Sentimen
Negatif (99%)
17 Okt 2023 : 17.37
Informasi Tambahan

Kasus: korupsi

Partai Terkait

Denny Indrayana: Jangan Biarkan Gibran Jadi Paslon di Pilpres

Keuangan News Keuangan News Jenis Media: Nasional

17 Okt 2023 : 17.37
Denny Indrayana: Jangan Biarkan Gibran Jadi Paslon di Pilpres

KNews.id – Hari ini mata publik tertuju kepada lembaga tinggi negara yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Hari ini, MK akan membacakan putusan gugatan Undang-Undang Pemilu soal uji materi Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Satu di antara yang menarik perhatian publik lantaran permohonan disebut sebut mengandung motif politik praktis untuk meloloskan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi bakal calon wakil presiden.

Sebagai informasi saja, Gibran yang saat ini menjadi Wali Kota Surakarta lahir pada 1 Oktober 1987. Saat pilpres diselenggarakan pada Februari 2024, usia Gibran adalah 37 tahun.

Jika mengacu pada ketentuan Pasal 169 Huruf q yang mensyaratkan usia capres dan cawapres minimal 40 tahun, maka Gibran belum cukup umur. Guru besar hukum tata negara Denny Indrayana memprediksi MK bakal mengabulkan permohonan tersebut.

Menurutnya, jika benar MK mengabulkan permohonan ini, maka ada upaya meloloskan seseorang maju di Pilpres 2024.

Berikut ulasan lengkap Denny Indrayana menyikapi MK yang bakal memutus perkara tersebut.

Hari ini, Senin 16 Oktober pukul 10 pagi, Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres. Ini adalah ujian kesekian yang berpeluang merusak tatanan Negara Hukum Indonesia.

Jika MK salah memutuskan, maka dampaknya akan sangat dahsyat. Negara hukum Indonesia akan benar-benar masuk ke dalam jurang mematikan yang teramat dalam.

Figur utama yang paling bertanggung jawab dengan keterpurukan itu adalah Presiden Jokowi. Tentu, Jokowi tidak sendirian melakukan kesalahan.

Tetapi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi punya segala resources, serta Nakhoda yang menentukan arah politik-hukum perjalanan bangsa.

Sayangnya, sejauh ini, Jokowi membawa Indonesia ke pinggir jurang negara tanpa hukum (lawless state). Dimana hukum direndahkan kewibawaannya, dilecehkan logikanya, dan dihinakan akal sehatnya.

Jokowi mengawalinya dengan membiarkan pelemahan KPK, melalui tiga gelombang tsunami yang mematikan. Satu, dengan kekuatan legislasi Presiden, dan kekuatan koalisi mayoritas mutlak parpol-parpolnya di DPR, Jokowi membiarkan pelumpuhan KPK melalui perubahan UU KPK, yang menyebabkan KPK hidup enggan mati tak mau.

Dua, melalui pansel yang dibentuknya, Jokowi memilih Pimpinan KPK yang bermasalah secara etika, bahkan belakangan diduga melakukan tindak pidana pemerasan. Tiga, Jokowi membiarkan para pejuang KPK yang sebenarnya dipecat melalui rekayasa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), yang amat bermasalah.

Akibatnya sangat dahsyat. KPK bukan lagi lembaga pemberantasan korupsi, tetapi berubah 180 derajat menjadi lembaga yang diduga pimpinannya melakukan pemerasan atas kasus korupsi. Ironis dan tragis!

Pastinya, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab, karena Pimpinan KPK yang sekarang bermasalah secara etika dan disinyalir koruptif adalah hasil dari pansel yang dibentuknya sendiri.

Setelah KPK dilemahkan, Jokowi pun membiarkan Mahkamah Konstitusi dilumpuhkan. Bukan hanya membiarkan MK bersalin rupa menjadi Mahkamah Keluarga, dengan Ketua MK yang menjadi iparnya. 

MK pun dibiarkan rusak kemerdekaannya, melalui pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto, karena memutuskan batal (secara bersyarat) UU Ciptaker.

UU yang dibangga-banggakan Jokowi sebagai salah satu maha karyanya. MK yang sekarang ada, sayangnya bukan lagi MK yang berwibawa dan merdeka.

Putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK jelas problematik, dan kental upaya kontrol atas penanganan kasus korupsi menjelang Pilpres 2024.

Putusan UU Ciptaker yang terakhir, merusak logika kewarasan konstitusi, karena mencari-cari dasar argumen tentang kegentingan yang memaksa, tanpa persetujuan DPR atas perpu pada masa sidang DPR berikutnya.

Dengan kadar kualitas ”Negarawan” yang semakin merosot, tidak mengherankan jika Ketua MK Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari penanganan permohonan syarat umur capres-cawapres.

Saya telah secara resmi mengajukan laporan dugaan pelanggaran etika itu pada 27 Agustus 2023, dan hingga kini tidak ada kabar tindak lanjutnya.

Padahal, adalah fakta sosial yang tidak terbantahkan bahwa, uji konstitusionalitas syarat umur itu berkaitan langsung dengan potensi keluarganya, yaitu Gibran Jokowi, untuk menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.

Di seluruh belahan dunia manapun, adalah aturan etika baku, hakim harus mundur jika perkara yang ditanganinya berkaitan langsung dengan keluarganya.

Bahwasanya hakim konstitusi yang lain pun membiarkan, alias tidak mendorong mundurnya Ketua MK Anwar Usman, menunjukkan ada persoalan etika yang akut—mungkin didasari ketakutan—pada mayoritas jajaran hakim konstitusi, tentu tidak semuanya.

Hal itu dikonfirmasi lagi dan terbukti dengan dipilihnya kembali Anwar Usman sebagai Ketua MK pada pemilihan beberapa saat yang lalu.

Maka, hanya dengan menolak uji konstitusionalitas syarat umur, MK bisa menyelamatkan diri dari kehancuran.

Jika permohonan itu dikabulkan, apalagi kemudian diikuti dengan persetujuan Jokowi bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi paslon dalam Pilpres 2024, maka hampir sempurnalah kerusakan negara hukum Indonesia.

Jangan salah, saya tidak menutup hak Gibran Jokowi untuk berpolitik. Ataupun menutup hak politik keluarga Jokowi yang lain, apakah Ketua Umum (kilat) PSI Kaesang Pangarep, ataupun sang mantu Walikota Bobby Nasution.

Persoalannya, saya mempercayai prinsip meritokrasi dalam berpolitik.

Saya tidak yakin, Gibran, Kaesang, dan Bobby mendapatkan posisi politiknya karena kapasitas dan integritasnya, tetapi lebih karena—permisi saya gunakan bahasa jujur, rekayasa politik yang dilakukan Jokowi dan kroni pendukungnya.

Bahkan, dari membaca dokumen yang ada, saya juga meyakini, bahwa modal usaha bisnis kuliner Gibran dan Kaesang, punya persoalan jika dilihat dari kacamata antikorupsi.

Karena, sebagaimana laporan Ubedilah Badrun, terendus merupakan gratifikasi dari oligarki bisnis yang—lagi-lagi dalam bahasa terang: membeli pengaruh politik dengan menyuap keluarga Jokowi, melalui bisnis anak-anaknya.

Maka, kembali kepada putusan MK pagi-siang ini. Nasib negara hukum bukan hanya ada pada MK, tetapi pada kemampuan Jokowi untuk sadar dan tidak cawe-cawe serta menghentikan bangunan politik dinasti keluarganya dalam Pilpres 2024.

Itu sebabnya, sejak beberapa waktu terakhir saya terus menyampaikan kritik terang dan terbuka: ”Jokowi Don’t Cawe-Cawe, Stop Dynasty”.

Jika benar MK mengabulkan permohonan syarat usia capres-cawapres, maka itu sebenarnya adalah putusan yang layak dikritik keras, karena merusak kewarasan konstitusi, dan menguatkan MK telah bersalin rupa dari penjaga konstitusi menjadi penjaga the family and dynasty Jokowi.

Dalam kondisi demikian, Jokowi kembali harus disadarkan dan diinsafkan, untuk tidak makin membunuh negara hukum Indonesia.

Caranya mudah, jangan biarkan anaknya Gibran Jokowi menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024. Maka, Jokowi akan dikenang meninggalkan legasi konstitusi yang terhormat dan bermartabat.

Jika Jokowi tidak tahan godaan madat kekuasaan, maka Jokowi akan dikenang sebaliknya, gila hormat dan syahwat berkuasa.

Kita lihat drama dan intrik politik menjelang Kamis ini, saat paslon capres-cawapres didaftarkan ke KPU. Kemana sejarah akan melangkah. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi Negara hukum Indonesia, dari pemimpin yang gila kuasa, dan harta.  (Zs/Trbn)

 

 

 

Sentimen: negatif (99.8%)