Sentimen
Positif (88%)
24 Jan 2024 : 06.55
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Karet, Banyuwangi, Palu

Kasus: HAM, pembunuhan

Tren kriminalisasi dan urgensi regulasi perlindungan aktivis

24 Jan 2024 : 13.55 Views 2

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Tren kriminalisasi dan urgensi regulasi perlindungan aktivis

Mustaghfirin menyadari kasus kriminalisasi yang ia alami bersama rekan-rekannya tak tunggal. Di berbagai tempat, ia mengetahui banyak pejuang lingkungan dan pembela HAM yang juga dikriminalisasi. Menurut dia, itu terjadi karena negara tak pernah serius melindungi para aktivis seperti mereka. 

"Pembela lingkungan wajib untuk dibela. Harusnya ada aturan resmi yang dibuat untuk melindungi hak pelindung lingkungan dari kriminalisasi. Pemerintah mesti buat undang- undang," ucap Mustaghfirin. 

Kasus-kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan memang melonjak dalam sepuluh tahun terakhir. Merujuk catatan Auriga Nusantara, setidaknya ada 133 kasus strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia sedari 2014 hingga 2023. 

Khusus 2023, tercatat ada 30 kasus SLAPP, naik dari angka tahun sebelumnya yang mencapai 24 kasus. Kriminalisasi terhadap pembela lingkungan merupakan kasus yang paling mendominasi dengan 82 kasus, diikut kekerasan fisik (20 kasus), intimidasi (15 kasus), pembunuhan (12 kasus), imigrasi atau deportasi (2 kasus), dan perusakan properti (2 kasus). 

Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Teo Reffelsen mengamini catatan Auriga Nusantara itu. Menurut dia, serangan terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM angkanya naik karena pemerintah juga kerap tutup mata menyikapi realita di lapangan. 

"Ini menunjukan bahwa negara absen dalam melindungi mereka. Negara sebenarnya bukan tidak bisa, tapi memang tidak mau sehingga semua serangan terhadap pembela HAM tersebut dibiarkan begitu saja," ucap Teo kepada Alinea.id, Senin (22/1).

Teo menyebut sudah ada Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 66 UU itu, ada aturan berkonsep anti-SLAPP. " Pada level teknis, di Internal kejaksaan dan Mahkamah Agung juga sudah ada peraturan acara pemeriksaan SLAPP," ucap Teo.

Sayangnya, menurut Teo, penegak hukum tak punya pemahaman komprehensif mengenai regulasi perlindungan terhadap aktivis lingkungan. Budaya penegakkan HAM pada aparat penegak hukum juga masih sangat lemah. Polisi, jaksa dan hakim kerap mengabaikan perlindungan kepada aktivis lingkungan. 

"Paralel dengan hal tersebut, masih banyak tersebar pasal-pasal karet (elastis) yang bisa dimanfaatkan untuk memidana pembela HAM. Kita lihat saja, misalnya, kasus Budi Pego. Dia orang yang memperjuangkan lingkungan, tapi dipidana atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali," ucap Teo.

Budi Pego ialah aktivis anti tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia ditangkap Maret 2023 saat menggelar aksi unjuk rasa menolak tambang. Ia dicap komunis karena ada spanduk berlogo palu arit di antara peserta aksi. Padahal, Budi tak tahu apa itu Marxisme dan Leninisme. 

Jika situasi itu dibiarkan, menurut Teo, bukan tak mungkin negara kian semena-mena terhadap aparat. Apalagi, sejarah mencatat banyak aktivis lingkungan dan HAM yang dibunuh karena vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah. "Sebagai contoh kasus pembunuhan Munir dan Golfrid Siregar," jelas Teo. 

Munir ialah aktivis HAM yang tewas dibunuh agen Badan Intelijen Negara, sedangkan Golfrid adalah advokat dan aktivis lingkungan hidup dari Walhi. Golfrid ditemukan meninggal terkapar di bawah terowongan Titi Kuning, Medan, Sumatra Utara, 3 Oktober 2019. 

Maraknya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan HAM itu, lanjut Teo, menunjukkan bahwa regulasi yang melindungi mereka masih lemah. "Untuk memperkuat status pengakuan pembela HAM, perlu dibuat satu UU khusus mengenai perlindungan pembela HAM atau UU anti-SLAPP atau juga dapat melebur melalui revisi UU HAM," ucap Teo.


 

Sentimen: positif (88.9%)