Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: HAM, korupsi
Tokoh Terkait
Capres Diharapkan Mampu Membawa Indonesia Emas pada 2045
Medcom.id Jenis Media: News
Jakarta: pemerhati isu-isu global dan strategis, Imron Cotan khawatir atas turunnya indeks demokrasi di Indonesia. Hal itu didapatnya dari berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi. “Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut,” ujar Imron, dalam Webinar Nasional Moya Institute, Rabu, 10 Januari 2024. Selain demokrasi, Imron juga menyorot kasus korupsi. Kasus-kasus besar seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara telah menjadi berita utama, menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar. "Apalagi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen, yang menyulitkan Indonesia keluar dari "middle-income trap"," kata Imron. Menurut Imron, integritas pemilu dan regresi demokrasi menjadi topik pembahasan penting di masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan. Oleh karena itu ia berharap calon presiden ke depan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045 dan tidak memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojudin Abbas ikut menyoroti situasi politik saat ini. Sirojudin mencontohkan bantuan sosial yang dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik pemenangan paslon tertentu. Sirojudin juga berpendapat, pengucuran bansos dilakukan karena Presiden menyadari bahwa kepuasan terhadap kinerjanya tidak baik pada beberapa aspek, seperti rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan serta akses terhadap sektor kesehatan. Mengenai kandidat capres ideal, Sirojudin mengatakan masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil risikonya bagi bangsa Indonesia. “Saya kira yang tidak punya rekam jejak membangun ketegangan, termasuk identitas. Prabowo bermasalah di sektor HAM, karakternya yang cenderung impulsif, sangat berbahaya,” ungkapnya. Sementara itu, pendiri Negarawan Center, Johan Silalahi, menyesalkan Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi. Siapapun yang mendukung Jokowi pada periode awal pemerintahannya tentu kecewa dengan sikap tersebut. “Dulu saya berjuang mati-matian menjadikan Presiden Jokowi dari bukan siapa-siapa menjadi seorang tokoh (from zero to hero). Sangat disayangkan justru dia saat ini ikut cawe-cawe dalam pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi," kata Johan. Di tempat yang sama, Mukhaer Pakkanna, ekonom Muhammadiyah mengatakan, dalam bidang ekonomi, keadilan sulit tegak karena adanya sikap intoleransi ekonomi pemilik modal raksasa yang secara populasi jumlahnya minoritas terhadap populasi mayoritas yang secara ekonomi berjumlah minoritas. Mukhaer juga menyebut istilah “dwifungsi oligarki”, yaitu kawinnya politik dan bisnis. “Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi, harus sadar terhadap bahayanya eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Mukhaer. Disamping itu, terdeteksi kegagalan pemerintah untuk menaikkan tingkat pendidikan SDM Indonesia yg mayoritas hanya lulusan SMP. Oleh karena itu, tidak heran industri yang berkembang hanya industri ekstraktif, yang lebih menggunakan otot daripada otak.
Jakarta: pemerhati isu-isu global dan strategis, Imron Cotan khawatir atas turunnya indeks demokrasi di Indonesia. Hal itu didapatnya dari berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi.“Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut,” ujar Imron, dalam Webinar Nasional Moya Institute, Rabu, 10 Januari 2024.
Selain demokrasi, Imron juga menyorot kasus korupsi. Kasus-kasus besar seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara telah menjadi berita utama, menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar.
"Apalagi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen, yang menyulitkan Indonesia keluar dari "middle-income trap"," kata Imron.
Menurut Imron, integritas pemilu dan regresi demokrasi menjadi topik pembahasan penting di masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan.
Oleh karena itu ia berharap calon presiden ke depan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045 dan tidak memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojudin Abbas ikut menyoroti situasi politik saat ini. Sirojudin mencontohkan bantuan sosial yang dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik pemenangan paslon tertentu.
Sirojudin juga berpendapat, pengucuran bansos dilakukan karena Presiden menyadari bahwa kepuasan terhadap kinerjanya tidak baik pada beberapa aspek, seperti rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan serta akses terhadap sektor kesehatan.
Mengenai kandidat capres ideal, Sirojudin mengatakan masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil risikonya bagi bangsa Indonesia.
“Saya kira yang tidak punya rekam jejak membangun ketegangan, termasuk identitas. Prabowo bermasalah di sektor HAM, karakternya yang cenderung impulsif, sangat berbahaya,” ungkapnya.
Sementara itu, pendiri Negarawan Center, Johan Silalahi, menyesalkan Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi. Siapapun yang mendukung Jokowi pada periode awal pemerintahannya tentu kecewa dengan sikap tersebut.
“Dulu saya berjuang mati-matian menjadikan Presiden Jokowi dari bukan siapa-siapa menjadi seorang tokoh (from zero to hero). Sangat disayangkan justru dia saat ini ikut cawe-cawe dalam pilpres, yang berpotensi melanggar konstitusi," kata Johan.
Di tempat yang sama, Mukhaer Pakkanna, ekonom Muhammadiyah mengatakan, dalam bidang ekonomi, keadilan sulit tegak karena adanya sikap intoleransi ekonomi pemilik modal raksasa yang secara populasi jumlahnya minoritas terhadap populasi mayoritas yang secara ekonomi berjumlah minoritas. Mukhaer juga menyebut istilah “dwifungsi oligarki”, yaitu kawinnya politik dan bisnis.
“Mereka yang memiliki kekuatan ekonomi akibat akumulasi modal di tangan segelintir orang yang justru minoritas secara populasi, harus sadar terhadap bahayanya eksplosi atau ledakan sosial jika ketidakadilan dan ketimpangan kekuatan ekonomi ini tidak terdistribusi dengan baik,” kata Mukhaer.
Disamping itu, terdeteksi kegagalan pemerintah untuk menaikkan tingkat pendidikan SDM Indonesia yg mayoritas hanya lulusan SMP. Oleh karena itu, tidak heran industri yang berkembang hanya industri ekstraktif, yang lebih menggunakan otot daripada otak.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
(ALB)
Sentimen: negatif (100%)