Sentimen
Negatif (99%)
19 Mar 2024 : 12.51
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Bogor, Penggilingan

Tokoh Terkait

Perangkap Impor Beras: Petani Tertindas, Pemerintah 'Kecanduan', Negara Agraris Kehilangan Kedaulatan Pangan

19 Mar 2024 : 19.51 Views 2

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Perangkap Impor Beras: Petani Tertindas, Pemerintah 'Kecanduan', Negara Agraris Kehilangan Kedaulatan Pangan

PIKIRAN RAKYAT - Pengajar di Insitut Pertanian Bogor, Profesor Dwi Andreas Santosa mengatakan bahwa penurunan produksi gabah di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 1 persen. Penurunan ini konstan terjadi, karena petani enggan terus-menerus menanggung kerugian sebab harga jual tak sebanding dengan biaya produksi.

”Selama 10 tahun terakhir, petani merasakan kerugian pada lima tahun di antaranya. Lalu buat apa mereka menanam padi? Itu yang membuat banyak dari petani berhenti menanam padi,” tuturnya pada Februari 2024.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu mengungkapkan, kerugian dipicu kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan konsumen ketimbang petani. Wujud dari ketimpangan itu terwujud dalam harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen yang dipatok lebih rendah daripada biaya produksi yang ditanggung petani.

Pada saat ini, HPP gabah kering panen berada di nominal Rp5.000 per kilogram. Sebagai perbandingan, biaya produksi yang dikeluarkan petani pada 2022 mencapai Rp5.700 kilogram.

Sebab enggan rugi, banyak petani tidak bersedia bertransaksi dengan Bulog. Konsekuensi dari kecenderungan yang menahun ini pun membuat Bulog harus memenuhi kuota cadangan beras melalui skema impor.

“Dengan kapasitas gudang mereka sekarang, Bulog sebenarnya mampu menyimpan sektar 3 juta ton beras atau 10 persen dari produksi gabah nasional,“ ucap Dwi Andreas Santosa.

“Akan tetapi, 10 persen gabah nasional itu harus dibeli Bulog dengan harga yang wajar. Beras hasil penggilingan gabahnya lalu bisa mereka gunakan untuk mengintervensi pasar, terutama pada masa akhir tahun sampai awal tahun ketika harga beras cenderung naik. Idealnya seperti itu,“ ujarnya menambahkan.

Situasi dan peran Bulog yang tidak ideal seperti saat inilah yang membuat pemerintah tidak akan pernah memiliki solusi berkelanjutan untuk persoalan ketersediaan dan harga beras. Statusnya sebagai perusahaan umum membuat Bulog akan sulit membeli gabah kering dari petani lokal dengan harga yang bersaing dengan perusahaan swasta.

Selama bertahun-tahun terakhir, petani lokal lebih memilih menjual gabah kering mereka kepada swasta. Alasannya, hanya perusahaan besar yang mempu membeli harga gabah kering panen dengan margin keuntungan untuk petani.

“Kembalikan Bulog ke posisi semula sebagai penyangga pangan. Bulog semestinya boleh rugi karena tugas menyangga pangan. Dengan begitu mereka membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, lalu menjual beras yang mereka simpan saat paceklik dengan harga di bawah pasar," kata Dwi Andreas Santosa.

“Sekarang Bulog harus untung karena mereka berstatus perusahaan umum. Kalau tidak boleh rugi, saat ada persoalan harga dan ketersediaan beras seperti hari-hari ini, buat apa pusing, mereka tinggal impor saja,“ tuturnya menambahkan.

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah 7/2003, Bulog bukan saja ditugaskan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat melalui urusan pangan, tapi juga “memupuk keuntungan“.

Alasan Pemerintah 'Kecanduan' Impor Beras

Pemerintah Indonesia terus melakukan impor beras setiap tahunnya, begitu juga dengan 2024 ini. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, Indonesia masih akan melakukan impor beras pada 2024 untuk mengamankan pasokan dan memenuhi kebutuhan beras nasional.

Dia mengklaim, langkah pemerintah melakukan impor beras menjadi antisipasi terhadap defisit neraca beras bulanan. Apalagi, produksi beras pada Januari-Februari 2024 diperkirakan masih di bawah kebutuhan bulanan secara nasional.

Berdasarkan kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional secara bulanan pada Januari 2024 diperkirakan hanya 0,9 juta ton.

Presiden Jokowi juga pernah mengungkap sejumlah alasan pemerintah melakukan impor beras untuk 2023 dan 2024. Menurutnya, salah satu alasan impor beras adalah untuk menjaga cadangan beras nasional.

Selain itu, impor beras dilakukan untuk menjaga agar harga beras tidak naik. Dia berdalih, impor beras dilakukan karena produksi beras dalam negeri mengalami penurunan akibat pengaruh El Nino.

"Ini untuk memastikan bahwa kita memiliki cadangan strategis stok (beras). Harus (impor) untuk menjaga agar tidak terjadi kenaikan (harga)," ucap Jokowi usai meninjau Gudang Bulog Dramaga, Kabupaten Bogor, Senin 11 September 2023.

'Solusi Sementara untuk Setumpuk Persoalan'

Ketua umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih menilai impor beras dan penyediaan beras SPHP tidak menyelesaikan akar persoalan beras di Indonesia yang dikenal sebagai Negara Agraris.

Menurutnya, beras SPHP yang dikelarkan Bulog sama seperti produk minyak goreng kemasan bermerek Minyakita yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan pada Juli 2022. Minyakita adalah program minyak goreng murah pemerintah untuk merespons harga minyak goreng yang meroket dan dijual Rp14.000 per liter.

“Program semacam ini populis. Pemerintah berusaha menutupi persoalan dengan program ini, tapi sebenarnya ini tidak mengatasi permasalahan yang ada,” ucap Henry Saragih pada Februari 2024, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.

Kelangkaan dan lonjakan harga beras dipicu silang sengkarut berbagai persoalan. Salah satunya adalah produksi gabah yang menurun.

Anjloknya produksi gabah disebabkan faktor iklim seperti El Nino yang menyebabkan kekeringan, serta La Nina yang meninggikan curah hujan dan potensi banjir di Indonesia. Henry Saragih tidak memungkiri faktor alam yang turut disebut Jokowi memicu mundurnya masa panen awal 2024.

Penurunan produksi gabah juga dipicu harga pupuk nonsubsidi yang melambung pada 2023. Dia menuturkan, selama 2023 jatah pupuk subsidi juga berkurang.

Pemicu nonalam selain pupuk adalah alih fungsi lahan pertanian padi. Menurut data Kementerian Pertanian pada 2022, setiap tahunnya 90.000 sampai 100.000 hektare sawah berubah fungsi.

Padahal, Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencatat bahwa setiap tahun pencetakan sawah baru hanya mencapai 60.000 hektare. Dari selisih sawah yang hilang setiap tahun itu saja, produksi gabah di Indonesia turun hingga 174.000 ton per tahun.

Alih fungsi sawah menjadi lahan pertanian lain seperti jagung, juga disebut sebagai tren meluas yang menyebabkanya produksi gabah turun.***

Sentimen: negatif (99.8%)