HPN 2024: Greenpeace Blak-blakan Soal Konflik Kepentingan yang Eksploitasi SDA Indonesia
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT – Greenpeace buka-bukaan soal adanya konflik kepentingan yang dilakukan sejumlah elite dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hal iti disampaikan Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra dalam seminar yang digelar PWI bertajuk Selamatkan Planet Bumi Melalui Penerapan Prinsip ESG.
Syahrul Fitra mencontohkan konflik kepentingan terjadi di wilayah atau negara dengan SDA paling kaya. Tak heran negara atau wilayah dengan SDA paling kaya justru menjadi yang paling miskin.
Hal itu bahkan dinilai seperti kutukan yang harus segera ditangani. Syahrul Fitra menyebut Papua adalah contoh paling kecil dalam praktik eksploitasi SDA dalam sebuah konflik kepentingan.
“Konflik kepentingan itu membuat Indonesia sulit keluar dari situasi dikutuk. Karena punya kekayaan sumber daya alam yang besar, jadi ada yang namanya kutukan sumber daya alam, negara atau wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu justru akan selalu terjebak sebagai wilayah yang miskin,” ujar Syahrul Fitra.
Baca Juga: HPN 2024: Greenpeace Sebut Transparansi Jadi Kendala Utama Prinsip ESG Tak Bisa Berjalan Lancar
“Ada riset yang kami lakukan di Papua tahun lalu. Papua itu kaya akan sumber daya alam, tapi justru APBD nya begitu rendah dan tingkat pendidikannya rendah, bahkan mayoritas orang Papua gak sampai ke jenjang menengah atas, padahal wilayahnya kaya akan sumber daya alam,” katanya menambahkan.
Menurut Syahrul, elite politik hanya akan merepresentasikan kepentingan oligarki. Pihak yang diuntungkan pun hanya sebagian orang, dan bukannya orang yang benar-benar membutuhkan.
“Ini terjadi karena konflik kepentingan. Karena elit politik kita justru merepresentasikan kepentingan-kepentingan oligarki yang ada di baliknya. Konflik kepentingan yang ketika ada kontestasi, ada yang mensponsori mereka,” ucap Syahrul.
“Kepentingan pembangunan Indonesia tidak diarahkan untuk semua orang, tapi untuk sebagian orang saja. Dan itu tergambar dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” tuturnya menambahkan.
Transparansi jadi kendala penerapan ESGDalam kesempatan itu pula, Syahrul mengungkapkan bahwa penerapan ESG sangat perlu. Kendati demikian, belum ada perusahaan yang menerapkan prinsip ESG untuk perusahaannya.
Syahrul mencontohkan bahwa Elon Musk sempat ingin tertarik berinvestasi di Indonesia. Tapi niat tersebut diurungkan karena ESG di Indonesia sangat buruk, padahal Tesla sangat sensitive dengan aspek lingkungan.
Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan ESG yang baik di Indonesia, pemerintah dan perusahaan harus transparan. Sehingga semua pihak bisa mengawasi prosesnya.
“Di Indonesia, hal yang membuat implementasi ESG jadi buruk adalah minimnya transparansi. Jadi apapun kriteria yang dibentuk, sekuat apapun indikator ESG yang dibangun, selama transparansi gak ada, tidak ada yang bisa menguji itu. Hanya perusahaan dan negara saja yang tahu,” katanya menambahkan.***
Sentimen: negatif (98.3%)