Sentimen
Positif (100%)
17 Nov 2023 : 10.40
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Labuan Bajo, Manggarai, Pulo, Koja, Sikka, Alor, Ende, Nagekeo, Lembata, Flores Timur

Tokoh Terkait

Mengkaji Ulang Pengembangan Desa Wisata di Flores

17 Nov 2023 : 17.40 Views 3

Detik.com Detik.com Jenis Media: Metropolitan

Mengkaji Ulang Pengembangan Desa Wisata di Flores
Jakarta -

Pariwisata saat ini sudah menjadi salah satu program unggulan dalam pembangunan di suatu wilayah. Secara makro pariwisata ditargetkan dapat memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), peningkatan devisa, dan kontribusi terhadap kesempatan kerja. Secara mikro, targetnya adalah jumlah kunjungan wisatawan manca negara dan Nusantara yang terus meningkat, indeks dan daya saing kepariwisataan yang semakin meningkat.


Sebagai bagian dari upaya mendorong kontribusi dalam pembangunan sektor pariwisata, berbagai daya upaya telah dilakukan. Salah satunya melalui pengembangan desa wisata. Secara teori, desa wisata merupakan bentuk integrasi antara atraksi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam bentuk suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti dan Wiendu 1993, dalam Soekarya, 2011)


Desa menyimpan aneka potensi wisata (alam, budaya, dan buatan). Keberadaan potensi wisata itu sebagai medium menstimulasi kreativitas yang kemudian dikemas menjadi suatu produk dalam bentuk desa wisata dan dengan harapan bisa menjadi instrumen proyek kesejahteraan. Pandangan semacam itu yang menjadi dasar pentahelix pariwisata mendukung pengembangannya; ini dapat kita lihat melalui berbagai program seperti infrastruktur, pengadaan sarana dan prasarana pariwisata, air minum, listrik, pengembangan sumber daya manusia (SDM), sampai pada level kebijakan pun turut dirumuskan.


Di tengah perhatian yang serius dari para pemangku kebijakan, desa wisata perlu dibaca ulang. Di Pulau Flores misalnya, banyak desa wisata yang dibangun dan dinilai belum menyentuh urgensi kebutuhan masyarakat setempat. Itu dikarenakan beragam faktor, namun satu fenomena yang perlu cermati yaitu dari sisi kebijakannya sendiri, belum adanya sinkronisasi antara regulasi dan implementasi di lapangan. Maka, dalam prosesnya desa wisata penting diberikan awasan, usulan-usulan konstruktif dan kontekstual supaya pengembangannya tetap di jalur cita-cita keberlanjutan (sustainable) sesuai dengan keadaan yang diharapkan bersama.

Regulasi


Menurut Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia No 29 Tahun 2015, desa wisata dibagi menjadi empat kategori. Pertama, Desa Wisata Rintisan --masih berupa potensi dan belum adanya kunjungan wisatawan. Selain itu sarana dan prasarananya masih sangat terbatas, dengan tingkat kesadaran masyarakat belum tumbuh. Kedua, Desa Wisata Berkembang --meski masih berupa potensi, namun sudah mulai dilirik untuk dikembangkan lebih jauh.

Ketiga, Desa Wisata Maju --masyarakat sudah sadar wisata dengan indikator sudah dapat mengelola usaha pariwisata. Wilayahnya sudah mulai dikunjungi banyak wisatawan, termasuk wisatawan mancanegara. Keempat, Desa Wisata Mandiri --sudah ada inovasi pariwisata dari masyarakat destinasi wisatanya juga sudah diakui dunia dengan sarana dan prasarana yang terstandarisasi. Selain itu pengelolanya bersifat kolaborasi pentahelix.


Aturan lain yang mengakomodasi pengembangan pariwisata meliputi Undang-undang No.10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Pengembangan 10 Destinasi Baru/Destinasi Pariwisata Super Prioritas).

Sementara di level lokal, regulasi tersebut mencakup Peraturan Menteri Pariwisata No.7 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, Peraturan Presiden (Perpres) No.32 Tahun 2018 tentang Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPOLBF).


Dalam lingkup yang lebih kecil di Kabupaten Manggarai Barat, desa wisata mendapat legitimasi khusus, misalnya SK 90/KEP/HK/2019 Tentang Penetapan Desa Wisata di Kabupaten Manggarai Barat. Dalam konsiderans 'menetapkan' diktum kedua Keputusan Bupati Manggarai Barat tersebut dijelaskan bahwa "desa sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu dikembangkan menjadi desa wisata yang menunjang penyelenggaraan kepariwisataan Manggarai Barat". Sebagai tambahan, pada 2022 di Kabupaten Manggarai Barat terdapat 92 desa wisata.

Indeks Daya Saing

Menurut data Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang dikeluarkan pada 2020, daya saing pariwisata Flores berada di posisi berkembang. Rentang nilai yang dibuat TTCI adalah nilai 0-1 tahap belum berkembang, nilai 1-2 tahap berkembang, nilai 2-3 tahap penyempurnaan. Terdapat 8 Kabupaten yang ada di wilayah Pulau Flores mendapatkan nilai yang beragam; Manggarai Barat (2,1), Manggarai (1,9), Manggarai Timur (1,9), Ngada (1,8), Nagekeo (1,75), Ende (1,9), Sikka (2,0) dan Flores Timur (1,9).


Indikator TTCI mencakup empat hal, yaitu 1) produk pariwisata; kualitas produk dan keterlibatan masyarakat; 2) infrastruktur; kualitas dan akses bandara, kualitas jalan dan pelabuhan, kualitas layanan wisata; 3) regulasi; prioritas pariwisata, keterbukaan, persaingan harga, keberlanjutan lingkungan; 4) pendukung pariwisata; lingkungan usaha, keamanan, kualitas SDM, ICT, dan kesehatan.


Data di atas menunjukkan bahwa pariwisata di Flores ada pada tahap berkembang, tahapan yang mana kontrol dan keterlibatan masyarakat mulai berkurang akibat adanya campur tangan pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata dan infrastruktur (Richard Butler, 1978).


Pada bagian lain, yang dikemukakan Butler dapat dibaca melalui keberadaan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat seperti BPOLBF. Sebagaimana realisasi program, BPOLBF sendiri telah menetapkan 30 Desa Wisata Tematik yang tersebar di 10 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur, yaitu di Pulau Flores, Alor, Lembata dan Bima (mewakili Nusa Tenggara Barat)yang disingkat FLORATAMA. Desa wisata tematik sendiri adalah turunan dari desa wisata yang sifatnya general.


Desa wisata tematik yang dipetakan oleh BPOLBF, rincian per kabupaten: Manggarai Barat (Desa Komodo, Desa Pasir Panjang, Desa Papagarang, Desa Batu Cermin, Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, Desa Rangko, Desa Galang, Desa Loha); Manggarai (Desa Liang Bua, Desa Todo, Desa Wae Rebo); Manggarai Timur (Desa Colol dan Desa Golo Loni); Ngada (Kampung Adat Gurusina dan Kampung Adat Todolela); Nagekeo (Desa Pajoreja dan Kampung Adat Kawa); Ende (Desa Nggela dan Desa Detusoko Barat); Sikka (Desa Nita dan Desa Koja Doi); Flores Timur (Desa Lewoklouk dan Desa Lama Helan); Lembata (Desa Lalong dan Desa Bean); Alor (Kampung Adat Takpala, Kampung Adat Matalafang); Bima (Desa Sari dan Desa Bajo Pulo).

Realitas Pengembangan


Realitas pengembangan desa wisata di Pulau Flores sendiri kendati sudah dibuatkan semacam kerangka kebijakan (baca: Undang-Undang dan SK Desa Wisata), namun dalam praktiknya kerangka kebijakan tersebut belum mampu menjawab urgensi kebutuhan pengembangan desa wisata setempat dan mengakomdir konsep pengembangan berkelanjutan (sustainable development).


Contoh regulasi di level lokal mengenai SK 90/KEP/HK/2019 tanggal 23 Januari 2020 menetapkan 68 desa di Manggarai Barat. Dari 68 desa wisata yang hanya beberapa saja yang memang murni atau layak disebut sebagai desa wisata. Desa Golo Lewe, Desa Ranggu, Desa Tengku di Kecamatan Kuwus Barat dan beberapa desa lainnya di Kabupaten Manggarai Barat sudah ditetapkan sebagai desa wisata, sementara di lapangan desa-desa ini sama sekali belum ada komunitas, seperti Pokdarwis, BUMDES, karang taruna yang merepresentasi kegiatan desa wisata.

Penetapan tersebut juga tidak masuk dalam klasifikasi Peraturan Menteri Pariwisata No.29 Tahun 2015. Lalu, 30 desa wisata (tematik) yang digarap oleh BPOLBF banyak desa terkesan belum siap dan dipaksakan berlabel desa wisata. Desa tersebut sebenarnya sudah memiliki potensi wisata (alam, budaya, buatan) tetapi terkendala oleh infrastruktur, sarana, dan prasarana pariwisata, SDM masyarakat lokal dan termasuk regulasi yang tendensius.


Tataran "regulasi dan implementasi" inilah yang kemudian perlu dicermati secara seksama. Bahwasannya setiap pengembangan desa wisata pasti membawa dampak yang bisa diperhitungkan, baik positif maupun negatif. Dampak negatif ini yang harus ditanggulangi agar pengembangan desa wisata tepat sasaran dan berkelanjutan. Jika tidak dibenahi, maka upaya menaikkan daya saing pariwisata Flores akan mengalami kemandekan dan tidak menuntut kemungkinan akan mengalami kegagalan serta proyek dinilai mubazir.


Bila demikian, secara teknis usulan untuk lembaga terkait adalah mendata ulang mana desa wisata yang layak diklasifikasikan sebagai desa wisata. Pendataan ini melalui syarat dan ketentuan yang berlaku (baca: regulasi seputar desa wisata di Flores). Perlu adanya sosialisasi kepariwisataan yang berkaitan dengan desa wisata. Suatu desa yang sudah ditetapkan sebagai desa wisata, perlu adanya transparansi dari otoritas setempat, apakah pelabelan desa wisata itu layak atau tidak? Hal ini supaya pelabelannya tidak dinilai 'dipaksakan'. Kemudian yang tidak kalah penting adalah partisipasi masyarakat lokal dalam suatu kebijakan mutlak dilibatkan.


Diakui bahwa mewujudkan visi-misi desa wisata yang berkelanjutan itu tidak bisa instan, melainkan harus kerja keras. Pengembangan konsep ini membutuhkan perencanaan yang lebih lama dan matang, serta didukung oleh pemangku kepentingan yang memiliki visi berkelanjutan (Wisnawa dkk, 2019). Dari aspek regulasi dan implementasi pemangku kebijakan pariwisata diperlukan penerapan secara konsisten pariwisata berkesinambungan dengan partisipasi masyarakat di wilayah pengembangan desa wisata serta rumusan yang jelas. Dengan cara demikian, pengembangan yang sedang berjalan tidak dinilai "dibangun di atas sikap euforia" alias ikut-ikutan. Melainkan, harus berpijak pada perencanaan yang sifatnya futuristik.

Yohanes Budiono, S.Tr. Par alumni Fakultas Pariwisata Universitas Triatma Mulya Bali, bekerja sebagai Tour Organizer di wilayah Bali dan Nusa Tenggara

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (100%)