Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Senayan
Kasus: Tipikor
Tokoh Terkait
Gus dur
Harun Masiku
Nazaruddin
Senjakala Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Riezky Aprilia dibawa ke sebuah kamar di Hotel Shangri-La Orchard, Singapura, pada 24 September 2019 sore. Jantungnya berdebar karena tak tahu ada urusan apa ia dibawa ke sana bersama Saeful Bahri.
Rupanya, Saeful menawarkan uang sekitar Rp 2,2 miliar untuk membayar perolehan suara yang diraup Riezky pada Pemilu Legislatif (Pileg) DPR RI 2019.
"Suara saya mau diganti, satu suara saya jadi Rp 50.000. Maksudnya, suara saya 44.402, satu suara diganti nominal Rp 50.000," tutur Riezky dalam sidang online atas terdakwa Saeful Bahri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 23 April 2020.
Baca juga: Pimpinan KPU Dinilai Keliru soal Ubah Aturan Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Riezky dan Saeful sama-sama kader PDI-P. Riezky berlaga di daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI.
Di dapil itu, suara terbanyak PDI-P disumbang Nazaruddin Kiemas, adik ipar Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang wafat sebelum pemungutan suara tetapi namanya kadung tercetak di surat suara sehingga dapat dicoblos oleh pemilih.
Sesuai Peraturan KPU (PKPU) 3/2019, suara Nazaruddin pun dianggap sebagai suara PDI-P.
KPU lalu melakukan penghitungan ulang dan menyatakan Riezky berhak duduk di Senayan selaku caleg dengan suara terbanyak setelah Nazaruddin.
Masalahnya, PDI-P ngotot, seharusnya mereka yang berwenang menentukan kader pengganti Nazaruddin di Senayan.
Mereka ingin kursi Nazaruddin jatuh kepada Harun Masiku, bukan Riezky meski suara Masiku nomor 3 dari bawah (5.878 suara).
PDI-P menempuh berbagai langkah hukum, dari KPU hingga Mahkamah Agung (MA).
Putusan MA mengabulkan sebagian gugatan PDI-P yang kemudian dianggap dapat menjadi dasar hukum menggusur Riezky. Namun, KPU tetap menolak.
Baca juga: Ketua KPU Sebut Tak Punya Niat Bohongi Publik soal Aturan Keterwakilan Perempuan
Jalan belakang pun diambil. Pada 8-9 Januari 2020, KPK menjaring komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Ia menerima suap dari Saeful bersama komisioner Bawaslu RI Agustina Fridelina sekitar Rp 600 juta memuluskan langkah Masiku.
Masiku pun dipecat partai dan gagal mencuri kursi Riezky yang berkiprah di Komisi IV DPR RI hingga 2024 mendatang.
Tangga curam bagi perempuan
Apa yang dialami Riezky hanya salah satu bentuk kerentanan yang dihadapi perempuan kala memutuskan terjun ke kancah politik praktis.
Tak hanya rawan digusur dominasi laki-laki yang masih hegemonik. Untuk tembus panggung politik pun, perempuan yang dalam budaya patriarki kerap diasingkan ke ranah domestik, mesti menempuh jalan tak semulus kaum adam.
"Pertama, barrier psikologis. Perempuan masih merasa tidak percaya diri berkompetisi dengan laki-laki, merasa tidak mampu, merasa dunia politik terlalu maskulin," ujar Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, ketika dihubungi Kompas.com pada Sabtu (6/1/2024).
"Faktor ekonomi juga menghambat. Tidak banyak perempuan punya akses terhadap sumber daya ekonomi, baik dari dirinya sendiri maupun dukungan keluarga dan partai politik. Perempuan itu garis start-nya masih jauh di belakang ketimbang laki-laki," kata dia.
Ketidaksetaraan garis start ini membuat kebijakan afirmasi mutlak diperlukan agar lebih banyak perempuan dapat duduk di posisi pengambil kebijakan.
Semangat Reformasi ini telah dicerminkan dalam pengarusutamaan gender yang diteken Presiden Abdurrahman Wahid lewat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000.
UU Pemilu yang terbit pada 2003 pun akhirnya memuat kebijakan afirmasi politik perempuan, hasil desakan dan advokasi sederet aktivis dan lembaga swadaya masyarakat.
Afirmasi itu bertahan sampai UU Pemilu direvisi berkali-kali.
UU Pemilu terkini yang terbit pada 2017 tetap memuat semangat yang sama pada Pasal 245, yaitu partai politik harus menyerahkan minimum 30 persen caleg perempuan di setiap dapil, sebagai syarat pendaftaran pileg.
"Ini gerakan reformasi elektoral, program advokasi bertahun-tahun," kata komisioner Bawaslu RI 2008-2012 yang kini aktif di Maju Perempuan Indonesia, Wahidah Suaib, pada 7 Maret 2023.
Perjuangan tampak membuahkan hasil. Proporsi caleg perempuan di surat suara terus merangkak naik, mulai dari 29 persen (2004), 33,6 persen (2009), 37,6 persen (2014), dan 40 persen (2019).
Namun, hal itu belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan ke parlemen yang diharapkan mencapai 30 persen. Hanya 11,8 persen caleg perempuan duduk di Senayan lewat Pileg 2004, lalu 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).
Baca juga: Bawaslu: KPU Langgar Administrasi karena Keterwakilan Caleg Perempuan Tak Capai 30 Persen
Di saat kesempatan perempuan berlayar menggapai kursi dewan masih jauh dari angan besar, angin besar justru menerjang jelang Pemilu 2024.
Sentimen: positif (93.4%)