Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNPAD
Kab/Kota: bandung, Sukabumi
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Utamakan Aspek Kemanusiaan, Pemerintah Tidak Bisa Paksa Pengungsi Rohingya Kembali
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Selama bulan November 2023 ini, perairan Indonesia, khususnya Aceh, kembali dimasuki gelombang pengungsi Rohingya. Pemerintah Indonesia pun diharapkan segera responsif menangani kedatangan para pengungsi Rohingya dengan pendekatan kemanusiaan.
Beberapa hukum internasional yang diratifikasi di Indonesia serta UUD sendiri, mengamanatkan pemerintah untuk peduli kepada pengungsi. Pemerintah Indonesia harus membantu dan tidak bisa mengusirnya.
"Basis filosofis soal pengungsi itu, menurut saya, adalah kemanusiaan. Menurut saya, perspektif hukum pun, dalam hal ini hukum internasional tidak boleh keluar dari basis tersebut," ujar Atip Latifulhayat, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran yang juga pegiat Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) Fakultas Hukum Unpad, di Bandung, Senin, 27 November 2023.
Prinsip kemanusiaan pun telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari filosofi Pancasila. Selain itu, alenia Ke-IV Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan negara adalah ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia.
Baca Juga: Cara Mengembalikan Email yang Dihapus di Gmail
Kehadiran pengungsi Rohingya di perairan Aceh kali ini menjadi ramai diberitakan karena masyarakat melakukan penolakan dan bahkan pemerintah pun tidak responsif dengan cepat. Bahkan, para pengungsi dilarang untuk merapat ke daratan.
Gelombang pengungsi itu kembali datang akibat kondisi keamanan yang memburuk di Bangladesh, tempat sekitar 1 juta Rohingya bermukim sementara. Warga lokal menolak sehingga beberapa pengungsi diminta tetap berada di kapal.
Menurut Diajeng Wulan Christianti, Direktur PAHAM FH Unpad, masyarakat Aceh tentu tidak bisa disalahkan begitu saja karena berbagai faktor. Antara lain karena tidak efektifnya penanganan pengungsi yang dilakukan pemerintah, seperti kaburnya para pengungsi atau ketakutan warga Aceh karena ada rekan mereka yang dipidana karena menolong pengungsi pada 2020 lalu.
Baca Juga: Bawaslu Mengawasi Distribusi Logistik di Sukabumi Jelang Pemilu 2024
Akan tetapi, penanganan pengungsi tetap harus sesuai hukum yang berlaku dan berlandaskan prinsip kemanusiaan. Bahkan, pengungsi juga tidak boleh diminta untuk kembali ke tempat asalnya.
"Pengembalian pengungsi Rohingya yang sudah terdampar di Indonesia, juga sangat bertentangan dengan prinsip non-refoulement, asas fundamental dalam Hukum Pengungsi Internasional untuk tidak mengembalikan pengungsi ke tempat yang membuat nyawanya terancam," ujar Diajeng Wulan Christianti, yang juga dosen Departemen Hukum Internasional FH Unpad dan pengajar Hukum HAM di FH Unpad.
Dikatakannya, Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, tapi prinsip tersebut mengikat Indonesia. Prinsip hukum itu bukan hanya sebagai kebiasaan internasional, tetapi sudah menjadi kewajiban dalam hukum Indonesia.
Baca Juga: Jokowi Izinkan 2 Menterinya Cuti Kampanye
Prinsip ini dijamin dalam Konvensi Menentang Penyiksaan 1987 yang sudah Indonesia ratifikasi dan hak atas suaka. Keduanya dijamin dalam Pasal 28 G ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain."
Pendapat akademik yang tidak tepat
Diajeng mengatakan, sikap PAHAM Unpad untuk prinsip kemanusiaan dalam mengatasi pengungsi juga menentang paham akademik yang tidak tepat. Masalah pengungsi harus dilihat dari perspektif hukum dan juga kemanusiaan.
Misalnya tindakan penolakan pengungsi yang dilakukan warga lokal yang dibenarkan oleh salah seorang Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana. Salah satu pernyataannya bahkan menyalahkan para pengungsi yang terus datang.
Baca Juga: Firli Bahuri Kini Hanya Dianggap Tamu Usai Diberhentikan sebagai Ketua KPK
Padahal di sisi lain, Hikmahanto mengakui bahwa pengungsi Rohingya adalah korban diskriminasi di negaranya, Myanmar. Hal itu tidak tepat, bukan hanya dari perspektif hukum, tapi juga dari sudut kemanusiaan.
"Para akademisi seharusnya tidak mengeluarkan pendapat tanpa dasar keilmuan yang kokoh di luar bidang ilmunya, apalagi hingga membelokkan opini publik, dan memojokkan kelompok rentan, seperti para pengungsi dari luar negeri," ucapnya.
Pemerintah Indonesia, pusat dan daerah, juga terikat kewajiban menangani pengungsi yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Walaupun sedikit terlambat, sikap Pemerintah pusat dan daerah yang pada akhirnya mengkoordinasikan penampungan seluruh pengungsi Rohingya, patut diapresiasi, apalagi karena tidak terpengaruh pendapat-pendapat akademik yang tidak tepat.
Baca Juga: Megawati Sebut Golput Sama Dengan Sia-Siakan Hak Pilih Pemimpin Masa Depan
Ditambahkan Bilal Dewansyah, dosen Departemen HTN FH Unpad yang juga pegiat PAHAM FH Unpad, ada kecenderungan juga aparat keamanan melakukan patroli laut untuk menghalau kapal-kapal Rohingya yang akan masuk ke wilayah Indonesia. Hal itu pun tidak dapat dibenarkan.
"Patroli tidak boleh diarahkan untuk mengusir kapal Rohingya, karena bertentangan dengan prinsip non-refoulement, hanya dapat dilakukan untuk tujuan menolong mereka dalam kondisi darurat sebagai diatur dalam Perpres 125/2016," katanya.
Keselamatan para pengungsi harus diprioritaskan walaupun ada indikasi kuat pergerakan kapal-kapal pengungsi ini diorganisasi oleh jaringan penyelundup manusia. Namun, kata Bilal, meski isu penyelundupan pengungsi Rohingya telah muncul sejak lama, belum ada kerja sama konkrit Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara terkait, seperti Bangladesh dan Malaysia untuk menyelesaikan masalah ini.
Baca Juga: Bakar Semangat Relawan, Ketua TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD Ajak Lawan Kezaliman
PAHAM Unpad juga dikatakannya meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan organisasi internasional yang terlibat, dapat lebih responsif menangani kedatangan para pengungsi Rohingya. Mereka juga harus menjembatani dialog yang konstruktif dengan warga setempat untuk menghindari tindakan-tindakan penolakan.
Pemerintah Indonesia juga diminta untuk mengutamakan pendekatan kemanusiaan dalam melakukan patroli laut terhadap kapal-kapal Rohingya. Pemerintah harus melakukan tindakan pertolongan darurat jika diperlukan, termasuk menarik mereka ke wilayah darat Indonesia.
Selain itu, pemerintah didorong agar sesegera mungkin menjajaki kerja sama dengan negara-negara terkait, khusus Pemerintah Bangladesh dan Malaysia. Itu dilakukan supaya penanganan masalah itu bisa dilakukan secara komprehensif.***
Sentimen: negatif (100%)