Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: bandung, Senen, Yogyakarta
Tokoh Terkait
Macet Mudik Lebaran Terjadi karena Pemerintah Gagal Wujudkan Pembangunan dan Akses Merata
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Menjelang Lebaran atau Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong pulang kampung atau mudik. Jalan, terminal, stasiun kereta api, ramai oleh para pemudik.
Betulkah mudik hanya merupakan fenomena kultural semacam kerinduan kembali ke akar sosial dengan pulang kampung? Atau mudik merupakan cerminan dari dampak kebijakan pembangunan yang tak merata dan cuma terpusat di kota-kota besar?
Ilustrasi mudik Lebaran.
Sudah beberapa tahun ini, Suminem Darsih (69) tak mudik Lebaran ke kampung asalnya di Yogyakarta. Perempuan yang tinggal di Kampung Citumpeng, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat (KBB) tersebut tak lagi pulang kampung setelah kedua orangtuanya di Yogyakarta meninggal. Saat orangtuanya masih ada, ia selalu mudik ke sana.
Darsih tahu betul bagaimana rasanya menjadi pemudik. Pada dekade 1990-an, ia pulang ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi.
Ia masih mengingat bagaimana beratnya perjalanan untuk bisa berkumpul dengan orangtua dan keluarga di kampung asal saat itu.
"Tempat duduk tak memadai, aya nu nangtung (ada yang berdiri), lorong kereta dipakai duduk, kaganggu (terganggu) tukang sapu, tukang dagang," kata Darsih di kediamannya, Minggu, 7 April 2024. Fasilitas toilet bahkan digunakan untuk menyimpan barang-barang penumpang.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (ketiga kanan) dan Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo (kedua kanan) menyapa pemudik saat meninjau arus mudik Lebaran di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (6/4/2024). Kegiatan tersebut digelar untuk memastikan kesiapan fasilitas dan keamanan bagi pemudik di Stasiun Pasar Senen Jakarta pada saat arus mudik Idul Fitri 1445 Hijriah.
Gambaran yang diceritakan Darsih sesuai dengan sejumlah jepretan poto IPPHOS yang ditampilkan Perpustakaan Nasional dalam Pengelolaan Konversi Negatif Foto. IPPHOS mengabadikan suasana berjejalnya calon penumpang kereta api yang mudik Lebaran di Stasiun Senen pada 20 Maret 1993.
Dalam foto itu, tampak calon penumpang berebut mencari tempat kosong di gerbong belakang kereta api. Rupanya, berjejalnya penumpang mudik bahkan terjadi puluhan tahun sebelumnya.
Koran Indonesia Raya pada 17 April 1958 misalnya, memajang foto antrean penumpang yang akan pulang kampung menjelang Lebaran di Stasiun Senen. Foto itu disertai keterangan tertulis, "Menjelang Hari Lebaran loket2 Kereta-api penuh sesak setiap harinja."
Walaupun istilah mudik belum akrab digunakan kala itu, foto tersebut menunjukkan tradisi mudik sudah ada pada 1950-an. Momen kedatangan Lebaran tempo dulu lekat dengan bertambahnya penumpang angkutan umum yang bepergian.
Koran berbahasa Belanda, Soerabaijasch Handelsblad pada 4 Februari 1941, mewartakan ramainya para penumpang moda transportasi umum seperti trem dan kereta api di momen Lebaran saat itu. "Secara umum, peningkatan ini lebih besar daripada tahun 1939," tulis koran tersebut.
Aksi operator bus menaikkan tarif dengan memanfaatkan ramainya penumpang pada Lebaran juga terjadi di masa lalu sebagaimana ditulis Bataviaasch Nieuwsblad dengan mengutip Aneta pada 31 Januari 1933. Sejumlah operator bus berani menaikkan tarifnya 200 hingga 300 persen kala itu.
Persoalan pembangunanRuas jalan Jakarta yang sepi pada H-1 Lebaran 2024, Selasa, 9 April 2024.
Mudik bukan hanya terkait dengan fenomena kultural kerinduan orang untuk pulang ke kampung asalnya. Jika ditelisik, mudik sangat mungkin juga terkait kebijakan pembangunan pemerintah pada masa lalu.
Darsih bisa menjadi contohnya. Ia meninggalkan Yogyakarta sejak 1977 dan berpindah ke Bandung karena persoalan pekerjaan. Sebagai lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Darsih malah kesulitan memperoleh pekerjaan di tempat kelahirannya. Ia pindah ke Bandung karena kesempatan mengajar ada di sana.
Kisah orang-orang daerah merantau ke Jakarta atau kota-kota besar lain demi mengadu nasib dan memperoleh pekerjaan adalah contoh lainnya. Gula-gula pekerjaan, penghasilan, menjadi daya tarik yang membuat kota-kota besar memiliki magnet bagi para pendatang. Akibatnya, kota-kota besar seperti Jakarta sesak dipadati para pendatang.
Lebaran menjadi ajang para pendatang untuk kembali ke akar sosial, tempatnya berawal, dengan mudik ke kampung halaman. Jika pembangunan dilakukan merata, kesempatan kerja dan pendidikan tentu juga ada di daerah. Warga daerah tak perlu merantau mencari kerja ke luar wilayahnya.
Dampak Jakarta-sentrisRuas jalan Jakarta yang sepi pada H-1 Lebaran 2024, Selasa, 9 April 2024.
Mudik bisa jadi merupakan imbas dari pembangunan yang Jakarta-sentris, atau hanya terpusat di Jakarta serta kota-kota besar lainnya serta melupakan daerah dan wilayah pinggirannya. Susan Blackburn dalam bukunya, Jakarta Sejarah 400 Tahun, mencatat ihwal munculnya pendatang ke Jakarta pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
"Mereka datang dalam jumlah besar seiring dengan kembalinya Pemerintah Republik dari Yogyakarta ke Jakarta pada 1949. Setelah penyerahan kedaulatan, pemerintah yang baru segera meningkatkan pelayanan publik yang sejalan dengan rencana-rencana ambisius untuk membangun negara, dan juga sebagai kebijaksanaan politik," tulisnya.
Survery pada 1953, lanjut Susan, juga menunjukkan mayoritas orang datang ke Jakarta karena alasan ekonomi. Pada akhir masa perjuangan merebut kemerdekaan, keadaan ekonomi negeri ini sangat buruk dengan produksi rendah dan barang tersedia hanya sedikit.
"Sebagai tempat kedudukan pemerintah nasionalis yang baru yang telah menjanjikan bahwa kemerdekaan akan membawa kemakmuran, Jakarta nampaknya menawarkan harapan baru bagi para penduduk pedesaan (perdesaan)," kata Susan. Jakarta juga menerima investasi dalam skala yang lebih besar daripada kota lainnya.
"Sebagai contoh, hampir dua pertiga dari total pinjaman pemerintah pada 1956 diberikan pada Jakarta," tulis Susan. Populasi Jakarta juga melonjak naik dari 823.000 jiwa pada 1948, naik menjadi 1.782.000 jiwa pada 1952, dan melesat menjadi 3.813.000 pada 1965.
Mudik barangkali bisa menjadi refleksi kepada pemerintah agar melakukan pembangunan secara merata, memberikan keadilan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan bagi daerah sehingga tak hanya terpusat di kota-kota besar atau ibu kota negara.***
Sentimen: positif (80%)