Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Hasanuddin, UII
Kab/Kota: Malang, Yogyakarta
Kasus: Tipikor, korupsi
Tokoh Terkait
Para Ahli Hukum Pidana Eksaminasi Putusan Kasus Impor Baja
TVOneNews.com Jenis Media: News
Jakarta, tvOnenews.com - Perkara dugaan korupsi Kasus Impor Baja memang telah diputus di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 27 Juli 2023 lalu. Namun, banyak poin menarik dari putusan tersebut baik dari tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta hingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pada tingkat pertama, pemilik PT Maraseti Logistik Indonesia (MLI) Budi Hartono Linardi divonis pidana selama 12 tahun denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dikenakan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp91,3 miliar.
Budi dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 18 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
PT DKI Jakarta kemudian mengubah putusan tersebut menjadi pidana 8 tahun denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Budi juga dibebaskan pembayaran uang pengganti dengan alasan yang menikmati kerugian keuangan negara bukanlah dirinya, tetapi 6 perusahaan impor baja. Perusahaan Budi sendiri hanya merupakan penyedia jasa impor.
Setelah membaca putusan baik tingkat pertama maupun pengadilan tinggi, memang ditemukan banyak hal menarik yang bisa dibahas dari sisi hukum. Untuk itu, 6 Ahli tertarik melakukan eksaminasi putusan ini yaitu Mahrus Ali, Muzakkir dari UII, Chairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rocky Marbun dari Universitas Pancasila, Prof Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang, dan Prof Amir Ilyas dari Universitas Hasanuddin.
Ada sejumlah kesimpulan hasil eksaminasi, terutama mengenai Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor. Para eksaminator berpendapat pengenaan Pasal ini kurang tepat, khususnya berkaitan dengan unsur “merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Diketahui dari penghitungan BPKP kerugian keuangan negara dalam perkara ini lebih dari Rp1 triliun dan perekonomian negara sebesar Rp22 triliun.
Sementara Rp91 miliar merupakan fee yang diperoleh PT MLI untuk mengurus jasa impor.
“Uang Rp1 triliun adalah kewajiban bea masuk kepabeanan dan pajak-pajak lain yang seharusnya dibayarkan kepada negara oleh 6 perusahaan yang meminta bantuan kepada terdakwa untuk memperoleh surat penjelasan,” ujar Mahrus.
Belakangan diketahui jika impor baja yang dimaksud adalah barang bebas bea masuk, sehingga negara tidak dirugikan dalam impor ini.
Kemudian mengenai kerugian perekonomian negara, menurut Mahrus juga lemah indikatornya. Sebab, tidak ada indikator pasti mengenai penghitungannya dan hal ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyebut angka penghitungan kerugian perekonomian negara harus pasti.
“Timbulnya kerugian keuangan negara termasuk kerugian perekonomian negara harus nyata dan pasti jumlahnya,” ujar Mahrus saat menjelaskan hasil eksaminasinya di Horison Riss, Yogyakarta, Sabtu (4/11/2023).
Mayoritas para eksaminator juga mempunyai pendapat yang sama jika frasa “kerugian keuangan negara atau keuangan negara” dalam perkara ini tidak tepat. Pendapat menarik diutarakan Prof Amir Ilyas yang mengibaratkan perkara ini dengan membayar pajak kendaraan bermotor.
Menurutnya, jika memang benar kerugian keuangan negara akibat tidak masuknya penerimaan negara melalui bea masuk impor, maka akan ada penafsiran ada uang yang seharusnya milik negara dan itu tidak masuk ke negara, sehngga akan dianggap sebagai kerugian keuangan negara. (ebs)
Sentimen: negatif (100%)