Sentimen
Negatif (78%)
29 Mei 2024 : 06.50
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Tiongkok

Kasus: penganiayaan, korupsi

Tokoh Terkait

Di balik kokohnya jerat perbudakan ABK di laut

29 Mei 2024 : 13.50 Views 3

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Di balik kokohnya jerat perbudakan ABK di laut

Biang keladinya, menurut Hariyanto, pengawasan terhadap perusahaan pemilik kapal masih sangat buruk. Pemerintah bahkan masih mengabaikan standar kesejahteraan pekerja yang diterapkan International Labour Organization (ILO) dan International Maritime Organization (IMO). 

Di lain sisi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juga tak diimplementasikan di sektor kelautan. Walhasil, pemilik kapal-kapal perikanan bebas memperbudak para ABK tanpa harus berurusan dengan hukum. 
  
"Hal ini dibuktikan bahwa Indonesia belum mau meratifikasi konvensi ILO 188. Padahal, konvensi ini bisa menjadi rujukan adanya pemenuhan hak bagi ABK-nya dan sekaligus untuk memperkuat pengawasan kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia," ucap Hariyanto kepada Alinea.id, Sabtu (25/5).

Teranyar, petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap kapal ikan berbendera Rusia, MV Run Zeng (RZ) 03, di Laut Arafura, Minggu (19/5). MV RZ 03 digulung aparat keamanan laut setelah buron selama hampir sebulan. 

Kapal yang diduga milik perusahaan China itu ditangkap setelah penangkapan kapal KM MUS yang terindikasi memasok 150 ton solar kepada kapal MV RZ 03. KM MUS juga terindikasi memasok 55 ABK Indonesia ke kapal MV RZ 03 dan RZ 05. 

"Penindakan hukum kepada pihak-pihak yang mengirim ABK ke kapal China yang diduga telah menyalahi prosedur bahkan terindikasi menjadi pelaku kejahatan kemanusian TPPO (tindak pidana perdagangan orang) saat ini tidak ditindak tegas. Kepolisian juga diduga melakukan pembiaran atas masalah ini," ujar Hariyanto. 

Awal Mei lalu, Hariyanto sendiri sudah melaporkan dugaan praktik TPPO yang dilakukan oleh perusahaan PT Klasik Jaya Samudera (KJS) ke Bareskrim Polri. Perusahaan itu ditengarai telah merekrut dan menempatkan 8 ABK asal Indonesia di atas kapal berbendera China, Fu Yuan Yu 857. 

Dalam laporan investigasi hasil kolaborasi SBMI dan Greenpeace yang dirilis pada Maret 2020, kapal-kapal "bermerek" Fu Yuan Yu dan kapal-kapal Tiongkok lainnya rutin menerima ABK asal Indonesia. Setidaknya ada 13 kapal asing, terutama milik Tiongkok dan Taiwan, yang menampung dan mengeksploitasi ABK asal Indonesia. 

Selain itu, ada 6 perusahaan penempatan ABK yang terindikasi merekrut ABK untuk dieksploitasi di kapal-kapal penangkap ikan, yakni PT Puncak Jaya Samudera, PT Bima Samudera Bahari, PT Setya Jaya Samudera, PT Bintang Benuajaya Mandiri, PT Duta Samudera Bahari, dan PT Righi Marine International. 

Dari kumpulan testimoni para ABK yang jadi korban, modus-modus eksploitasi yang teridentifikasi semisal penipuan, penahanan upah, kerja lembur berlebihan, hingga penganiayaan fisik dan seksual. Oleh perusahaan rekrutmen, para calon ABK biasanya dirayu dengan iming-iming gaji tinggi, suasana kerja yang enak, bonus, dan mimpi bebas jeratan utang. 

Pemerintah, kata Hariyanto, harus segera turun tangan untuk menghentikan praktik-praktik perbudakan di kapal-kapal ikan berbendera China. Salah satu cara ialah menyepakati perjanjian bilateral dengan Tiongkok yang mengatur sandar kerja layak di atas kapal penangkap ikan.  

"Selain itu, pemerintah harus pemperkuat pangawasan terhadap perusahaan-perusahaan pemilik kapal dan perusahaan penempatan ABK (manning agency)," ucap Hariyanto. 

Penguatan pengawasan dan edukasi

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana merinci sejumlah faktor yang menyebabkan perbudakan ABK dan TPPO di laut sulit diberantas. Pertama, kapal-kapal ikan yang mempekerjakan ABK secara ilegal lazimnya beroperasi di luar yuridiksi penegak hukum Indonesia. 

"Misalnya, di perbatasan laut yang belum disepakati oleh negara- negara yang berbatasan. Ini akan bisa memperlambat penindakan karena banyak birokrasi yang perlu ditembus oleh penegak hukum untuk bisa menindak kejahatan," ucap Faudzan kepada Alinea.id, Jumat (24/5).

Perairan-perairan internasional tempat terjadinya eksploitasi terhadap ABK, menurut Faudzan, lazimnya "dijauhi" aparat penegak hukum di Indonesia. Selain terlampau luas, aparat tak punya cukup personel atau anggaran untuk menggelar patroli berkala. 

"Belum lagi kalau ada oknum yang malah menjadi bagian dari kejahatan ini. Korupsi dalam berbagai bentuk termasuk gratifikasi merupakan salah satu faktor utama yang melanggengkan kejahatan terorganisir di belahan dunia mana pun," ucap perempuan lulusan Swansea University, Inggris, itu.

Faktor lainnya ialah jerat kemiskinan. Menurut Faudzan, banyak calon ABK sadar bakal dieksploitasi saat menerima pinangan dari agen-agen rekrutmen yang disebar perusahaan. Demi duit, ada pula warga setempat di wilayah-wilayah pesisir yang turut berperan dalam jejaring TPPO itu. 

"Hal yang sama juga terjadi pada kebanyakan korban perdagangan yang umumnya terjebak entah karena jeratan utang atau iming-iming  mendapatkan penghasilan besar untuk menghidupi diri dan keluarganya," ucap Faudzan. 

Meski begitu, negara tak boleh tinggal diam. Perlu ada aturan tegas diberlakukan untuk mencegah rekrutmen ABK secara ilegal dan penguatan pengawasan terhadap TPPO di laut. Di lain sisi, edukasi terkait keamanan dan risiko bekerja di laut untuk masyarakat pesisir juga harus ditingkatkan.

"Pelibatan serikat pekerja perikanan juga akan efektif mengingat biasanya mereka punya kedekatan dengan masyarakat lokal di daerahnya," ucap Faudzan. 
 

Sentimen: negatif (78%)