Sentimen
Positif (100%)
9 Jun 2024 : 09.43
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Paris, Kyoto

Tokoh Terkait

Nilai Ekonomi Karbon Harus Diatur demi Kepentingan RI

9 Jun 2024 : 16.43 Views 2

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Nilai Ekonomi Karbon Harus Diatur demi Kepentingan RI
Jakarta -

Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio meminta pemerintah mengatur secara rinci perihal perdagangan karbon demi kepentingan bangsa Indonesia. Pasalnya, perdagangan karbon saat ini menjadi salah satu primadona dunia di sektor keuangan dan lingkungan hidup sejak deklarasi Paris Agreement 2015.

"Pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) terkait dengan sumber daya alam yang secara konstitusi perdagangannya harus diatur oleh pemerintah demi kepentingan bangsa, bukan diatur secara serampangan oleh pihak-pihak swasta yang hanya melihat kepentingan bisnisnya saja dan membentuk oligarki oligarki baru," ujar Agus kepada detikcom beberapa waktu lalu.

"Sudah banyak sumber daya alam Indonesia yang kurang dapat dinikmati secara optimal bangsa ini, seperti kayu, mineral, minyak dan gas bumi. Untuk itu urusan NEK memang harus benar benar ditangani dengan tata Kelola yang baik demi kemakmuran bangsa Indonesia," imbuhnya.

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk diketahui upaya menjaga manfaat NEK demi kepentingan publik telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam pembangunan Nasional. Perpres No. 98 Tahun 2021 ini merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021, telah diatur tentang Nilai Ekonomi Karbon tersebut dan juga cara kerja operasionalnya yang lalu diturunkan pada Permen LHK Nomor 21 tahun 2022.

Kemudian terdapat Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang ketentuan umum, tata cara pelaksanaan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, mekanisme penyelenggaran NEK lainnya, pengukuran, pelaporan dan verifikasi penyelenggaraan NEK, penyelenggaraan Sistem Register Nasional (RN), sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca, pengelolaan dana atas perdagangan karbon, partisipasi para pihak, pemantauan dan evaluasi dan ketentuan penutup.

Selain itu juga ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Peraturan Menteri ini mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup.

Di sisi lain, muncul usulan agar Perpres No 98 Tahun 2021 direvisi. Para pengusaha beserta asosiasinya menginginkan karbon diperdagangkan secara sukarela dan bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangan yang berlaku. Termasuk dalam hal melakukan pencatatan, keterbukaan informasi.

"Langkah ini harus dicegah bersama sama karena kalau Perpres No. 98 Tahun 2021 ini direvisi, pemerintah melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat," tegasnya.

Adapun alasan perubahan Perpres No. 98 Tahun 2021 adalah karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela Internasional yang sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim. Dampak dari kesenjangan tata kelola ini, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan dan lain lain tertunda penerimaan dan pendanaan karbonnya

"Pada kenyataannya perdagangan karbon mengalami dua tahapan kunci, yaitu era Protokol Kyoto (PK) sebelum tahun 2015 dan era Paris Agreement (Desember 2015). Bedanya bahwa pada era PK jual beli terjadi secara bebas dari negara maju (ada daftar kewajibannya) kepada negara berkembang (penyedia karbon) dan berlangsung dalam beberapa model seperti Result Based Payment (dari prestasi kerja penurunan emisi oleh negara dan dibayar/rewards) dan model Voluntary Carbon Market (tanpa pengaturan dan berlangsung bebas secara bisnis to bisnis yang berlangsung secara Internasional). Hal tersebut terjadi di Indonesia mulai tahun 2010-2011 setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke-13 Bali," jelasnya.

Di samping itu alasan lain perlunya merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutan izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela Internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia. Selain itu menurut catatan tersebut, juga dikatakan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik Internasional, dimana belum terjadi perdagangan emisi lintas sektor.

"Pada perkembangannya, banyak pihak yang menilai bahwa untuk dunia usaha dapat diberlakukan seperti sebelum diatur dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 dengan alasan, antara lain perdagangan karbon ini merupakan peluang ekonomi yang cukup besar, dan secara Internasional belum diatur. Sehingga selama belum diatur Indonesia bisa lakukan transaksi karbon dengan cara bebas tanpa pengaturan," tuturnya.

Dia mengatakan hal tersebut tidak bisa diberikan oleh Kementerian LHK. Meski dalam berbagai sidang COP UNFCCC memang belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara. Namun di dalam UNFCCC diberikan batasan emisi karbon harus mengandung sejumlah unsur, antara lain 1) akurasi (tidak double counting carbon, penghitungan tepat, metodis, dll); 2) transparan (dilakukan secara terbuka dan saling berbagi informasi secara Internasional dan menurut rencana UNFCCC akan dibangun sistem terkoneksi dalam beberapa tahun kedepan setelah beberapa negara lakukan); 3) harus high integrity, bukan greenwashing dan bukan karbon yang diakui beberapa kali oleh beberapa negara, karena harus dihitung sekalian secara global; 4) harus adil, sehingga distribusi benefit juga harus ditata bukan hanya karena keterampilan bisnis pihak dunia usaha saja; 5) harus memenuhi komitmen pemenuhan NDC oleh Negara masing-masing.

Agus menegaskan perdagangan karbon memiliki ambang batas tipis dengan 'fraud'. Sementara para petinggi, politisi yang berpihak pada pelanggaran konstitusi semakin banyak, terlebih di tengah kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik baik saja.

Dia menilai karbon merupakan bagian dari sisa sumber daya alam Indonesia yang masih dimiliki oleh Indonesia, sehingga harus dikuasai negara. Bukan oleh pedagang, makelar, politisi maupun para oligarki.

"Tragedi pemusnahan hutan demi nilai ekonomi kayu, kebun dan kemudian tambang mineral oleh beberapa oligarki dengan memanfaatkan aparat penegak hukum, politisi dan pejabat (daerah) tidak banyak memberikan keuntungan pada publik sesuai dengan Pasal 33 UUD 45. NEK merupakan sumber daya alam Indonesia yang masih tersisa dan harus dikelola dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah atas nama konstitusi. Kami berharap Perpres No. 98 Tahun 2021 harus mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang," jelasnya.

Dia menjelaskan Tata Kelola Karbon akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional. Penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke luar negeri tanpa terkendali. Hal ini bisa berdampak pada hilangnya kawasan negara, karena hilangnya yurisdiksi kewenangan pengaturan wilayah atau kawasan negara tersebut akibat kontrak swasta/korporat berkenaan dengan kontrak dagang karbon yang mereka lakukan dengan 'land management agreement'.

Hal itu sudah terjadi ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang izin, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar negeri. Padahal pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah 'menyerahkan' atau 'mengalihkan' izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri.

Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan serta ketidak-taatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, Pemerintah RI menjatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan.

(akd/ega)

Sentimen: positif (100%)