Sentimen
Positif (72%)
6 Jun 2024 : 07.06

Wewenang penyadapan belum saatnya diberikan kepada Polri

6 Jun 2024 : 14.06 Views 3

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Wewenang penyadapan belum saatnya diberikan kepada Polri

Wewenang penyadapan oleh kepolisian yang tertuang dalam Pasal 14 ayat 1 huruf o draft revisi Undang-Undang (RUU) Polri banjir kritik dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi sipil. Wewenang baru itu dianggap potensial disalahgunakan. Apalagi, penyidik Polri yang melakukan penyadapan tak perlu izin pengadilan. 

Manajer Program Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ahmad Mustafad Vauzi menilai tak sepatutnya Polri diberi wewenang melakukan penyadapan. Apalagi, saat ini Indonesia belum punya regulasi yang mengatur aktivitas penyadapan secara rinci. 

"RUU ini, menurut kami, memuat pasal-pasal bermasalah dengan perluasan secara excessive kewenangan kepolisian. Perluasan kewenangan ini salah satunya adalah kewenangan untuk melakukan penyadapan yang berpotensi sewenang-wenang karena Undang-Undang Penyadapan hingga saat ini belum ada," ujar Vauzi kepada Alinea.id, Selasa (4/6).

Elsam merupakan salah satu dari belasan LSM dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian. Anggota Koalisi lainnya semisal KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), AJI Indonesia, Safenet, dan Amnesti International Indonesia. 

Selain penyadapan, Koalisi menolak RUU Polri lantaran membuat kepolisian menjadi lembaga super yang punya kewenangan berlebih. Juga tertuang dalam draf RUU itu kewenangan Polri untuk membina penyidik PNS dan membentuk PAM Swakarsa. 

Wewenang penyadapan untuk Polri, menurut Vauzi, sebaiknya baru diberikan jika negara sudah punya regulasi khusus setingkat UU yang mengatur penyadapan. Itu supaya masing-masing lembaga tidak menggunakan "hukum rimba" sebagai landasan aktivitas penyadapan yang mereka lakukan. 

"Selain itu, UU Penyadapan juga ada ketentuan adanya pengawasan dari suatu lembaga, badan, otoritas yang independen; dan adanya perlindungan hukum yang berkaitan dengan sifat, ruang lingkup, durasi tindakan, alasan dilakukannya tindakan, pihak yang berwenang untuk mengotorisasi dan melaksanakan, serta pemulihan yang disediakan," ucap Vauzi.

Berkaca pada proses amandemen Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada pertengahan tahun 2016, DPR dan pemerintah pernah menyepakati untuk kembali mengacu dari Putusan (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010. Putusan MK menekankan urgensi mengenai perlunya pembentukan Undang-Undang (UU) Tata Cara Intersepsi Komunikasi. 

Sentimen: positif (72.7%)