Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UII
Aspek politis selimuti perkara syarat usia capres/cawapres
Alinea.id Jenis Media: News
"Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official). Sedangkan, amar putusannya justru jauh menjadi “ … atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala
daerah”. Dengan begitu, putusan tersebut telah menyebabkan MK “terjerembab” pada posisi positif legislator yang dominan dan rentan akan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan kehakiman)," papar dia.
Apalagi konstruksi hukum yang dibangun MK dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 sangat dangkal dan amat mudah dirobohkan, bahkan semestinya tidak executable. Terlihat dari tidak padunya antara amar putusan dengan pertimbangan yang dibangun oleh para hakim.
"Sebenarnya hakim yang memutus sesuai dan persis dengan amar putusan hanya tiga hakim. Di lain pihak terdapat tiga hakim yang tegas menolak melalui pendapat berbeda (dissenting opinion), dan satu hakim menyatakan seharusnya perkara ini tidak dapat diterima (NO). Sedangkan dua hakim yang juga dianggap mengabulkan sejatinya memiliki alasan berbeda (concuring opinion), yang pendapatnya tidak sama persis dengan tiga hakim yang mengabulkan. Sehingga, posisi lima hakim yang mengabulkan permohonan, dua di antaranya seolah sangat dipaksakan. Artinya, amar putusan No. 90/PUU-XXI/2023 pada dasarnya hanya dikabulkan tiga hakim saja," papar dia.
Sementara peneliti PSHK FH UII lainnya Aprillia Wahyuningsih mengatakan, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus tanpa proses persidangan yang matang, holistik, objektif dan berbobot. Terbukti hanya diputus dengan membaca permohonan pemohon, mendengar keterangan pemohon, dan memeriksa bukti-bukti pemohon saja.
"MK “dengan pede-nya” menyatakan “permohonan a quo telah jelas maka dengan mendasarkan pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK dimaksud.” Dengan demikian, perkara ini jelas terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat diputus, tanpa mendengar keterangan berbagai pihak dan tanpa pertimbangan yang matang, holistik, objektif dan berbobot," terang dia.
Dia khawatir, pendirian yang dibangun MK ini memberikan preseden buruk dan noktah hitam dalam perjuangan konstitusional, bahwa sebagai lembaga anak kandung reformasi yang seharusnya melestarikan demokrasi dan menjunjung tinggi konstiusi justru tidak mengindahkan prinsip demokrasi dan batasan kewenangan sebagai ruh dari konstitusi. Hal ini rentan sebagai titik balik bagi rakyat untuk mulai menafikan penghormatan yang layak terhadap MK ke depannya.
Pemberian legitimasi perubahan syarat calon presiden/wakil presiden melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang jelas-jelas mengabaikan logika hukum yang telah dibangun oleh MK sendiri melalui putusan-putusan terdahulu, dengan demikian tidak berlebihan memunculkan pendapat akademis bahwa telah terjadi legalisme otokratis, bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi perbuatan/kepentingan para otokrat.
Untuk itu, PSHK FH UII merekomendasikan agar penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) semestinya tetap tunduk pada konstitusi dan tidak menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan/menguntungkan segelintir orang.
Kemudian, Hakim Konstitusi seyogianya menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dengan memperlihatkan sikap yang teguh dan konsisten terhadap penyelenggaraan negara yang konstitusional melalui putusan-putusan yang dibangun atas pertimbangan matang, holistik, objektif, berbobot, logis, dan berkeadilan.
"Ketiga, akademisi dan masyarakat sipil harus tetap memberikan pengawalan dan counter public untuk menciptakan kewarasan dan kejernihan dalam berpikir, serta agar penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan hukum dan keadilan," papar dia.
Sentimen: netral (66.7%)