Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Bekasi, Malang, Pekanbaru
Berkaca dari kasus Muhyani, mengapa terus berulang?
Alinea.id Jenis Media: News
"Parah, sih, tapi enggak dirawat. Enggak ada dana kalau dirawat. Mau rontgen saja enggak ada duit," ungkap Susilawati, mantu Muhyani.
Bukan kasus pertama
Apa yang dialami Muhyani bukanlah kasus pertama. Pengalaman pahit serupa pernah dialami yang lainnya, salah satunya Murtede alias Amaq Sinta. Ia sempat dijadikan tersangka oleh Polda NTB karena menganiaya 2 orang yang bakal membegal motornya. Seorang di antaranya meninggal di lokasi akibat luka tusuk senjata tajam.
Pun demikian dengan Raju di Pekanbaru, September 2015; Mohammad Irfan Bahri di Bekasi, Mei 2018; ZA (19) di Malang, September 2019; dan Dedi Irwanto di Medan, Desember 2021. Sekalipun akhirnya dibebaskan, seluruhnya sempat ditetapkan menjadi tersangka lantaran melawan begal yang hendak mengambil sepeda motornya. Para begal meninggal dunia.
Terpisah, pakar hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Wisnu Nugraha, menilai, langkah kejaksaan sudah tepat. "Orang yang melakukan pembelaan diri tidak dapat dipidana sesuai Pasal 49 ayat (1) KUHP," jelasnya kepada Alinea.id.
Pasal 49 ayat (1) KUHP berbunyi, "Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid), atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana."
Menurutnya, kasus Muhyani dapat dihentikan kepolisian ketika dalam pengusutannya tak menemukan minimal 2 alat bukti. Dua alat bukti merupakan syarat menetapkan seseorang sebagai tersangka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
"Putusan [MK] tersebut menjelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya," jelasnya. "Proses penyelidikan ini, kan, untuk mencari dan dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana," imbuhnya. Itu diatur dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP.
Setelah penyelidikan, sambung Wisnu, kepolisian lalu melakukan penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar sebuah tindak pidana semakin terang. Dengan begitu, sesuai Pasal 1 ayat (2) KUHP, dapat ditetapkan tersangkanya.
Fokus prosedur
Karena itu, ia berpandangan, ditetapkannya korban yang berupa membela diri ketika menjadi target pidana sebagai tersangka lantaran kepolisian lebih mengutamakan prosedur, bukan buruknya pemahaman hukum aparat. Kendati demikian, Wisnu menegaskan, tersangka bukan berarti bersalah.
"Karena masih dugaan, maka orang [tersangka] belum bisa dikatakan bersalah karena berlaku asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah). Sedangkan kewenangan penegak hukum, dalam hal ini hakim, ialah yang berhak menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Sehingga, hal ini bukanlah soal pemahaman hukum aparat kita yang lemah, melainkan sejauh mana keadilan itu dapat ditegakkan," tuturnya.
Wisnu melanjutkan, untuk mengantisipasi terulangnya kasus Mahyuni cs, masyarakat diharapkan memastikan segala bukti yang dimiliki dapat membenarkan bahwa kita tidak bersalah. "Sebab, pada prinsip hukum pidana, alat bukti itu harus lebih terang dari pada cahaya (in criminalibus probationes bedent esse luce clariores)."
Sentimen: negatif (100%)