Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Paris, Kyoto
Tokoh Terkait
Carbon Trading Tanpa Kontrol Langgar Konstitusi
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Perdagangan karbon sedang menjadi isu panas belakangan ini. Perdangan karbon harus diatur dengan baik oleh pemerintah demi kepentingan bangsa ini.
Untuk mengetahui isu-isu aktual terkait perdagangan karbon, detikcom telah mewawancarai Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio pada Jumat (10/5/2024). Simak wawancara khusus detikcom selengkapnya:
Perdagangan karbon sedang menjadi isu viral belakangan ini. Kenapa perdagangan karbon bisa menjadi sangat fenomenal?
Perdagangan karbon saat ini menjadi salah satu primadona dunia di sektor keuangan dan lingkungan hidup sejak deklarasi Paris Agreement 2015. Dimana pengurangan gas rumah kaca (GRK) merupakan sebuah kesepakatan bersama bangsa bangsa di bumi ini untuk menjaga kelangsungan hidup kita semua.
Pada suatu Rapat Terbatas Kabinet, Menteri LHK melaporkan kepada Presiden Jokowi terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing dengan sebuah kebijakan resmi. Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia. Untuk itu tata kelola karbon harus benar benar diatur oleh pemerintah secara baik demi kepentingan bangsa ini. Pemahaman publik atas perdagangan karbon sangat terbatas karena memang tidak mudah dipahami oleh awam.
Istilah perdagangan karbon masih baru bagi sejumlah kalangan masyarakat. Sebenarnya seperti apa konsep perdagangan karbon itu?
Perdagangan karbon adalah aktivitas jual beli sertifikat kredit karbon, dimana yang menjadi komoditas perdagangan bukanlah karbon atau gas polutannya melainkan usaha untuk mengendalikan atau mengurangi emisi karbon (yang dinyatakan dalam sertifikat kredit karbon) itulah yang merupakan komoditasnya. Ketidak pahaman publik ini harus segera ditangani melalui program literasi karbon yang baik dari pemerintah, supaya isu persoalan perdagangan karbon ini dapat dipahami oleh masyarakat dan diatur dengan baik oleh pemerintah demi kemakmuran bangsa Indonesia.
Pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) terkait dengan sumber daya alam yang secara konstitusi perdagangannya harus diatur oleh pemerintah demi kepentingan bangsa, bukan diatur secara serampangan oleh pihak - pihak swasta yang hanya melihat kepentingan bisnisnya saja dan membentuk oligarki oligarki baru. Sudah banyak sumber daya alam Indonesia yang kurang dapat dinikmati secara optimal bangsa ini, seperti kayu, mineral, minyak dan gas bumi. Untuk itu urusan NEK memang harus benar benar ditangani dengan tata Kelola yang baik demi kemakmuran bangsa Indonesia.
Lantas sejauh mana kebijakan nilai ekonomi Karbon di Indonesia?
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerjasama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.
Kenyataan bahwa perdagangan karbon mengalami dua tahapan kunci ,yaitu era Protokol Kyoto (PK) sebelum tahun 2015 dan era Paris Agreement (Desember 2015). Bedanya bahwa pada era PK jual beli terjadi secara bebas dari negara maju (ada daftar kewajibannya) kepada negara berkembang (penyedia karbon) dan berlangsung dalam beberapa model seperti Result Based Payment (dari prestasi) kerja penurunan emisi oleh negara dan dibayar/rewards) dan model Voluntary Carbon Market (tanpa pengaturan dan berlangsung bebas secara bisnis to bisnis yang berlangsung secara Internasional). Hal tersebut terjadi di Indonesia mulai tahun 2010-2011 setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke-13 Bali tahun 2007.
Untuk menjaga manfaat NEK demi kepentingan publik telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam pembangunan Nasional. Perpres ini merupakan peraturan perundangan utama yang digunakan supaya NEK dapat berlangsung dengan tata kelola yang baik demi melindungi bangsa Indonesia dari serangan para "makelar" karbon kelas dunia yang secara masif berupaya melobi pemerintah untuk membebaskan perdagangan karbon.
Perpres No. 98 Tahun 2021 ini merupakan aturan pelaksanaan dari UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Dalam Perpres Nomor 98 Tahun 2021, telah diatur tentang Nilai Ekonomi Karbon tersebut dan juga cara kerja operasionalnya yang lalu diturunkan pada Permen LHK Nomor 21 tahun 2022.
Kemudian ada pula Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Permen ini mengatur tentang ketentuan umum, tata cara pelaksanaan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, mekanisme penyelenggaran NEK lainnya, pengukuran, pelaporan dan verifikasi penyelenggaraan NEK, penyelenggaraan Sistem Register Nasional (RN), sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca, pengelolaan dana atas perdagangan karbon, partisipasi para pihak, pemantauan dan evaluasi dan ketentuan penutup
Satu lagi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Peraturan Menteri ini mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup. Jadi jika para badan usaha swasta dan pengejar rente perdagangan karbon mengatakan bahwa peraturan soal Voluntary Carbon Market (VCM) itu menghambat perdagangan karbon sukarela (VCM) di Internasional merupakan pendapat yang keliru.
Isu santer ada upaya merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021. Seperti apa cerita utuhnya?
Para pengusaha beserta asosiasinya yang ingin karbon diperdagangkan secara sukarela, bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangannya, termasuk melakukan pencatatan, keterbukaan informasi dsb telah mengusulkan perubahan atau merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 kepada Presiden. Langkah ini harus dicegah bersama sama karena kalau Perpres No. 28 Tahun 2021 ini direvisi, pemerintah melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat.
Dari catatan usulan perubahan Perpres No. 98 Tahun 2021 yang kami dapatkan, disebutkan bahwa alas an Perpres perlu direvisi karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela Internasional yang sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim. Dampak dari kesenjangan tata kelola ini, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan dan lain lain tertunda penerimaan dan pendanaan karbonnya
Pada kenyataannya perdagangan karbon mengalami dua tahapan kunci, yaitu era Protokol Kyoto (PK) sebelum tahun 2015 dan era Paris Agreement (Desember 2015). Bedanya bahwa pada era PK jual beli terjadi secara bebas dari negara maju (ada daftar kewajibannya) kepada negara berkembang (penyedia karbon) dan berlangsung dalam beberapa model seperti Result Based Payment (dari prestasi kerja penurunan emisi oleh negara dan dibayar/rewards) dan model Voluntary Carbon Market (tanpa pengaturan dan berlangsung bebas secara bisnis to bisnis yang berlangsung secara Internasional). Hal tersebut terjadi di Indonesia mulai tahun 2010-2011 setelah Indonesia menjadi tuan rumah COP UNFCCC ke-13 Bali
Alasan lain perlunya merevisi Perpres No. 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutann izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela Internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia. Selain itu menurut catatan tersebut, juga dikatakan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik Internasional, dimana belum terjadi perdaghangan emisi lintas sektor.
Pada perkembangannya, banyak pihak yang menilai bahwa untuk dunia usaha dapat diberlakukan seperti sebelum diatur dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 dengan alasan, antara lain perdagangan karbon ini merupakan peluang ekonomi yang cukup besar, dan secara Internasional belum diatur. Sehingga selama belum diatur Indonesia bisa lakukan transaksi karbon dengan cara bebas tanpa pengaturan.
Hal tersebut diatas tidak bisa diberikan oleh Kementerian LHK, karena dalam berbagai sidang COP UNFCCC memang belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara. Namun didalam UNFCCC diberikan batasan emisi karbon harus mengandung unsur-unsur: 1) akurasi (tidak double counting carbon, penghitungan tepat, metodis, dll); 2) transparan (dilakukan secara terbuka dan saling berbagi informasi secara Internasional dan menurut rencana UNFCCC akan dibangun sistem terkoneksi dalam beberapa tahun kedepan setelah beberapa negara lakukan); 3) harus high integrity, bukan green washing dan bukan karbon yang diakui beberapa kali oleh beberapa negara, karena harus dihitung sekalian secara global; 4) harus adil, sehingga distribusi benefit juga harus ditata bukan hanya karena keterampilan bisnis pihak dunia usaha saja; 5) harus memenuhi komitmen pemenuhan NDC oleh Negara masing-masing.
Langkah strategis apa yang harus dilakukan bangsa ini demi kedaulatan Indonesia?
Perlu diketahui bahwa carbon trade is very closed to fraud. Sementara para petinggi, politisi yang berpihak pada pelangaran konstitusi semakin banyak, apalagi kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik baik saja. Karbon merupakan bagian dari sisa sumber daya alam Indonesia yang masih kita punyai dan harus dikuasai oleh negara, bukan oleh pedagang, makelar, politisi maupun para oligarki.
Tragedi pemusnahan hutan demi nilai ekonomi kayu, kebun dan kemudian tambang mineral oleh beberapa oligarki dengan memanfaatkan aparat penegak hukum, politisi dan pejabat (daerah) tidak banyak memberikan keuntungan pada publik sesuai dengan Pasal 33 UUD 45. NEK merupakan sumber daya alam Indonesia yang masih tersisa dan harus dikelola dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah atas nama konstitusi. Kami berharap Perpres No. 98 Tahun 2021 harus mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.
Keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia. Atas keberhasilan tersebut Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen kerjasama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan pada 2010 dan seterusnya. Dana ini akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), tidak perlu lagi membentuk badan baru, seperti Badan Pengelola Ekonomi Karbon.
Sebagai penutup Penerapan Tata Kelola Karbon akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional. Penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke Luar Negeri tanpa terkendali, sehingga akan berimplikasi pada "hilangnya kawasan negara" karena hilangnya jurisdiksi kewenangan pengaturan wilayah atau kawasan negara tersebut akibat kontrak swasta/korporat berkenaan dengan kontrak dagang karbon yang mereka lakukan dengan "land management agreement".
Hal itu sudah terjadi ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang izin, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di laur negeri. Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah "menyerahkan" atau "mengalihkan" izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri. Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan serta ketidak-taatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, Pemerintah RI tmenjatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan.
(van/rdp)Sentimen: positif (100%)