Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: HAM
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Eddy Hiariej
Peran Signifikan KUHP Nasional bagi Polri dalam Penanganan Konflik
Detik.com Jenis Media: News
Lahirnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dinilai memberikan peranan signifikan bagi Polri dalam menangani konflik sosial. Sebab, KUHP nasional yang telah disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2023 kini tak lagi bersifat retributif.
"Dalam penanganan konflik oleh Polri apabila merujuk kepada KUHP nasional yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026, ini memang memberikan peranan yang sangat signifikan kepada Polri," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam seminar Polri bertajuk 'Polri dalam Pusaran Konflik-Penanganan Konflik oleh Polri yang Berkeadilan' di Auditorium STIK Lemdiklat Polri, Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2023).
Kendati demikian, kata Edward, perubahan KUHP nasional harus diikuti dengan perubahan hukum acara pidana. Yang mana, perubahan KUHP yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Pria yang akrab disapa Eddy Hiariej ini mengatakan UU Nomor 1 Tahun 2003 mengubah paradigma dalam hukum acara pidana. Menurutnya, KUHP warisan kolonial Belanda sudah ketinggalan zaman.
"Bahwa terjadi perubahan paradigma yang luar biasa dan saya harus mengatakan kita sudah ketinggalan zaman sudah lebih dari 30 tahun karena orientasi atau yang menjadi visi hukum pidana yang universal tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam, tetapi dia (UU No.1 Tahun 2023) berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif," tuturnya.
Keadilan korektif ini ditujukan kepada pelaku kejahatan. Sementara keadilan restoratif ditujukan kepada korban.
"Jika keadilan korektif ditujukan kepada pelaku dan keadilan restoratif ditujukan kepada korban, maka sesungguhnya keadilan rehabilitatif itu ditujukan baik kepada pelaku maupun kepada korban," katanya.
Restorative Justice
Keadilan restoratif atau restorative justice ini sendiri telah diimplementasikan oleh lembaga-lembaga penegak hukum mulai dari kepolisian, jaksa, bahkan lembaga peradilan. Sayangnya, menurut Eddy Hiariej, ada ketidakseragaman antara institusi satu dan lainnya dalam pelaksanaan restorative justice.
"Saya harus mengatakan secara jujur dan terbuka bahwa dalam pembuatan peraturan pemerintah itu sering terjadi silang pendapat. Ada yang menginginkan bahwa restorative justice itu hanya institusi tertentu. Tetapi saya dengan tegas mengatakan bahwa kita melihat dari satu kesatuan hukum pidana yang mana Polri itu adalah berdiri paling depan sebagai garda terdepan dalam peradilan pidana, maka restorative justice itu bisa dilakukan oleh Polri, bisa juga dilakukan oleh jaksa bahkan sampai peradilan sampai seorang terpidana itu menjalani hukuman di lapas dia masih diberi kesempatan untuk terlibat dalam restorative itu sendiri," paparnya.
Leadership
Sementara itu, Asisten Kapolri Bidang Operasi Irjen Verdyanto menilai diperlukan sebuah leadership yang bagus dalam menangani konflik sosial ini.
"Saya kira kita semua sudah berpengalaman dalam penanganan konflik, tapi intinya bahwa penanganan konflik perlu leadership yang bagus, tanpa leadership berat kita untuk menangani konflik. Kita belajar manajemen, inti manajemen adalah kepemimpinan, inti kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Di mana seorang pemimpin menilai setiap potensi-potensi konflik yang muncul sehingga jangan tumbuh di permukaan, pangkas," kata Verdyanto saat membuka seminar.
Verdyanto menilai, aparat Polri dan TNI terkesan 'sendiri' dalam menangani konflik sosial ini. Hal ini menurutnya tak terlepas dari kepemimpinan.
"Ironisnya lagi, selalu kita dalam menangani konflik ini sepertinya terkesan 'sendiri', paling sama TNI-Polri. Pada saat penghentian konflik itu. Tapi pencegahannya sudah ada UU nya, ini tidak dijalankan. Saya harapkan ini muncul dalam seminar ini, kenapa? Ada UU PKS, ada Permendagri nomor 42, bahkan sudah dibentuk tim terpadu penanganan konflik di tiap kabupaten tapi enggak jalan, kenapa? karena leadership," tambahnya.
Dia menilai sejauh ini masih ada keterbatasan dari Polri dalam melakukan penanganan konflik. Dia berharap dari seminar ini akan memunculkan gagasan yang dapat meningkatkan kemampuan Polri untuk penanganan konflik untuk diterapkan.
"Pengalaman kita dalam menangani konflik sepertinya sering terlambat, karena ada 3 inti dalam UU PKS dalam penanganan konflik, pencegahan, penghentian konflik, pemulihan pasca konflik. Tapi Polri selalu bekerja pada saat penghentian konflik saja, artinya kita terlambat. kita selalu bekerja di tengah sampai ujung, tapi muaranya, hulunya, tidak tertangani dengan baik, maka konflik itu akan terus ada," ujar Verdyanto.
(mea/dhn)Sentimen: positif (88.9%)