Sentimen
Negatif (100%)
12 Jan 2024 : 20.05
Tokoh Terkait

Tanggul laut raksasa dan kehancuran ekosistem di utara Jawa

13 Jan 2024 : 03.05 Views 2

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Tanggul laut raksasa dan kehancuran ekosistem di utara Jawa

“(Perlu) transparan dan partisipatif agar benar-benar dapat diyakini bahwa pembangunan tanggul raksasa itu adalah solusi yang tepat, baik dari sisi teknis maupun ekonomi,” kata Mulyanto kepada Alinea.id, Kamis (11/1).

Selain itu, membeberkan megaproyek tanggul raksasa pantura Jawa di saat proses Pemilu 2024, kata Mulyanto, sangat politis. “Karenanya penting studi kelayakan dan konsultasi publik, sehingga kita bisa melihat proyek ini secara lebih objektif," ucap Mulyanto.

Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menilai, tujuan pembangunan tanggul raksasa tersebut untuk memitigasi laju penurunan permukaan tanah, kurang tepat. Terlebih, jika caranya dengan mereklamasi laut. Dengan begitu, megaproyek itu tak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis di Pulau Jawa, yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif.

Parid menjelaskan, kawasan pantura Jawa punya sejarah panjang eksploitasi yang merusak, sejak era kolonial hingga pasca-reformasi 1998. Pada 2012, Walhi sudah menerbitkan buku berjudul Java Collapse. Isinya menjelaskan kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa akibat eksploitasi sumber daya alam.

Ia melanjutkan, kawasan pantura Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur, telah terbebani izin industri skala besar. Hal itu menyebabkan terjadikan penurunan muka tanah secara cepat. Maka, jika pemerintah serius ingin menghentikan penurunan muka tanah, bukan dengan membangun tanggul raksasa, tetapi mengevaluasi dan mencabut izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.

“Selain itu, pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara, yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional,” ujar Parid.

“Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, ada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik.”

Di samping itu, proyek ini dikhawatirkan berdampak buruk, bahkan mempercepat kepunahan, keanekaragaman hayati yang ada di perairan Jawa bagian utara. “Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli, kepunahan ini disebabkan dua hal, yaitu penangkapan ikan yang over exploited serta kehancuran ekosistem pesisir dan laut akibat aktivitas industri,” tutur Parid.

“Dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kepunahan spesies flora dan fauna di perairan Pulau Jawa.”

Ancaman lainnya adalah, berkurangnya stok sumber daya ikan sebagai asupan protein masyarakat. Sebagai gambaran, Parid merinci, setiap wilayah perairan yang hilang seluas satu hektare menyebabkan kerugian ekonomi yang diterima nelayan sebesar Rp26.899.369 per orang per tahun. Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp137.536.474.541 per tahun.

Sementara bila kegiatan nelayan berhenti total, nilai kerugian ekonomi mencapai Rp101.312544 per orang per tahun, dengan total mencapai Rp766.632.021.205 per tahun. Nilai ini diperoleh berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi dengan teknik effect on production, yang menghitung besaran surplus konsumen dari kegiatan penangkapan ikan.

“Berdasarkan kalkulasi itu, proyek tanggul laut raksasa akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa,” kata Parid.

Belum lagi ancaman terkikisnya ekosistem mangrove, yang selama ini sudah kritis di pesisir utara Jawa karena beban industri yang masif. “Sebagai contoh, akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan mangrove terus mengalami penurunan,” ujar dia.

“Pada 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektare. Tahun 2021, mengalami kehilangan yang sangat signifikan, di mana luasannya hanya tercatat 10.783,62 hektare.”

Kondisi tersebut juga terjadi di pesisir Jakarta. Saat ini, luasan mangrove tercatat tak lebih dari 25 hektare. Padahal, sebelum ada proyek reklamasi, luasannya lebih dari 1.000 hektare. Dari segala ancaman tadi, Parid menyarankan pemerintah menghentikan rencana pembangunan tanggul laut raksasa.

“(Pembangunan ini) sarat kepentingan melindungi industri dan tidak berorientasi pada pemulihan sosial-ekonomi Pulau Jawa,” katanya.

Sentimen: negatif (100%)