Sentimen
Positif (99%)
8 Nov 2023 : 05.45
Informasi Tambahan

Hewan: Kambing

Kab/Kota: Senen, Situbondo, Kwitang

Kisah Sang Paman Gibran yang Dicopot Jabatannya

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

8 Nov 2023 : 05.45
Kisah Sang Paman Gibran yang Dicopot Jabatannya

"Keadilan adalah hati nurani, bukan hati nurani pribadi tetapi hati nurani seluruh umat manusia. Mereka yang dengan jelas mengenali suara hati nurani mereka sendiri biasanya juga mengenali suara keadilan." - Aleksandr Solzhenitsyn.

HARTA yang ditinggalkannya hanya sepetak rumah yang berdiri di atas lahan seukuran 50 meter persegi di Jogyakarta. Belum lagi, ratusan buku literatur hukum yang tersusun rapi di rumahnya yang sempit.

Bahkan saat bertugas sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, sosok kurus dengan busana sederhana yang dikenakannya serta warnanya yang tidak pernah matching itu, sempat mengontrak kamar petakan sederhana di kawasan padat dan kumuh di Kwitang, Senen, Jakarta. Tidak ada karpet apalagi sofa, bahkan tikar pun tiada di kontrakan murah.

Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur itu kesulitan mendapatkan rumah dinas mengingat hakim di Mahkamah Agung enggan beranjak dari rumah dinas yang ditempatinya walau sudah lama pensiun.

Hingga akhir hayatnya pada 28 Februari 2021, tidak ada cerita “cacat” dari figur hakim yang sangat begitu sahaja tersebut.

Tidak pernah diberhentikan dengan hormat karena melanggar etika berat, tetapi yang ada adalah “keharuman” namanya.

Siapa yang tidak kenal dengan Artidjo Alkostar, profil hakim lurus yang begitu mengharamkam suap, sogok, gratifikasi, kongkalingkong, mafia kasus serta ketok hakim bisa diatur dan direkayasa.

Malah kerap, Artidjo memvonis perkara jauh di atas vonis pengadilan di tingkat bawahnya. Pihak yang mengajukan kasasi di Mahkamah Agung merasa menyesal jika ada nama Artidjo di dalam susunan hakim yang akan menangani perkara tersebut.

Di kalangan praktisi hukum, Artidjo bagaikan malaikat yang tidak bisa disentuh apalagi diatur. Integritasnya begitu terpuji dan tidak rajin mengumbar asma Allah serta memuji dirinya sendiri.

Menjadi hakim dianggap Artidjo sebagai “wakil” Tuhan sehingga dalam setiap putusan yang diambilnya, begitu dipertimbangkan dengan rasa keadilan. Bukan karena pengaruh pihak luar atau ada kepentingan kekeluargaan.

Makna filosofis “irah-irah” atau kepala kalimat dalam setiap putusan pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menguatkan makna bahwa setiap keadilan harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil putusan perkara yang ditangani. Mungkin inilah yang menjadi pedoman Artidjo dalam memutus setiap perkara. Artidjo begitu takut kepada Tuhan.

Sosok sederhana, bersih dan jujur sekelas Artidjo Alkostar betul-betul langka di zaman sekarang. Selepas purna tugas di 22 Mei 2018 hingga akhir hayatnya, Artidjo mengaku tidak akan lagi berurusan dengan hukum dan memilih tinggal di kampung halamannya.

Artidjo mengisi masa pensiunnya dengan beternak kambing kecil-kecilan dan dibantu para keponakannya mengelola warung kopi sederhana.

Selama pernikahannya dengan Sri Widyaningsih, Artidjo tidak diberi keturunan.

Sentimen: positif (99.6%)