atau mengurangi emisi karbon yang dinyatakan dalam sertifikat kredit karbon.

"Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden no 98 tahun 2021 yang mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon atau carbon pricing dan juga tata kerja operasionalnya telah diturunkan pada Peraturan Menteri LHK no 21 tahun 2022," ucapnya.

"Menteri LHK Siti Nurbaya telah menegaskan di Detik 8 Mei 2024 bahwa Perpres 98 telah mengatur tata cara perdagangan karbon baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Skema perdagangan itu mencakup cap and trade, carbon offset dan perdagangan emisi, result based payment, serta pungutan atas karbon," rincinya.

Lebih lanjut, faktor penting dalam perdagangan karbon secara internasional menurut Menteri LHK Siti Nurbaya adalah integritas lingkungan yang harus dijaga dari nilai karbon yang diperdagangkan. Nilai integritas lingkungan yang dimaksud adalah dalam proses inventarisasi dan pengukuran emisi GRK yang meliputi berbagai kriteria seperti transparansi, akurasi, konsistensi, lengkap dan komparabel (TACCC).

Siti Nurbaya menegaskan tidak boleh ada penyimpangan dari maksud awal pengaturan nilai ekonomi karbon atas upaya bersama dalam kerja-kerja penurunan emisi karbon Indonesia, yaitu guna memenuhi komitmen negara RI kepada masyarakat global berupa penurunan emisi GRK melalui penetapan NDC.

Indonesia berkomitmen memenuhi NDC yaitu 31.89 % berdasarkan kekuatan nasional secara mandiri dan 43.20 % berdasarkan kerja sama teknis luar negeri dalam bentuk teknologi ataupun keuangan. Indonesia telah melampaui target tersebut di tahun 2021 dan 2022.

"Dalam Paris Agreement disepakati untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2.0 derajat Celcius dan berusaha untuk menuju 1.5 derajat Celcius. Menurut pasal 6 Paris Agreement, selain menurunkan emisi GRK secara mandiri oleh masing-masing negara, dapat juga dilakukan kerja sama penurunan emisi," bebernya.

"Hal ini melalui perdagangan penurunan emisi antar negara dan dalam platform perdagangan karbon baru yang teregulasi di bawah UNFCCC yang terkoneksi dengan sistem sentralistik di masing-masing negara . Negara-negara harus menyetujui aturan metodologi yang kuat dan tidak double counting dalam pengurangan emisi GRK. Sektor publik dan swasta dapat berpartisipasi dalam penurunan emisi GRK," jelas Makarim.

Ia menerangkan instrumen yang dipergunakan, antara lain pelaku usaha harus mendaftarkan perdagangan penurunan emisi ke Sistem Registri Nasional (SRN). Pelaku usaha harus menerapkan prinsip MRV (Measurable, Reportable, Verifiable) dalam menghitung penurunan emisi.

"Cara perhitungan harus sesuai dengan standar nasional (SNI). Emisi GRK yang telah dihitung diubah menjadi Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) yang menjadi alat tukar bernilai moneter. Akhirnya, harus ada otorisasi bagi perdagangan karbon luar negeri agar pemerintah mengetahui dinamika lalu lintas karbon sehingga dapat menghindari terjadinya kontrak karbon dari hutan untuk masa yang lama," tandasnya.

Ia menilai Bursa Karbon telah dikembangkan dengan baik dan telah tampak beberapa aktivitasnya menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tercatat per Februari 2024, ada 800 ribu ton CO2 dengan kegiatan PERTAMINA dan PLN.

Distribusi hasil kerja aksi mitigasi telah berjalan berupa pembayaran dengan pembagian untuk pemerintah, pemda, swasta, masyarakat, dan pendamping (NGOs). Sudah terjadi RBP baik dari Norwegia secara bilateral dan dari multilateral adalah FCPF, Bi-Fund dan lain-lain dengan total dana sebesar US$ 400 juta. Jumlahnya diproyeksikan akan menjadi sebesar US$ 500 juta pada tahun 2024.

Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pun telah mendapat mandat dengan partisipasi bilateral dan multilateral. Selain itu, ada rencana untuk membiayai program dan kegiatan pemangku kepentingan daerah. BPDLH telah mengelola dana iklim dan lingkungan yang berasal dari APBN dan bantuan dari GCF, GEF, Bank Dunia, Ford Foundation.

"Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sebaiknya dihindarkan usaha-usaha untuk secara terburu-buru mengubah Peraturan Presiden 98 yang mulai membuahkan hasil secara konkret. Citra Indonesia yang telah terbangun di masyarakat internasional mengenai kesungguhannya menangani masalah iklim dan lingkungan hidup misalnya dengan FOLU Net Sink 2030 janganlah dirusak dengan impian-impian yang tidak jelas," pungkasnya.

(ncm/ega)

Sentimen: negatif (99.8%)