Putusan Syarat Usia Capres-Cawapres Belum Tentu Lahirkan Pemimpin Muda Berkualitas
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan syarat batas usia capres-cawapres yang diturunkan menjadi 35 tahun dinilai belum tentu memicu lahirnya sosok politikus muda yang berkualitas.
"Putusan MK tersebut tidak serta merta memberikan garansi akan lahirnya politisi muda berkualitas, selama tidak dibarengi dengan komitmen partai politik untuk membudayakan demokrasi internal partai," kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Siti Zuhro, dalam keterangan yang dikutip pada Kamis (26/10/2023).
Siti mengatakan, jika mekanisme kaderisasi dan penanaman nilai-nilai moral dan etika dalam berpolitik tak dilakukan oleh partai politik maka jangan berharap muncul politikus dari kalangan generasi muda atau tua yang berkualitas, dan dianggap pantas menjadi pemimpin oleh masyarakat.
Malah menurut dia, kaderisasi parpol yang tidak menanamkan etika berpolitik hanya melanggengkan dinasti politik atau politik familisme.
"Absennya komitmen jangka panjang partai politik untuk melahirkan kader-kader muda berkualitas justru dapat melanggengkan politik familisme, yaitu perluasan keluarga sebagai lembaga, ideologi, ikatan, praktik-praktik dan hubungan sosial dalam lembaga publik (negara) guna memenuhi tuntutan (kepentingan pribadi) mereka," papar Siti.
Baca juga: Survei Indikator: Sebagian Suara Pendukung Prabowo Beralih ke Anies Usai Putusan MK
MK mengabulkan sebagian putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan dasar norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi (intolerable).
Dalam putusan itu MK mengubah ketentuan batasan usia capres dan cawapres yang semula diatur “berusia paling rendah 40 tahun”, menjadi “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Siti mengatakan, putusan itu bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Pasal itu berbunyi, “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Siti menambahkan, putusan MK itu juga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Baca juga: Usut Pelanggaran Etik di MK, Majelis Kehormatan Temui 9 Hakim MK Senin
Siti mengatakan, aturan batasan usia capres atau cawapres sesungguhnya merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sama halnya dengan sistem pemilu yang sudah diputuskan oleh MK dalam putusan terdahulu.
Akan tetapi, kata Siti, yang menjadi persoalan adalah MK memutuskan syarat usia capres dan cawapres bukan merupakan open legal policy, sehingga mereka merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Sebagai ketentuan yang bersifat open legal policy, kata Siti, semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres diubah atau dibuat oleh pembuat undang-undang (DPR bersama-sama dengan presiden).
Prosesnya pun harus sesuai kaidah pembuatan legislasi yang berlaku, secara saksama, penuh dengan pertimbangan dari segala aspek, terbuka, transparan, akuntabel, inklusif dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.
Siti mengatakan, secara substansi, penambahan frasa “…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, dapat memberikan kesempatan pada kelompok muda.
Baca juga: Putusan Etik Bisa Batalkan Putusan MK soal Syarat Usia Capres-cawapres? Ini Kata Jimly
Sentimen: positif (88.6%)