Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Katolik
Kab/Kota: Yogyakarta
Kasus: mayat
Tokoh Terkait
Orang-Orang di Tepian Panggung
Detik.com Jenis Media: News
Judul Buku: 1970 Sebuah Novel; Penulis: Henrique Schneider; Penerjemah dari Bahasa Portugis: Gladhys Elliona; Penerbit: Marjin Kiri, 2023; Tebal: iv + 134 halaman
Brasil mengalahkan Italia dengan skor 4-1 dalam babak final Piala Dunia 1970. Negeri itu larut dalam histeria setelah Pelé, Gérson, Jairzinho, dan Carlos Alberto silih berganti menjebol gawang Enrico Albertosi. Wajar saja bila seantero negeri merayakan ini dengan gegap gempita, karena empat gol itu memastikan Brasil sebagai negara pertama yang tiga kali menjuarai ajang paling bergengsi itu.
Di antara histeria itu, pada 21 Juni 1970, ada seorang warga Porto Alegre di selatan Brasil, yang tak punya hasrat meski hanya sesaat untuk turut merayakannya, sekalipun sekadar untuk berpura-pura. Orang itu adalah Raul dos Santos Figueira. Saat melahap makanan dan minuman di kafetaria di tengah keramaian acara nonton bareng final Piala Dunia, ia hanya tersenyum basa-basi pada sang pelayan yang memberinya uang kembalian atas makanan plus minuman yang sudah ia lesakkan ke dalam tenggorokannya.
Terang saja, beberapa jam sebelumnya pria berusia 25 tahun itu baru saja dibebaskan dari penculikan, pengurungan sekaligus penyiksaan yang untung saja tak merenggut nyawanya. Sembilan hari dalam sekapan pasti bukan hal mudah buat siapapun. Kenapa Raul enggan larut dalam euforia macam itu? Penculikan yang menimpanya jadi puncak penderitaan, setelah rasa sakit akibat patah hatinya masih belum sembuh karena tiga bulan sebelumnya ditinggal pergi Sonia sang kekasih.
Setelah siksaan fisik dan psikis datang silih berganti dalam tahanan, baru ketahuan kemudian bahwa ternyata ia adalah korban salah tangkap. Ia dituduh sebagai komunis dan berkomplot dalam penculikan seorang diplomat asing. Tak hanya Raul. Hati ibunda yang telah lama menjanda pun turut hancur. Raul yang bekerja sebagai teller di sebuah bank itu adalah anak tunggal kesayangan ibunya. Ia anak manis bagi sang ibu, karena tak pernah pergi jauh tanpa pamit itu, apalagi hilang tak jelas ke mana.
Sang ibu yang hampir menginjak usia enam puluh itu melapor ke pihak keamanan, bercerita ke redaksi surat kabar, bahkan berkeluh kesah pada pihak Gereja Katolik. Tapi ia selalu pulang dengan tangan kosong.
Konteks Brasil
Raul dan sang ibu adalah dua di antara sejumlah tokoh fiksi yang dihadirkan Henrique Schneider dalam novel 1970. Tapi, kita tentu mafhum, tak ada selembar pun karya fiksi yang ditulis dalam ruang hampa. Ada latar, dalam hal ini sejarah politik kelam di Brasil, yang mengelilinginya.
Novel ini sendiri aslinya berjudul Setenta, sebuah kata dalam Bahasa Portugis yang berarti "tujuh puluh". Karya ini ditulis oleh Henrique, seorang pengacara sekaligus penulis, yang telah menerbitkan sejumlah buku pemenang sejumlah penghargaan. Setenta, misalnya, dianugerahi Prêmio Paraná de Literatura pada 2017.
Dalam realitas historisnya, ada begitu banyak sosok seperti Raul. Ia adalah satu dari begitu banyak korban penculikan akibat kesemena-menaan diktator militer di Brasil yang berkuasa antara 1964 hingga 1985. Kediktatoran itu memakan korban tak main-main.
Komisi Kebenaran Nasional Brasil (CNV) dalam sebuah laporan pada 2014 menyebutkan bahwa dalam konteks pola pelanggaran berat hak asasi manusia, CNV berhasil mengkonfirmasi setidaknya 434 kasus kematian dan penghilangan paksa selama rezim militer berkuasa. Dari jumlah tersebut, 191 berkaitan dengan mereka yang meninggal dunia, 210 berkaitan dengan orang hilang --33 di antaranya kemudian ditemukan selama masa kerja CNV.
Dalam laporannya, CNV juga memaparkan hasil investigasi terhadap berbagai fakta dan keadaan terkait dengan banyak kasus penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, eksekusi, penghilangan paksa dan penyembunyian mayat, semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang membentuk CNV.
Konteks Indonesia
Meski novel ini berlatar Brasil 1970, gemanya juga bisa kita rasakan di negeri ini, terutama karena Indonesia juga pernah punya sejarah pelanggaran hak asasi manusia dalam beberapa periode sejarahnya, setidaknya pada 1998 dan 1965. Untuk era kiwari, misalnya, kita bisa menengok pada berbagai kisah seputar perampasan lahan demi infrastruktur, juga pada apa yang terjadi pascareferendum di Timor Timur pada 1999.
Tapi, kita tentu kerap menelan kekecewaan bahwa dalam banyak episode republik ini, termasuk dalam ajang Pemilu 2024, suara-suara para korban yang haknya dilanggar oleh negara kerap tenggelam begitu saja. Suara protes kerap muncul ke permukaan, seperti yang dicatat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, di mana ada 2.710 kejadian berkaitan dengan konflik agraria dalam kurun 2015 - 2022 atau hampir sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo efektif berjalan. Dari semua kejadian itu, total ada 69 warga yang kehilangan nyawa. Ada pula 1.615 warga yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.
Menjelang pemilu pada 14 Februari 2024, jutaan pasang mata di republik ini belakangan disodori tontotan debat, diskusi serta seminar ini dan itu, pemberitaan tanpa henti selama tujuh hari seminggu, berjam-jam dalam sehari. Media massa disesaki dengan perdebatan, mulai dari yang substansial sampai yang tak bermutu karena menghina maupun bersifat ad hominem, dan seterusnya.
Berbagai tontonan itu sering –untuk tidak menyebutnya selalu– berjarak dari kenyataan di masyarakat. Semuanya seolah menjadi pengalih perhatian publik dari berbagai pemberitaan tentang warga yang jadi korban kesemena-menaan penguasa, baik di level regional maupun pusat. Penguasa di berbagai level memilih untuk menyibukkan diri dengan kampanye. Sebagian besar dari kita, terutama kalangan marginal, kerap berada di tepian panggung pemilu.
Beberapa kali tentu para kandidat presiden maupun anggota legislatif datang menghampiri demi meraih simpati calon pemilih, meski tak jelas bagaimana kelak nasib kalangan marginal itu diperjuangkan saat kekuasaan sudah berada dalam genggaman.
Berkaca dari pengalaman Brasil dan Indonesia, saya lantas teringat pada apa yang Henrique tuliskan pada novel yang ia tandatangani buat saya di Yogyakarta awal Oktober lalu: Semoga Anda menyukai cerita ini – cerita yang semestinya tetap menjadi fiksi.
Sayang sekali, berbagai hal tak mengenakkan itu bukanlah fiksi.
Frans Pascaries penulis dan penerjemah; tinggal di Madrid, Spanyol
(mmu/mmu)Sentimen: negatif (88.9%)