Sentimen
Negatif (79%)
25 Apr 2024 : 08.54
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: bandung, Bogor, Gunung, Pasar Baru, Pesanggrahan, Cianjur, Mataram, Sumedang

Sejarah Bandung: dari Bendung hingga Batas Permukiman Orang Belanda dan Pribumi

25 Apr 2024 : 15.54 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Sejarah Bandung: dari Bendung hingga Batas Permukiman Orang Belanda dan Pribumi

PIKIRAN RAKYAT - Bandung adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Barat yang memiliki catatan sejarah yang begitu panjang. Ada banyak pendapat ihwal pemberian nama Bandung terhadap kota seluas 16.730 hektare itu.

Pendapat terkenal di tengah masyarakat adalah yang menyebut Bandung berasal dari kata bendung. Dalam buku Sejarah Kota Bandung 1945-1979 (1985) disebutkan, pendapat tersebut dikaitkan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum oleh lahar akibat meletusnya Gunung Tangkuban Parahu pada zaman prasejarah. Akibatnya daerah sebelah barat (daratan Batujajar sampai Padalarang) dan daerah di sebelah timur (dataran Bandung sampai Cicalengka) dari Sungai Citarum tergenang air sehingga menjadi sebuah danau besar.

Selain itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Bandung artinya besar. Edi S. Ekadjati, Sobana Hardjasaputra, dan Ietje Mardiana, penulis buku Sejarah Kota Bandung 1945-1979, menduga bahwa pengertian tersebut dihubungkan dengan luasnya Danau Bandung.

Dalam bahasa Sunda, genangan air yang luas, tenang, dan menyeramkan dikenal dengan kata ngabandeng atau ngajubleng. Diduga pula bahwa kata bandeng itu berubah menjadi bandung. Adapun menurut istri Bupati Bandung ke-11 RHAA. Wiranatakusumah V menyebutkan, ide pemberian nama Bandung berasal dari Bupati R.A.A. Wiranatakusumah II yang diambil dari sebutan perahu bandungan.

Perahu bandungan yang dimaksud adalah ketika sang bupati kali pertama akan meninjau pembangunan kota, dia terlebih dulu menyusuri sungai menggunakan perahu bandungan. Sampai pada suatu tempat, dia menggunakan jalan darat menuju pusat kota.

Bandung digunakan jadi nama tempat

Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Gedung Merdeka merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Bandung.

Ada pelbagai catatan yang menunjukkan bahwa Bandung sudah menjadi bagian wilayah Kerajaan Pajajaran, yakni pada 1448 (Kartaatmadja dan Nara Sukirna, 1956:11). Namun, perlu diteliti lebih jauh data penunjangnya.

Dalam Ringkasan Sejarah Kabupaten Bandung disebutkan, bukti sejarah yang menyebutkan munculnya daerah Bandung adalah Piagam Sultan Agung Mataram. Piagam tersebut menyatakan pengangkatan Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangoenangoen.

Diangkatnya Bupati Bandung kala itu menjadi petunjuk bahwa sudah ada permukiman di wilayah Bandung. Namun, belum jelas berapa jiwa yang menghuni wilayah tersebut.

Sekira tahun 1655, Sultan Amangkurat I memerintahkan dilakukan pencacahan jiwa di daerah Priangan. Penduduk Tatar Bandung tercatat sudah 1.000 jiwa. Permukiman tersebut semakin berkembang setelah orang-orang asing masuk pada pertengahan abad 18, terutama orang Belanda.

Orang-orang asing mengetahui bahwa Tatar Bandung merupakan permukiman yang baik dan subur setelah kopral tua yang dibuang dari Batavia dibantu Ronde dan Jav Geysbergen menjadi kaya raya. Banyak yang menjuluki sebagai Paradise in exile atau Sorga dalam pembuangan.

Seiring berjalannya waktu, terbukalah jalan yang menghubungkan Batavia-Bogor-Cianjur-Bandung. Kendati beberapa tempat sudah dibuka, tetapi Bandung belum merupakan kota. Bupati Bandung Tumenggung Wiraangoenangoen (1641—1681) membangun Kota Krapyak atau Bojongasih—sekarang Dayeuh Kolot (kota lama). Kala itu, sebagai Ibu Kota Kabupaten Bandung,

Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Bandung

Suasana di kawasan Jalan Asia Afrika, Kota Bandung.

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, Ibu Kota Kabupaten Bandung dipindahkan atas permintaan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, terdapat dalam surat keputusan tertanggal 25 Mei 1810. Pemindahan tersebut erat hubungannya dengan dibikinnya jalan raya atau jalan pos yang membentang dari Anyer di ujung barat hingga Panarukan di ujung timur Jawa untuk memudahkan komunikasi. Selain itu, Daendels ogah pasukan Inggris mengancam. Sehingga, dibangunlah jalan untuk memelihara keamanan dan pertahanan Pulau Jawa.

Di Kabupaten Bandung, jalan raya pos melintasi Sungai Cikapundung, sekira 11 kilometer arah ke utara dari Krapyak—saat ini Jalan Jenderal Sudirman-Asia Afrika-Jenderal Ahmad Yani-Sumedang. Daendels pun sadar letak jalan itu terlalu jauh dari Krapyak. Hal tersebut yang menjadi latar belakang dipindahkannya Ibu Kota Kabupaten Bandung ke Cikapundung.

Kala itu tahun 1810, Cikapundung masih hutan belantara. Namun, di wilayah sekitar sudah terdapat permukiman, seperti Cikapundung Kolot, Bogor—sekarang Kebon Kawung, Balubur, dan Cikalintu. Permukiman itu disebut sebagai cikal bakal Kota Bandung.

Surat keputusan 25 Mei 1810 Daendels itu membuat Bupati R.A. Wiranatakusumah II mengerahkan masyarakat membuka hutan. Jadilah ibu kota baru, Krapyak pun ditinggalkan. Mula-mula didirikanlah pesanggrahan di daerah Cikalintu—sekarang Cipaganti. Cikalintu masih cukup jauh dari jalan yang tengah dibangun, lalu dibuatlah pesanggrahan kedua di Balubur hilir—sekarang Balai Kota.

Suatu waktu, Daendels berjalan kaki bersama Bupati R.A. Wiranatakusumah II, sampai beberapa meter ke arah timur dari Kantor Redaksi Harian Pikiran Rakyat. Di sana, Daendels bicara pada bupati, "Coba usahakan, bila aku datang kembali ke sini telah dibangun sebuah kota!"

Kala itu, Daendels juga menancapkan tongkatnya, di sana dipasang patok tanda kilometer 0. 18 Maret 1811, terdapat surat tentang peraturan pembelian kerbau oleh pemerintah, sehubungan dengan kemungkinan serangan tentara Inggris ke Pulau Jawa. Dalam surat tersebut terdapat keterangan yang menyatakan Bandung sebagai suatu kota.

Edi S. Ekadjati, Sobana Hardjasaputra, dan Ietje Mardiana bilang, surat keputusan 25 September 1810 adalah titimangsa lahirnya Kota Bandung. Data tersebut merupakan data yang cukup kuat sebagai data sejarah. Namun, dalam hal hari jadi, Pemerintah Kotamadya Bandung memilih tanggal 1 April 1906 sebagai tanggal peresmian Kotapraja Bandung atau Gemeente Bandung. Hari jadi Kota Bandung disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 35 Tahun 1998, ditetapkan 25 September 1810.

Batas permukiman orang Belanda dan pribumi

Potret warga Kota Bandung yang bersepeda di sekitaran Jalan Asia Afrika.

Tahun 1846, jumlah orang Belanda yang tinggal di Bandung semakin bertambah. Berdasarkan data, jumlahnya mencapai 467 orang pada tahun 1890. Jumlah tersebut semakin bertambah, pada 1896 menjadi 1.134 orang.

Bukan cuma orang Belanda, jumlah pribumi juga mengalami peningkatan. Pembangunan Kota Bandung pun mau tidak mau mesti ditingkatkan. Semakin banyaknya orang Eropa terutama Belanda yang bermukim membuat mereka mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya diberi hak otonom.

Berdasarkan data Pemerintah Kodya DT II Bandung, pada 1896 penduduk Kota Bandung semakin gemuk. Ada 47.410 jiwa, terdiri dari 41.493 pribumi, 2.199 orang Belanda, 3.703 orang Cina, dan 95 orang Timur Tengah. Status Kota Bandung sebagai kotapraja berlangsung pada 1 Oktober 1926—8 Maret 1942.

Bangsa Belanda menganggap bangsa kelas satu, memiliki status sosial tinggi. Sedangkan bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah dipandang sebagai bangsa kelas tiga. Hal itu berdampak pada permukiman pribumi.

Lokasi Permukiman bangsa Belanda di Kota Bandung berpusat di bagian utara kota, pribumi bermukim di bagian selatan kota dengan batas pisah Jalan Sudirman-Asia Afrika-Ahmad Yani, selanjutnya jalan kereta api yang menjadi batasnya. Adapun bangsa Cina dan Timur Asing berpusat di bagian barat, sekitar Pasar Baru dan Pacinan.***

Sentimen: negatif (79%)