Sentimen
Positif (100%)
1 Feb 2024 : 20.17
Informasi Tambahan

Event: Perang Dunia II

Grup Musik: Slank

Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga

Kab/Kota: bandung, Depok

Pemilu 2024 adalah Perang Influencer, Pers Sudah Berubah Fungsi

2 Feb 2024 : 03.17 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Pemilu 2024 adalah Perang Influencer, Pers Sudah Berubah Fungsi

PIKIRAN RAKYAT - Sederet pemengaruh atau influencer memeriahkan kontestasi politik lima tahunan. Sejumlah nama mentereng bahkan ada di kubu tiga pasangan calon yang bertarung dalam Pilpres 2024.

Selain komika, penyanyi, dan band legendaris, selebriti kondang seperti Raffi Ahmad bahkan terjun langsung, kerap tampil di beberapa kesempatan bersama pasangan calon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Di kubu pasangan calon nomor urut 1 Anies Basewedan-Muhaimin Iskandar ada sederet komika yang secara terang-terangan mendukung, terbaru mendapat dukungan dari Raja Dangdut Rhoma Irama.

Sementara di kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, grup band legendaris asal Potlot, Jakarta, SLANK, mendeklarasikan dukungannya. Pengamat politik Silvianus Alvin menilai, Pemilu 2024 merupakan pertarungan influencer.

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kiri) berjalan bersama Rhoma Irama (kanan) saat berkunjung ke markas Soneta Record, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu, 20 Januari 2024.

Jokowi berfoto bersama Prabowo dan influencer.

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo, cawapres Mahfud MD bersama ersonel grup musik Slank di Jalan Potlot, Jakarta pada Sabtu, 20 Januari 2024.

"Menurut saya, di pemilu kali ini memang adalah perang influencer. Kalau di dua pemilu sebelumnya adalah perang media massa. Kalau sekarang, media massa berubah bentuk atau berubah fungsi, sebagai lembaga verifikasi data atau cek fakta. Cek fakta, karena begitu banyak hoaks, sekaligus sebagai media untuk mempersuasi," kata akademisi Universitas Multimedia Nusantara itu saat dihubungi di Bandung, Selasa, 31 Januari 2024.

Walakin, penulis buku Komunikasi Politik di Era Digital: dari Big Data, Influencer Relations & Kekuatan Selebriti, hingga Politik Tawa menyorot para pemengaruh yang tak sesuai dengan citra yang dibentuk selama ini, tiba-tiba berbicara politik.

"Banyak influencer make up misalnya tiba-tiba membicarakan politik, itu tidak sesuai dengan citra masing-masing. Sama seperti kalau dulu media pers misalnya ada radio, radio itu dulu punya genre masing-masing. Ada radio dangdut, radio berita. Influencer pun sebenarnya kurang lebih seperti itu, mereka punya narasinya masing-masing," ucap pria yang menuntaskan S2 di University of Leicester itu.

"Kalau influencer make up tiba-tiba membicarakan politik, itu tidak akan masuk. Orang datang menjadi followers karena kontennya itu (ketertarikan terhadap konten yang diunggah). Narasinya apa yang mereka butuhkan. Jadi sangat niche atau sangat spesifik. Berbeda kalau misalnya influencer-nya adalah influencer yang memang sering membicarakan tentang isu-isu sosial politik. Contohnya, Deddy Corbuzier. Kalau Deddy Corbuzier kan sering dalam konten YouTube-nya itu membicarakan tentang isu sosial-politik. Nah dari situ. Itu akan memberikan dampak," tuturnya lagi.

Menurutnya, prinsip utamanya adalah influencer mana yang memang narasinya sesuai dengan isu-isu yang dibahas. "Seberapa banyak pun (pengikut atau followers) dia, kalau banyak ya pasti ada impact-nya sedikit mah ada tetapi tidak signifikan."

Lahirnya influencer

Ilustrasi media sosial.

Akademisi Universitas Airlangga Nisa Kurnia Illahiati menyebut, fenomena influencer era kontemporer sudah tampak sejak Perang Dunia II. Kala itu, Adolf Hitler berusaha menyebarkan doktrin Nazi melalui berbagai propaganda di penjuru Eropa melalui Menteri Propaganda Joseph Goebbels.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga itu berujar, persuasi sebagai pengemasan pesan itu akhirnya digunakan guna mengubah pemikiran dan sikap masyarakat supaya sesuai dengan yang diinginkan. Hingga kini, Goebbels bahkan dikenal lantaran mencetuskan teori propaganda bernama Big Lie.

Dalam strateginya, Goebbels meyakini kalau berita bohong bisa diubah menjadi suatu kebenaran cuma dengan menyebarluaskan kebohongan itu secara terus-menerus melalui media massa. "Fenomena itu yang kemudian membentuk konsep utama dari influencer. Persuasi yang menyasar pada what we thinking," kata dia, dikutip dari laman resmi Universitas Airlangga, diakses 31 Januari 2024.

Fenomena influencer berlanjut lewat media komunikasi massa, salah satunya surat kabar. Namun, kala itu bahasan utamanya masih berkutat mengenai ideologi dan imperialisme lantaran perang yang masih berlangsung. Sampai Perang Dunia II berakhir, fenomena influencer mulai mengalami pergeseran serta transformasi.

Menurutnya, kala dunia berusaha membangkitkan ekonomi seusai perang, fokus fenomena itu beralih ke industri dan konsumerisme, sehingga pada era itu fenomena pemengaruh yang digunakan untuk keperluan komersial mulai berkembang.

Hadirnya era digital pada 1990-an diikuti perkembangan pasar konsumen yang makin tersegmentasi. Segmentasi yang terbentuk membikin para pemengaruh mulai membangun pasar mereka secara spesifik. Mereka mesti dapat melihat segmentasi masyarakat mana yang menjadi sasarannya. Berbagai hal dimanfaatkannya, seperti momen, ketertarikan, tren, dan aspek lainnya.

Puncaknya fenomena influencer itu pada 2009, kala media sosial semakin menjamur dan membangun jaringan koneksi massal yang dimanfaatkan. Pada tahun-tahun itu, istilah pemengaruh yang dipahami seperti saat ini mulai terbentuk.

Para influencer itu, kata dia, adalah orang-orang yang memiliki banyak pengikut dan berusaha untuk menyajikan dan menyebarkan nilai-nilainya kepada masyarakat. Bagi para pengikutnya, influencer itu dianggap seperti role model yang harus diikuti.

Dia bilang, kurang lebih, para influencer menyasar aspek sosial dan psikologis pengikutnya. Hal itu bukan tanpa alasan, lantaran dalam ranah virtual, masyarakat bakal selalu haus pengakuan dan image. Karena itu, influencer secara tidak langsung hadir sebagai pribadi ideal yang membangun standar ideal dalam berbagai aspek.

“Bagi para pencinta indie, mereka pasti mengikuti Pamungkas, Fiersa Besari, dan berbagai budaya kaum penikmat senja. Mereka pasti ingin mengikuti imajinasi, standar, dan gaya hidup dari idola mereka. Ternyata, hal tersebut menghasilkan niche market yang salah satunya mampu mempopulerkan coffee shop," katanya.

Menjamurnya influencer tak terlepas dari pengaruhnya yang semakin massif. Bahkan, pemengaruh menjadi dambaan kaum milenial.

"Semua itu tidak hanya menghasilkan pengaruh. Tapi juga profit secara ekonomis. Makanya transformasi fenomena influencer begitu signifikan. Dari yang awalnya alat propaganda ideologi, kini beralih ke jualan identitas, produk, fashion, gaya hidup, maupun berbagai hal lain yang menarik bagi pengikutnya. Dan saya yakin, industri tersebut akan semakin bertumbuh di masa depan," ucap dia.***

Sentimen: positif (100%)