Sentimen
Negatif (99%)
6 Nov 2023 : 00.20
Informasi Tambahan

Institusi: Imparsial

Kab/Kota: Gunung, Sukabumi, Jayapura

Kasus: HAM, nepotisme, korupsi

Partai Terkait

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis: Putusan Usia Capres Cawapres Basis Nepotisme dan Dinasti

6 Nov 2023 : 00.20 Views 11

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis: Putusan Usia Capres Cawapres Basis Nepotisme dan Dinasti

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi tentang usia calon presiden-calon wakil presiden menjadi basis nepotisme dan dinasti. Putusan itu juga dinilai bukan untuk kepentingan anak muda dan menjadi tanda kehancuran demokrasi serta mencederai Pemilu.

Baru-baru ini, Handesblatt, media massa asal Jerman menyoroti langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo yang maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.

Menurut Handesbaltt, majunya Gibran sebagai Cawapres dipandang sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media dari Amerika Serikat.

"Kami memandang, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024," kata Julius Ibrani mewakili koalisi dalam keterangan tertulis bersama, Sabtu, 4 November 2023.

Baca Juga: Deretan Perusahaan BUMN yang Buka Lowongan Kerja November 2023, Lengkap dengan Link Daftar

Putusan MK yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka merupakan puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran tersebut telah banyak diangkat oleh sejumlah pakar dan analis politik baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.

Secara tegas, putusan itu tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan bagi kepala daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun.

Menurut koalisi, hanya Gibran yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan tersebut ditujukan untuk kepentingan politik putra presiden sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Pergantian Panglima TNI oleh Jokowi: Ada Fenomena Nepotisme

Konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK (paman dari Gibran) sekaligus Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90 tersebut, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim.

Tindakan itu juga merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang. Hal itu dipandang koalisi merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia.

"Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme yang terang benderang terjadi," ujarnya.

Baca Juga: Imbauan Tak Digubris Parpol, Bawaslu Sukabumi Copot APS yang Melanggar

Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa. Hal tersebut merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

Praktik nepotisme antara penguasa dan MK itu merupakan bentuk perusakan pada  demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan. Dalam perspektif Pemilu, proses awal Pemilu yang diwarnai putusan MK tersebut tentu akan mencederai proses pemilihan yang bakal dilakukan.

Sedari awal, kekuasaan dinilai sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya. Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis setelah putusan MK.

Baca Juga: Prabowo Tak Hadiri Aksi Bela Palestina di Monas, Ini Alasannya

Hal itu terjadi, menurut koalisi, karena sejak dini penguasa telah memperlihatkan dan mempertontonkan tangan tangan kekuasaan bekerja untuk mengintervensi satu  lembaga yudikatif yakni MK.

Intervensi kekuasaan pada lembaga negara lain pun sangat mungkin terjadi karena kepada MK saja hal itu sudah terjadi. Proses Pemilu sedari awal sudah cacat secara politik setelah putusan MK.

Koalisi menilai,  menjelang akan berakhir masa periode jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun “politik dinasti” yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan anaknya berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Baca Juga: Isu Putusan MK Bisa Jadi Alat Degradasi Prabowo-Gibran, Pengamat Beri Pandangan

"Kami menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan," tuturnya.

Untuk meresponsnya, dibutuhkan adanya bangunan gerakan prodemokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Jokowi yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis terdiri dari sejumlah lembaga, yaitu PBHI Nasional, Imparsial, WALHI, Perludem, ELSAM, HRWG, Forum for Defacto, SETARA Institute, Migrant Care, IKOHI, Transparency International Indonesia (TII), Indonesian Corruption Watch (ICW), KontraS, Indonesian Parlementary Center (IPC), Jaringan Gusdurian, Jakatarub, DIAN/Interfidei, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Inklusif, Fahmina Institute, Sawit Watch, Centra Initiative, Medialink, Perkumpulan HUMA, Koalisi NGO HAM Aceh, Flower Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lingkar Madani (LIMA), Desantara, FORMASI Disabilitas (Forum Pemantau Hak-hak Penyandang Disabilitas), SKPKC Jayapura, AMAN Indonesia, Yayasan Budhi Bhakti Pertiwi, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Tifa, Serikat Inong Aceh, Yayasan Inong Carong, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Aceh, Eco Bhinneka Muhammadiyah, FSBPI.***

Sentimen: negatif (99.9%)