Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Indonesia, UIN, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Populi Center
Partai Terkait
Tokoh Terkait
HEADLINE: Wacana Pembentukan 40 Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran, Plus-Minusnya?
Liputan6.com Jenis Media: News
Liputan6.com, Jakarta - Wacana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos mencuat usai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Rama memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Kabar ini dibenarkan Gerindra, partai penyokong utama pasangan nomor dua. Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.
Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono menilai, rencana penambahan kementerian ini akan menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Kursi menteri yang diisi kader parpol disebut sebagai bentuk akomodasi politik dibanding fungsi keahlian dalam memilih kabinet.
Namun begitu menurutnya, penambahan kementerian atau lembaga ini akan menyalahi aturan yang ada. Kabinet yang gemuk akan membuat kinerja pemerintahan tidak efektif.
"Karena kan kalau mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 maksimum 34. Salah satu misi pembuatan undang undang itu kan tidak terlalu banyak karena dianggap nantinya menekankan segi politik, ya akan ada banyak inefficiency. Sepertinya memang pemerintahan Pak Prabowo mengutamakan akomodasi politik," terang dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).
Dia memaparkan, jika mengaca pada negara maju seperti Amerika Serikat, jumlah menterinya terbilang ramping. Jumlahnya yang hanya 15 orang itu disebutnya dapat berjalan secara efektif.
"Kalau kita mengacu pada negara maju misalnya di Amerika Serikat, jumlah secretary-secretary, setingkat menteri, itu hanya 15 orang. Yang hanya setingkat menteri itu totalnya 25, termasuk wakil presiden. Ini kan negara maju dengan kompleksitas masalah yang sebenarnya mirip-mirip Indonesia, bahkan bentuknya lebih dari Indonesia, tetapi jumlah kabinetnya bisa efisien," ujar dia.
Bila dilihat dari sisi konstitusi, ia menambahkan, Indonesia memegang sistem parlementer. Namun dalam praktiknya, menggunakan sistem presidential semi parlementer.
"Kita kan sebenarnya presidential semi parlementer. Walaupun di konstitusi kita presidential, tapi fakta ada akomodasi beberapa partai politik di kabinet itu menunjukkan ada unsur parlemen juga. Kalau kita mau mengacu pada parlementer murni, di Inggris misalnya. Kalau saya baca di inggris, ya jabatannya yang manajerial yang mengepalai semua departemen itu 24 pejabat. Ini menunjukkan bahwa di negara maju pun yang menganut sistem parlementer kabinetnya cukup baik," ujar dia.
Ia pun mengungkapkan sisi positif dan negatif jika kabinet Prabowo-Gibran bertambah jadi 40 kementerian. Menurutnya, kelebihan dari kebijakan tersebut ialah sebagai bentuk akomodasi politik dan respresentasi parpol yang mayoritas ada di kabinet.
"Stabilitas politik akan terjaga sebab semakin besar koalisi, kondisi politik terutama di DPR (terjaga). Semua kebijakan kemungkinan besar akan lolos," ujar dia.
Sementara sisi minusnya, akan memungkinkan terjadinya overlapping dalam tugas kementerian. Dia mengatakan, akan ada persaingan pengaruh pada kebijakan yang orientasi pada elite ketimbang rakyat banyak.
"Yang perlu diperhitungkan oleh Pak Prabowo, mumpung masih ada waktu sampai 20 Oktober, beliau kan suka berkunjung ke luar negeri, sebagai presiden terpilih beliau bisa pelajari, bagaiamana negara maju komposisinya seperti apa, motivasinya seperti apa. Supaya begitu langsung kabinet, setidaknya memiliki kabinet yang kohesif, karyanya mumpuni, kompetensinya tinggi, yang penting team worknya berjalan," terang Vishnu.
Menurut dia, tidak ada korelasi antara penambahan kabinet dengan peningkatan layanan publik. Karena bisa jadi penambahan kabinet bakal mengganggu pelayanan publik.
"Misalnya ada kementerian yang dipecah, hal yang simple pembuatan kop surat, kemudian pemindahan personel, nomenklatur struktural organisasi (berubah). Kadang bisa membutuhkan satu tahun bahkan lebih, sehingga pelayanan malah terganggu," ujar dia.
Adapun menurut Pengamat politik Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, wacana komposisi hingga 40 pos yang disusun oleh Presiden terpilih terlalu berlebihan. Ini tentunya akan membuat gerak pemerintah makin lambat mengingat alur birokrasi kian panjang.
"Komposisi semacam ini cenderung mengakomodasi kepentingan politik dibanding soal laju pembangunan. Akan jauh lebih baik dan diperlukan jika pemerintah lakukan restrukturisasi kementerian di tingkat daerah, saat ini tidak semua kementerian miliki garis struktur yang lengkap hingga ke daerah," ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).
Menurut dia, banyaknya pos yang dibentuk Presiden akan menjadi ajang pembagian kekuasaan tim sukses di Pilpres dan juga Partai pengusung. Selain menghabiskan banyak anggaran, juga akan terancam minim kerja.
"Justru, Prabowo seharusnya menghapus banyak pos kementerian dan badan yang tidak diperlukan, misalnya saja menghapus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk menghapus Menko PMK. Lalu menghapus badan semisal Badan Siber, Ristek dilepas dari Kemendibud dan melebur ke BRIN," ujar dia.
Dalam situasi saat ini, dia menilai, Menteri Desa dan Transmigrasi pun sudah layak dihapus. Kegiatan transmigrasi dan kesejahteraan Desa menjadi tanggung jawab banyak kementerian semisal Kemendagri dan Kemensos.
"Begitu halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilebur menjadi satu dengan Kementerian Pertanian," ujar dia.
Dedi menuturkan, menteri hanya bertugas lakukan koordinasi, bukan event organizer. Sehingga tidak terbatas wilayah jangkauannya, karena hanya fokus pada tata kelola administratif.
Menurutnya, rencana itu bakal mudah dilakukan mengingat undang-undang yang mengatur hal tersebut dapat saja diubah. Perubahan undang-undang sudah pernah terjadi dalam memuluskan langkah Gibran sebagai calon wakil presiden.
"UU dengan mudah diubah, jika Gibran dengan mudah masuk kontestasi di Pilpres dengan mengubah UU, tentu akan mudah juga untuk memenuhi keinginan Prabowo-Gibran membuat keputusan anggota kabinet lebih dari 34. Soal reputasi kebijakan, pemerintah sudah banyak dinilai negatif, tetapi kesan negatif itu tidak membuat pemerintah mengevaluasi," Dedi menandaskan.
Pengamat Politik dari Populi Center Usep Saepul Ahyar mengungkapkan, penambahan jumlah kursi kabinet merupakan sebagai bentuk konsekuensi Prabowo dalam mengakomodasi hasrat politik parpol koalisi. Menurutnya, langkah itu bisa saja dilakukan dengan mengubah undang-undang. Namun alangkah baiknya bila tim menjabarkan argumentasinya secara terang benderang hingga publik memahaminya dengan jelas.
"Kita belum mendengar argumentasi yang dilontarkan oleh tim perumus yang punya gagasan penambahan menteri ini. Itu yang tidak terlalu mengemuka," kata Usep kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).
Usep menegaskan sulit untuk tidak mengatakan tidak ada kepentingan akomodasi politik dalam penambahan pos kementerian tersebut. Namun dia mengingatkan, rencana kebijakan itu dapat menimbulkan dampak jalannya roda pemerintahan.
"Kalau ada penambahan (kementerian) prosesnya agak panjang, akhirnya mengubah undang-undang, beberapa nomenklatur juga diubah. Pengalaman yang lalu kan misalnya ada kementerian yang diubah era Gus Dur, tidak terlalu efektif pemerintahannya," jelas dia.
Usep berpandangan Prabowo seharusnya memikirkan untuk mengefektifkan kementerian yang ada dengan penempatan orang-orang yang ahli di bidangnya. Bukan orang politik yang harus diakomodasi karena kepentingan politiknya.
"Akhirnya kalau kepentinganannya lebih kental soal akomodasi politik, akhirnya pertanyaannya dia punya keahlian apa duduki jabatan ini," ucapnya.
Dia menegaskan, langkah ini akan memperbesar anggaran pemerintah. Itu lantaran Prabowo menempatkan pejabat baru beserta fasilitasnya.
"Itu konsekuensi pasti ada, di tengah ada anggaran yang seharusnya diprioritaskan pada persoalan pembangunan yang masih tertinggal, infrastruktur atau pun layanan lain yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan persoalan pejabat," kata dia.
"Yang ada saja kurang optimal, beberapa kementerian itu seharusnya dioptimalkan dalam konteks ini. Saya kira secara teknis kalau hanya soal makan gratis sebenarnya itu kan bisa berada di bawah satu kementerian, mungkin bisa dikoordinasikan semua kementerian itu, apa gunanya Menko, Wakil Presiden untuk mempercepat program pembangunan yang ada," kata dia.
Usep menduga saling tarik kursi menteri kabinet hingga penggelembungan jumlah kementerian atau lembaga menunjukkan komunikasi yang dibangun internal koalisi berjalan tidak baik. Dalam koalisi gemuk, akan banyak hasrat dan keinginan tertentu dari masing masing parpol.
"Komunikasi politik (buruk) bisa iya. Ini konsekuensinya, banyak koalisi yang dimasukkan tentu keinginannya masing-masing punya prasyarat yang harus diakomodasi Pak Prabowo. Ini kan elite elite semuanya mau diakomodasi pemerintahan dengan cara menghabiskan anggaran. Tidak efektif. Itu kan urusan elite, bukan kepentingan rakyat. Rakyat dikedepankan, itu menurut saya yang ditangkap dari konsolidasi politik Pak Prabowo selama ini," dia menandaskan.
Adapun Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menjelaskan, bahwa wacana Calon Presiden RI terpilih Prabowo Subianto yang akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kursi, harus mengubah regulasi yang ada.
"Regulasi harus diubah. Suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi, Rabu (8/5/2024).
Hal ini bertolak belakang dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan jumlah kementerian untuk meningkatkan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Jika untuk kemajuan bangsa, anggaran harus dialokasikan, kecuali untuk kepentingan yang tidak bermanfaat, ceritanya berbeda," ujarnya.
Sentimen: positif (100%)