Sentimen
Negatif (99%)
10 Jun 2024 : 18.28
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak, Ramadhan

Kab/Kota: Jabodetabek

Tokoh Terkait

Rumah Tak Terbeli Solusinya Bukan Tapera, tapi Harganya Harus Diturunkan

10 Jun 2024 : 18.28 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Rumah Tak Terbeli Solusinya Bukan Tapera, tapi Harganya Harus Diturunkan

PIKIRAN RAKYAT - Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah menghadapi gelombang protes dari masyarakat terkait penerapan undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan yang mewajibkan setiap pekerja di sektor swasta untuk menyisihkan 2,5 persen dari gajinya untuk tabungan rumah, dan iuran 0,5 persen dari pemberi kerja, menuai kritik tajam. Pasalnya, selain dianggap membebani pekerja, TAPERA juga dinilai tidak memberikan kepastian hukum mengenai waktu dan cara peserta dapat memperoleh rumah dari dana yang ditabung.

Protes publik ini memaksa pemerintah menunda pemberlakuan Tapera dan membuka kembali diskusi mengenai pentingnya partisipasi publik dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah.

Ilustrasi Tapera.

Tapera hanya salah satu contoh dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan partisipasi publik.  “Yang terakhir di isu TAPERA ini. Sebenarnya, dari sisi regulasi, itu sudah selesai. Namun, ketika di tahap implementasi, diprotes publik. Persoalan implementasi ini tidak mudah. Apalagi memaksa pekerja sektor swasta tanpa memandang mampu atau tidak, untuk menabung guna mendapatkan rumah,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, Minggu, 9 Juni 2024.

Memang benar, kata Nur, Tapera sudah dibahas sebelumnya. Bahkan, sudah diterapkan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ternyata terlilit persoalan juga. Kemudian diimplementasikan secara paksa terhadap pegawai swasta yang memicu kritik, baik dari pekerja maupun pemberi kerja.

“Kalau melihat dari huru-hara yang terjadi, UU ini dibuat tidak dengan perencanaan yang baik dan matang. Pokok utamanya, pembuat UU tidak mengukur kemampuan masyarakat,” katanya.

Kritik publik tidak diacuhkan

Ketika publik bereaksi atas kebijakan ini, pemerintah tidak langsung menanggapi. Respons publik dibiarkan membara, malah menegaskan pemotongan upah untuk Tapera terus digaungkan, tidak peduli teriakan para pekerja yang sudah memiliki rumah mempertanyakan alasan kewajiban mereka menjadi peserta TAPERA.

Setelah publik makin memanas, barulah ada keputusan untuk ditunda hingga 2027. “Penundaan ini berarti Tapera tetap jalan. Memang harus ada review untuk UU TAPERA. Yang terpenting, ada niatan dari pembentu UU, ini mau direview atau dibatalkan,” ujar Nur.

Nur menyebutkan, pembentuk UU baik pemerintah maupun DPR sepertinya tidak memahami akar masalah. Lalu, memaksakan menggunakan logika yang keliru seperti menganalogikan program Tapera dengan manfaat yang akan dirasakan seperti di program BPJS Kesehatan.

“Tujuannya tidak jelas, untuk apa? Masyarakat susah beli rumah, obat yang ditawarkan Tapera. Masalah yang ada padahal harga rumah yang mahal dan ketersediaan lahan. Seharusnya, obatnya adalah dengan menurunkan harga rumah,” katanya.

Nur mencontohkan, pekerja di Jabodetabek dan Jabar akan sulit mendapatkan rumah yang layak karena harganya mahal. Kalaupun murah, jauh dari tempat kerja. Akibatnya, mereka harus menyewa rumah yang dekat dengan tempat kerja. Ini akan terus jadi masalah.

Pada akhirnya, Tapera tidak menjadi obat, malah memicu masalah baru yang berawal dari pemerintah. “Uang disetor ke negara, tapi apa benar bisa dikelola dengan benar? Tapera untuk PNS saja isunya uang belum bisa dikembalikan. Ini berarti pengelolaan dananya belum siap. Masyarakat berpikir lebih jauh untuk menitipkan uang negara. Masyarakat belum dapat percaya kepada negara,” sebut Nur.

Ketidaksetujuan publik terhadap kebijakan pemerintah adalah hal yang lumrah. Apa yang sering terjadi, kata Nur, pemerintah dan DPR tidak pernah berdiskusi soal kebijakan yang akan mereka buat. Publik hanya dianggap sebagai objek yang tak perlu dilibatkan, padahal masyarakat harus turut andil menilai calon kebijakan.

Tidak hanya ruang partisipasi publik, evidence based berupa naskah akademik itu pun, lanjut Nur, hanya dijadikan formalitas. Padahal naskah akademik akan mengurai alasan sosiologis, yuridis, dan filosofis sebagai pertimbangan empirik.

“Ini luput dimanfaatkan. Selama ini ruang akademik hanya jadi formalitas. Banyak UU berdasarkan keinginan dan pesanan. Bukan karena kebutuhan, dirancang tanpa ada evidence based. Selama ini diskusi hanya di level elit lalu bersepakat, tiba-tiba langsung diundangkan. Pasti respon masyarakat akan reaktif,” katanya.

Padahal kebijakan yang mereka buat itu harus sesuai kebutuhan masyarakat. Kebijakan yang memiliki dampak pada masyarakat pasti akan diterima. “Namun yang terjadi pemerintah dan DPR belum begitu sadar akan hal itu. Atau malah pura-pura tidak sadar?” katanya.

Undang-undang dibuat sembunyi-sembunyi

Nur menyebutkan, pada periode kedua Jokowi, banyak kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dirancang dalam senyap lalu diberlakukan sehingga direspon negatif oleh publik. Seperti UU KPK, Pilkada, Ciptaker, UU Minerba, UU KPK, yang diberi respons negatif, tapi tidak digubris. Peraturan tetap diberlakukan.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin terkikis, dan program-program yang seharusnya membawa manfaat justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

Partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan adalah elemen esensial dalam demokrasi. Tanpa partisipasi yang memadai, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak efektif dan sulit diterima oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses ini tidak hanya memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan publik, tetapi juga meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas pemerintah. Sayangnya, dalam kasus Tapera dan kebijakan lainnya, pemerintah tampaknya mengabaikan prinsip dasar ini.

Kegagalan untuk melibatkan publik dalam proses perumusan kebijakan juga menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Diskusi yang terbuka dan inklusif adalah cara terbaik untuk menghindari kesalahpahaman dan menampung berbagai aspirasi masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk belajar dari kesalahan ini dan memastikan bahwa setiap kebijakan di masa mendatang dirumuskan dengan melibatkan partisipasi publik yang luas dan bermakna.***

Sentimen: negatif (99.6%)