Sentimen
Negatif (98%)
3 Nov 2023 : 06.33
Informasi Tambahan

Institusi: UPN Veteran Jakarta

Tinggal berharap agar MKMK depankan moralitas dalam putusan

3 Nov 2023 : 13.33 Views 2

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

Tinggal berharap agar MKMK depankan moralitas dalam putusan

Pengamat hukum tata negara dari FH UPN Veteran Jakarta Wicipto Setiadi mengatakan, ada baiknya semua pihak cermat membaca undang-undang tersebut. Yakni, dengan juga membaca Pasal 1 yang menjelaskan pengertian subjek dimaksud dari UU Kekuasaan Kehakiman.

Pada Pasal 1 ayat (5) menyebutkan, kalau hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan hakim konstitusi terdapat di pasal yang sama, tetapi di ayat (7) yang menyebutkan, kalau hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.

"Pada Pasal 17 hanya menyebutkan frasa hakim atau panitera. Bukan hakim konstitusi," jelas dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/11).

Hal itu kemungkinan karena adanya sifat dalam putusan MK, yakni final and binding. Sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan yang pertama dan terakhir.

Adapun soal proses yang sedang berlangsung di MKMK, dari sisi kewenangannya, MKMK hanya memeriksa dan memutus terkait dengan etika hakim konstitusi. 

"Katakanlah Ketua MK melanggar etik. Pasti yang akan dijatuhkan hukuman adalah orangnya. Apakah itu diberikan sanksi administrasi atau bahkan pemberhentian," ucap dia.

Sayangnya tidak ada aturan soal ketika hakim konstitusi diberhentikan karena melanggar etika, apakah keputusannya juga batal. Termasuk mekanisme proses mengubah atau membatalkan putusan yang telah dibuat MK.

Namun begitu, dia tetap berharap agar MKMK mengedepankan moralitas dalam pengambilan keputusan. Sebab putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 cenderung syarat kepentingan. Sehingga menjadi perbincangan publik yang tentunya mencemarkan nama MK.

Sementara, Dekan FH Unsoed M Fauzan menyebut, MKMK memang hanya memeriksa dan memutus terkait dengan pelanggaran kode etik, dan perlu diketahui bahwa tupoksi MKMK adalah menjaga keluhuran dan martabat hakim MK.

Tetapi, jika putusan MKMK ternyata memutuskan para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral, karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik. 

Atas putusan yang telah diambil, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, putusan itu tetap berlaku sesuai dengan hukum tata negara positif (yang sedang berlaku). Kedua, di atas hukum sebenarnya ada moralitas, maka hukum yang baik tentunya harus memperhatikan aspek moralitas. 

"Jika aspek moral yang menjadi pertimbangan, MKMK bisa saja keluar dari pakem hukum tata negara positif, dan menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik putusannya tidak mengikat. Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," kata dia. 

Itulah sebabnya, dia mengusulkan perlu ada kajian kembali mengenai keputusan MK yang final dan mengikat. Ke depan jika ternyata putusan MK dijatuhkan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik, maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan, dan pembatalannya ada dua cara, pertama oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik.

Sentimen: negatif (98.3%)