Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Ramadhan
Institusi: UNPAD
Kab/Kota: Bantul
Kasus: covid-19
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Dua Hal yang Jadi Biang Kerok Politik Uang Begitu Marak di Indonesia
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Politik uang masih menjadi problem besar Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yang sulit dihilangkan dan terkesan dianggap lumrah. Meski seringkali dilakukan tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi penanganannya kerap terbentur bukti.
Lihat saja di jejaring media sosial X. Berbagai bukti dugaan politik uang dilaporkan secara masif. Pada hari H pencoblosan, cuitan mengenai politik uang bahkan menempati trending topic, yang juga dilengkapi dengan bukti testimoni dan foto.
Hingga kini, laporan mengenai dugaan politik uang pada Pemilu 2024 masih terus bermunculan. Yang terbaru, Bawaslu RI telah mengkonfirmasi laporan terhadap dua orang caleg di DKI Jakarta yang diduga terlibat dalam politik uang. Laporan tersebut kini dilimpahkan ke Bawaslu tingkat kota, sesuai dengan lokasi dugaan pelanggaran terjadi (locus delicti).
Ada pula laporan dari masyarakat yang diterima Bawaslu Bantul, mengenai indikasi terjadi politik uang selama penyelenggaraan Pemilu di Bantul tahun 2024. Meski begitu, Bawaslu Bantul mengaku sulit menindaklanjutinya menjadi laporan resmi.
Baca Juga: Mengenang Mang Ihin, Selamat Jalan Pahlawanku
Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Firman Manan menyebutkan, tantangan terbesarnya adalah karena masyarakat semakin menganggap bahwa politik uang adalah sesuatu yang wajar. Hal tersebut sesuai dengan riset yang dilakukannya bersama Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) selama tiga tahun terakhir.
Dalam survei yang dilakukan setiap akhir tahun tersebut, tim mengajukan pertanyaan kepada 1.220 masyarakat sebagai sampel, tentang sejauh mana mereka menganggap politik uang adalah sesuatu yang wajar. Artinya, ada “transaksi” pemberian uang dan barang di sana.
Hasilnya, pada akhir 2021 didapatkan hasil sebanyak 41% masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Pada 2022, angkanya merangkak naik menjadi 53%. Sedangkan pada 2023, angkanya terus meningkat menjadi 62%.
Baca Juga: Jadwal Pencairan Bansos PKH 2024, Simak Kriteria dan Besaran yang Diterima Maret
“Artinya, semakin mendekati tahun Pemilu, warga yang menganggap politik uang adalah sesuatu yang wajar semakin tinggi. Di sini, ada hubungan antara demand dan supply,” tuturnya kepada Pikiran Rakyat, Selasa, 5 Maret 2024.
Survei tersebut juga sejalan dengan hasil temuan terbaru Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia terhadap 2.975 responden dari 3.000 TPS dengan margin of error (MOE) 1,8% di seluruh Indonesia. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa sebanyak 46,9% responden menyebut bahwa politik uang bisa ditoleransi dan hal yang wajar.
Sementara itu, sebanyak 49,6%, kata Burhanuddin, menilai bahwa politik uang itu bukan hal yang wajar dan tidak diterima.
Baca Juga: Ahmad Sahorni Yakin Tak Ada Motif Politik di Balik Pelaporan Ganjar Pranowo ke KPK
Dalam studi tersebut, Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bagaimana “wajah asli” demokrasi elektoral Indonesia yang dikorupsi oleh praktik jual beli suara. Fenomena ini tak hanya di Pemilu nasional, tapi juga pemilihan kepala daerah.
Menurut dia, banyak operator politik melegitimasi politik uang sebagai strategi paling efektif dan penargetan loyalis partai “sebagai tindakan pemberian hadiah (gift giving), bahkan kewajiban moral.”
Banyak kandidat dan tim sukses yang disurvei, kata Burhanuddin, menginterpretasikan pemberian uang tunai atau bantuan kecil kepada pemilih sebagai "ritual pertukaran hadiah" dan bukan sebagai tindakan jual beli suara secara terang-terangan. Maka, para penerima tidak keberatan dengan tukar-menukar suara, karena hal tersebut tidak dilihat sebagai bentuk suap terhadap suara mereka, tulisnya.
Baca Juga: Dugaan Penggelembungan Suara PSI, Ketua KPU Ciegon Angkat Suara: Tidak Benar
Menurut dia, membingkai praktik jual beli suara dalam konteks norma sosial timbal balik akan “menghasilkan perasaan tidak enak dari pihak penerima jika tidak membalas pemberian tersebut dengan dukungan suara kepada pihak yang memberi.”
Faktor ekonomiPolitik uang menjadi salah satu persoalan yang terus menggerus kualitas dan integritas demokrasi di Indonesia. Politik uang membuat manipulasi hak pilih, karena seleksi pemimpin politik tidak berdasarkan kapasitas dan rekam jejak -melainkan karena kekuatan sumber daya.
Idealnya, seorang pemimpin dipilih karena program dan kualitas kandidat yang akan dipilih (visi misi program dan citra diri).
Disebutkan Firman, setidaknya ada dua hal utama yang menyebabkan politik uang begitu marak di negeri ini, dari sudut pandang masyarakat. Pertama sudah barang tentu adalah persoalan ekonomi.
Baca Juga: Niat Keramas sebelum Puasa Ramadhan, Lengkap dengan Tata Cara Mandi Junub
“Apalagi setelah Covid-19 ini kan masih masa recover secara ekonomi. Dan di berbagai studi pun juga dijelaskan bahwa masyarakat yang paling berpotensi terpapar politik uang adalah masyarakat menengah ke bawah,” tuturnya.
Tidak hanya terjadi menjelang Pemilu, politik uang juga bisa terjadi pascapencoblosan. Mulai dari penghitungan suara hingga rekapitulasi.
“Kita juga sering mendengar sinyalamen transaksi, terutama yang banyak terdengar adalah di tingkat kecamatan, untuk mengubah suara. Jadi, ada kemungkinan bahwa politik uang tidak hanya berkutat pada pemilih dan kandidat, melainkan penyelenggara Pemilu,” kata Firman.
Selain itu, ada pula faktor ketidaktahuan warga. Disebutkan Firman, masih banyak warga yang tidak mengetahui atau menyadari bahwa politik uang merupakan bagian dari tindak pidana Pemilu. Terutama, pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Baca Juga: Sungguh Menyedihkan Melihat Rakyat Terengah-engah untuk Sekadar Memenuhi Kebutuhan Pokoknya
Dari sisi kandidat, beberapa studi juga menyebutkan bahwa “pertarungan” politik uang tidak hanya terjadi antarparpol, melainkan antar caleg dalam satu parpol. Hal itu terjadi karena para caleg bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak yang akan melanggengkan jalan menuju kekuasaan.
Dengan kerentanan tinggi tersebut, maka Firman menyebutkan bahwa pencegahannya adalah pengawasan. Meskipun, lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan (Bawaslu) kerap mengeluarkan alasan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menegakkan hukum secara menyeluruh.
Kondisi tersebut juga menyiratkan kurang berhasilnya sosialisasi terkait penyelenggaraan Pemilu. Padahal, pengawasan dan pendidikan politik adalah dua hal utama yang bisa menangkal terjadinya politik uang.
Baca Juga: Pertemuan Khusus AHY-Prabowo, Menteri ATR/BPN Bocorkan Isi Pembicaraannya
Maka, apakah negara harus mengubah sistem Pemilu menjadi lebih tertutup? Firman menganggap, hal tersebut bukan juga merupakan jawaban. Mengubah sistem Pemilu tak bisa serta merta menghilangkan politik uang.
“Yang lebih penting adalah bagaimana menyosialisasikan, atau melakukan pendidikan politik, sehingga masyarakat bisa menggunakan hak pilih secara rasional, cerdas, dan bertanggung jawab,” tutur Firman.
Selain itu, pemberian sanksi kepada penerima politik uang, juga dianggap Firman bisa menghasilkan efek jera. Selama ini, UU mengenai Pemilu hanya mengakomodir sanksi bagi pemberi uang. Hal tersebut membuat masyarakat semakin permisif.
“Dengan adanya sanksi bagi penerima politik uang, bisa jadi akan membuat masyarakat berpikir dua kali ketika menerima serangan fajar,” ujarnya.***
Sentimen: positif (48.5%)