Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: UNAIR
Kab/Kota: Surabaya
Tokoh Terkait
Pilpres Langsung Tak Cocok, Hasilkan Polarisasi
Beritajatim.com Jenis Media: Politik
Jakarta (beritajatim.com) – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyoroti praktik Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung di Indonesia. Dia menilai, sistem tersebut tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Beberapa alasan yang dia ketengahkan seperti, Pilpres langsung masih menghasilkan polarisasi atau pembelahan masyarakat. Selain itu, muncul aksi hujat dan caci maki antar pendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden, terutama di media sosial dan ranah publik tertentu.
Menurut LaNyalla, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan sebenarnya memiliki karakter asli yang guyub dan komunal. Tetapi kemudian dipaksa unutk menjadi bangsa yang pragmatis.
“Kita sudah punya sistem asli, pemilihan mandataris MPR melalui wakil yang utuh, alias penjelmaan rakyat, sehingga yang bermusyawarah itu seharusnya para hikmat. Tapi karena praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru, sistem rumusan pendiri bangsa itu kita buang, dan kita ganti dengan sistem barat yang individualis dan liberal, akibatnya kita menjadi bangsa lain, bangsa yang tercerabut dari akarnya,” urai LaNyalla di Surabaya, Selasa (21/11/2023).
Seharusnya saat Reformasi, kata LaNyalla, Dikatakan LaNyalla, yang harus dibenahi adalah praktik penyimpangan yang muncul selama Orde Baru. Bukan malah mengganti sistem bernegara dengan mengadopsi sistem liberal.
BACA JUGA:
LaNyalla Apresiasi Polrestabes Surabaya Kawal Piala Dunia
Dampaknya, kohesi bangsa yang sudah dirajut berabad-abad lamanya rusak dalam waktu singkat. Pilpres langsung menjadi momentum yang menyebabkan kerusakan tersebut.
“Makanya dalam beberapa kesempatan, saya selalu sampaikan bahwa polarisasi bangsa yang terjadi akibat Pilpressung harus kita akhiri. Polarisasi di masyarakat sangat tidak produktif dan menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika,” papar dia.
LaNyalla menggambarkan bagaimana antar kelompok di masyarakat melakukan aksi reaksi atas output pesan masing-masing baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah pola komunikasi elit politik yang kerap menimbulkan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi.
“Kita sempat menyaksikan sweeping bendera, kaos, forum diskusi, pembubaran atau pelarangan forum pertemuan dan lain sebagainya. Sampai hari ini, masih saja terjadi olok-olok antar kelompok, dengan sebutan-sebutan yang jelek. Padahal sudah sangat jelas, olok-olok dengan sebutan yang jelek, dilarang Al-Quran,” tegasnya.
LaNyalla juga menyatakan bahwa pemilihan presiden secara langsung telah melahirkan politik kosmetik dan merusak kohesi bangsa. Karena terjadi mobilisasi di masyarakat oleh elit-elit politik. Ditambah dengan pembenaran-pembenaran atas mobilisasi tersebut. Sementara di satu sisi, ada kritik dan protes atas mobilisasi tersebut. Sehingga akan terus terjadi saling hujat.
“Pemilihan presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal harganya. Apalagi batu uji yang digunakan untuk mencari pemimpin lewat pemilihan langsung adalah popularitas yang bisa difabrikasi melalui media komunikasi,” imbuhnya.
LaNyalla juga mengatakan elektabilitas yang dimiliki para kandidat juga dapat digiring melalui angka-angka survei, lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau sebaliknya puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa.
Menurut LaNyalla, Indonesia punya pekerjaan yang lebih besar, penting, dan mendesak, daripada disibukkan oleh hiruk pikuk dan biaya mahal demokrasi ala barat.
“Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme,” ujar dia.
BACA JUGA:
Di Unair, LaNyalla Bicara Cita-cita Bangsa Sesuai Konstitusi
LaNyalla menilai sudah saatnya Pilpres Langsung dievaluasi. Sebab, selain menimbulkan banyak gejolak di tengah-tengah masyarakat, faktanya Pilpres Langsung bertentangan dengan mekanisme pengambilan keputusan yang tertuang dalam Sila Keempat Pancasila. “Sila Keempat Pancasila mengajarkan kepada kita bahwa demokrasi kerakyatan kita melalui perwakilan para hikmat, yang berada dalam satu wadah yang utuh, di lembaga tertinggi negara,” tukasnya.
Kedaulatan menurut Pancasila tetap berada di tangan rakyat, di MPR, yang dihuni anggota DPR hasil Pileg, dan juga Utusan-Utusan dari non Pileg, yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Presiden itu hanya Mandataris MPR, alias petugas rakyat. Sehingga kedaulatan tidak boleh kita pindahkan kepada presiden hanya karena mendapat suara langsung dari kotak TPS di Pilpressung.
“Sejak perubahan Konstitusi, kedaulatan rakyat setelah Pileg dan Pilpres pindah menjadi kedaulatan partai politik dan kedaulatan presiden. Sehingga rakyat sudah tidak bisa lagi ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Faktanya penentunya hanya partai dan presiden terpilih. Padahal azas dan sistem Pancasila sama sekali bukan itu,” tandasnya.
Karena itu, Senator asal Jawa Timur itu, mengajak bangsa ini untuk mengembalikan terlebih dahulu UUD 1945 kepada naskah aslinya, untuk diamandemen menggunakan teknik adendum atau penambahan, untuk mencegah terulangnya praktek penyimpangan di masa lalu. Sehingga, dengan teknik adendum, amandemen tidak mengganti sistem. Seperti yang dilakukan negara-negara lain. Amerika dengan 27 kali adendum dan India dengan 104 kali adendum. [beq]
Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks
Sentimen: negatif (99.9%)