Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: California
Kasus: kecelakaan
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Soal Putusan MK Soal Batas Usia Capres Cawapres, Asosiasi Pengacara Indonesia-AS Beri Peringatan
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi pengacara Indo-AS memberi warning terhadap ketidakpastian hukum di Indonesia akibat keputusan MK soal batas usia capres cawapres.
Indonesian American Lawyers Association (IALA) telah menyelenggarakan serangkaian diskusi ilmiah bertajuk "The Critical Hour", dengan fokus pada tema “Judicialization of Politics: Bird’s Eye View from the U.S. and Indonesia”.
Diskusi ini melibatkan advokat dan praktisi hukum dari diaspora Indonesia, serta pengamat hukum, untuk membahas yudisialisasi politik dan membandingkan sistem peradilan di AS dan Indonesia, termasuk penanganan konflik hukum di kedua negara.
Acara ini diadakan sebagai tanggapan atas berbagai peristiwa terkini yang telah mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintahan di AS dan Indonesia akibat ketidakpastian hukum.
Di AS, diskusi ini mengikuti pemilihan umum paruh waktu yang dimenangkan oleh partai Demokrat, sementara di Indonesia, fokusnya adalah pada kontroversi hukum dan politik yang muncul dari keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Diskusi ini melibatkan berbagai pembicara, termasuk pengacara Indonesia yang berbasis di AS dan anggota IALA, serta advokat senior dari Indonesia.
Diskusi ini dipimpin oleh Bhirawa J. Arifi dari Badranaya Partnership di Jakarta sebagai moderator, yang membuka pembahasan mengenai judisialisasi politik dan kondisi politik ketatanegaraan saat ini di Indonesia dan AS.
Michael B. Indrajana, seorang pengacara Indonesia-Amerika yang berpraktik di San Mateo, California dan anggota Indonesian American Lawyers Association (IALA), menyampaikan materi mengenai pengalamannya dalam mendampingi 57 ahli waris korban kecelakaan udara Boeing 737-MAX Lion Air Penerbangan JT 610.
"Bahwa masalah utama bukanlah isi dari Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 itu sendiri, melainkan konflik kepentingan yang terkait dengan putusan tersebut yang menyebabkan ketidakpastian hukum," terangnya pada keterangan tertulis yang diterima fajar.co.id, Senin (13/11/2023).
"Ketua MK, Anwar Usman, terlibat secara langsung karena memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka, keponakannya, yang menimbulkan pertentangan etik serius dan pelanggaran Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman," sambungnya.
Beberapa aspek konflik yang dibahas para narasumber adalah:
Keputusan MK yang menambahkan klausul terkait jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, dianggap melebihi kewenangan MK karena tidak melalui proses legislasi yang sah sesuai UU No. 24 (2003) tentang Mahkamah Konstitusi. Putusan MK ini dianggap batal karena cacat hukum akibat konflik kepentingan. Ada potensi konflik antara Pasal 10 UU No. 24 (2003) tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final, dan Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa putusan yang melanggar hukum dinyatakan tidak sah.Para pembicara dalam diskusi tersebut mengamati kesamaan antara aturan mengenai konflik kepentingan yang terdapat dalam Pasal 17 UU No. 48 (2009) tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dan ABA Model Code of Judicial Conduct, Canon 2, Rule 2.11 di AS, terkait dengan diskualifikasi hakim dalam kasus tertentu.
Namun, mereka menekankan bahwa kontroversi utama di Indonesia saat ini adalah persepsi publik tentang konflik kepentingan, khususnya dalam kasus di mana Anwar Usman, Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi, tidak melakukan pengunduran diri (self recusal) dalam sebuah perkara, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan netralitas hukum.
Pada akhir diskusi, para narasumber menekankan pentingnya menjaga kredibilitas, integritas, dan etika dalam sistem hukum, baik di AS maupun di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang berintegritas dan adil bergantung pada reputasi dan kredibilitas ahli hukum, pengacara, dan institusi kehakiman.
Di setiap negara, termasuk AS yang dianggap sebagai demokrasi tertua di era modern, dan Indonesia yang telah membuat kemajuan sejak 1998, konflik dan tantangan adalah bagian normal dari perkembangan demokrasi, sering disebut sebagai "growing pains of democracy." Tekanan publik merupakan indikasi bahwa demokrasi sedang diuji. Namun, dengan kerjasama semua elemen masyarakat, proses demokrasi akan terus berkembang dan matang.
Dari perspektif hukum, para diaspora Indonesia yang berpraktik hukum di AS dan mengamati keadaan Indonesia, merasa optimis tentang langkah MK dalam memberhentikan Anwar Usman sebagai Hakim Ketua MK dan melarangnya terlibat dalam pemeriksaan perkara terkait pemilu, sebagai respons atas konflik kepentingan yang muncul dari hubungan keluarganya dengan salah satu pihak yang diuntungkan oleh Putusan MK No. 90/PU. (zak)
Sentimen: negatif (100%)