Sentimen
Negatif (93%)
17 Okt 2023 : 15.55
Informasi Tambahan

Kasus: HAM

Partai Terkait

MK Kabulkan Gugatan, Jokowi Dinilai Ubah Kekuasaan Eksekutif Jadi Kekuasaan Politik

17 Okt 2023 : 22.55 Views 3

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

MK Kabulkan Gugatan, Jokowi Dinilai Ubah Kekuasaan Eksekutif Jadi Kekuasaan Politik

JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai Presiden Joko Widodo telah mengubah kekuasaan eksekutif menjadi kekuasaan politik.

Hal ini disampaikan Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Menurut Julius, perubahaan kekuasaan tersebut menjadikan kekuasaan yudikatif dan legislatif berada di telapak kakinya dan harus mengutamakan kepentingan eksekutif.

"Terbukti, tidak ada evaluasi dari DPR RI selaku legislatif terhadap kinerja Presiden Jokowi, bahkan kongkalikong mengebiri rakyat lewat kebijakan yang anti-HAM seperti KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU PSDN (komponen cadangan), dan lainnya yang ditolak di MK," kata Julius dalam siaran pers, Selasa (17/10/2023).

Baca juga: Ketika Hakim Konstitusi Saldi Isra Bertanya, Quo Vadis MK?

Julius menyebut perubahan kekuasaan tersebut telah melahirkan jargon seperti "kalau tidak puas terhadap undang-undang, silakan ajukan ke MK".

Atas dikabulkannya gugatan batas usia capres dan cawapres, Julius menyebut MK kini jatuh pada titik nadir terendah.

Baca juga: Nilai Putusan MK Problematik, Yusril Sarankan Gibran Tak Maju Cawapres

"Konflik kepentingan antara Anwar Usman (Ketua dan hakim MK) selaku adik ipar Presiden Jokowi, Ketua PSI (Kaesang Pangarep), dan Gibran yang namanya disebut dalam permohonan nomor 90 sama sekali tidak digubris apalagi dinyatakan sebagai pelanggaran etik," tegas dia.

Sebelumnya, MK menyatakan mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Gugatan tersebut dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.

Gugatan itu mempersoalkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden pada pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.

Baca juga: Ubah Syarat Capres-Cawapres, MK Disebut Promosikan Kejahatan Konstitusional

Pasal tersebut sedianya berbunyi “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

Dalam pembacaan putusan, Ketua MK Anwar Usman juga menyatakan, bahwa Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

-. - "-", -. -

Sentimen: negatif (93.8%)