Sentimen
Positif (66%)
30 Jan 2024 : 00.00
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Andalas

Kab/Kota: Gunung

Kasus: HAM

Partai Terkait

HEADLINE: KPU Sebut Jokowi Bisa Ajukan Cuti Kampanye ke Diri Sendiri, Urgensinya?

30 Jan 2024 : 00.00 Views 2

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: KPU Sebut Jokowi Bisa Ajukan Cuti Kampanye ke Diri Sendiri, Urgensinya?

Meski belum memastikan akan turun gunung di Pemilu 2024, pernyataan Jokowi tentang presiden boleh memihak dan kampanye memicu polemik di masyarakat. Meski diatur dalam undang-undang, wacana presiden berkampanye untuk salah satu paslon menuai pro dan kontra.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai, pernyataan Presiden Jokowi tersebut bisa merusak etika bernegara. "Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden," ujar Feri kepada wartawan, Kamis 25 Januari 2024 lalu.

Jika presiden memihak kepada salah satu kandidat, kata Feri, maka bisa saja hal itu merusak sistem kepartaian. Sebab idealnya seorang presiden mendukung calon yang diajukan partainya, PDIP. Namun fakta saat ini berbeda. Jokowi diyakini justru mendukung capres yang diusung oleh partai lain.

"Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai. Letak kesalahan pada panggilan etika dan moral," tutur dia.

Feri mengkritik, sampai saat ini Jokowi diyakini tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara. Bahkan tidak memberikan contoh baik dalam beretika politik di Indonesia.

"Terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pilpres," ucap dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Feri lalu mengurai sejumlah pasal yang memayungi aturan terkait. Pertama, Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Adapun Pasal 282 berbunyi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye," ungkap Feri

"Juga Pasal 283, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye," sambung Feri.

Feri mengamini aturan tersebut otomatis gugur jika mereka cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, hal itu tertuang dalam dalam Pasal 281. 

Meskipun tidak melanggar aturan, tetapi bentuk keberpihakan kepala negara bakal berbenturan dengan etika dan moral. "Namun semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," ucap Feri memungkasi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga mengkritisi pernyataan Jokowi terkait jajaran menteri hingga presiden boleh berkampanye, bahkan memihak di ajang Pemilu 2024.

Direktur Perludem, Khoirunnisa Agustyati mengatakan, pernyataan tersebut berpotensi menjadi pembenar bagi presiden, menteri, bahkan pejabat yang ada di bawahnya untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024, di tengah adanya konflik kepentingan lantaran anak kandung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

"Padahal, netralitas aparatur negara, adalah salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, fair, dan demokratis," kata Khoirunnisa dalam keterangannya, Rabu 24 Januari 2024.

Padahal di dalam UU Pemilu Pasal 282 berbunyi; Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi presiden dan pejabat negara lain, termasuk menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta Pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye," ucap Khoirunnisa.

Karena itu, dia berharap Jokowi menarik pernyataannya karena berpotensi menjadi alasan pembenar bagi pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan Pemilu. Juga berpotensi membuat proses penyelenggaraan Pemilu dipenuhi dengan kecurangan, tidak fair, dan tidak demokratis.

"Mendesak Bawaslu untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu," ucap Khoirunnisa.

"Mendesak kepada seluruh pejabat negara, seluruh apartur negara untuk menghentikan aktifitas yang mengarah pada keberpihakan, menyalahgunakan program pemerintah yang mengarah kepada dukungan pada peserta pemilu tertentu," katanya memungkasi.

Yusril: Tak Ada Larangan Presiden Berpihak di Pemilu

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk berkampanye, baik untuk pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Termasuk pada payung hukum yang sama, juga tidak ada larangan kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

"Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya," ujar Yusril melalui keterangan diterima, Kamis 25 Januari 2024.

Yusril melanjutkan, pada pasal 281, mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Kendati begitu, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.

"Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak?," heran Yusril.

Yusril menegaskan, tidak ada aturan menyatakan Presiden harus netral atau tidak boleh memihak. Sebab jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi untuk satu periode saja.

Ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini lalu mempersilakan kepada pihak yang ingin presiden netral dan tidak memihak untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

"Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Jokowi tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak," ungkap Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) periode 2001-2004 ini.

Yusril pun siap pasang badan, bila ada yang menilai keberpihakan presiden dicap tidak etis. Sebab harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu," kata dia.

"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada," imbuh Yursil menandasi.

Sentimen: positif (66.7%)