Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Tanah Abang
Tokoh Terkait
Mewujudkan persaingan sehat usai TikTok Shop tutup
Alinea.id Jenis Media: News
Menurutnya, berjualan di TikTok Shop dengan cara siaran langsung sangat besar keuntungannya dibandingkan berjualan secara offline.
“Karena di Tiktok juga ada afiliator bagi yang berjualan di TikTok Shop, terus juga ada sistem keranjang kuning,” tuturnya.
Selain itu, ujar Anton, relasi pembelinya pun lebih luas. Meski begitu, ia tak membantah, ada kelemahan dalam berjualan di TikTok Shop.
“Misalnya, kita menaruh keranjang kuning, tapi orang tidak ada yang mau check out,” ujarnya.
“Kita nge-live dan ngomong sampai tiga jam, ternyata enggak ada yang check out juga di hari yang sama. Rata-rata mereka check out-nya esok hari.”
Tak berdampak bagi konsumen
Kini, konsumen seperti Luthfita dan Nabila, serta pedagang seperti Anton, tak bisa lagi menggunakan TikTok Shop dalam urusan jual-beli online. Sebab, dalam keterangan resminya, TikTok Shop tak lagi memfasilitasi transaksi e-commerce di Indonesia per tanggal 4 Oktober 2023 pukul 17.00 WIB.
“Prioritas utama kami adalah untuk menghormati dan mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia,” tulis pernyataan resmi TikTok Shop.
Pihak TikTok pernah mengklaim ada enam juta pelaku UMKM yang berjualan di TikTok Shop. Di samping itu, ada hampir tujuh juta kreator affiliate yang mencari pendapatan dari TikTok Shop.
Sebelumnya, terbit Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang diteken Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan pada 26 September 2023.
Dengan keluarnya beleid itu, pemerintah meminta TikTok untuk menutup fitur dagangnya. Kebijakan itu juga melarang adanya social commerce di Indonesia. Gaduh TikTok Shop sendiri dimulai ketika banyak pedagang offline, terutama di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, “teriak” lantaran sepi pembeli.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, tutupnya TikTok Shop membuat konsumen kehilangan peluang berbelanja lebih murah. Namun, ia tak melihat bakal ada perubahan signifikan bagi konsumen.
“Sifatnya konsumen ini, mereka hanya melihat kalau ada yang murah di toko atau platform B, ya mereka akan lari ke platform B,” kata Esther, Selasa (3/10).
“Jadi, misalnya TikTok Shop ini tidak ditutup atau tidak dilarang, nanti dia akan ditinggalkan konsumen juga, jika barang-barang yang dijual di TikTok Shop ini mahal.”
Esther pun tak melihat penutupan TikTok Shop berpengaruh besar bagi konsumen. “Mereka masih bisa berbelanja di tempat lain karena TikTok Shop hanya satu dari beberapa media yang menawarkan online shopping,” ujarnya.
Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menuturkan, usai TikTok Shop tutup, konsumen akan semakin banyak akses untuk berbelanja.
“Semakin menarik bagi konsumen, artinya banyak pilihan juga. Apakah akan belanja melalui platform A, B, C, itu pilihan,” tutur Agus, Senin (2/10).
Ia percaya, pengaruh bagi konsumen—yang kehilangan satu akses membeli barang—yakni TikTok Shop, tak akan berlangsung lama. Sebab, karakteristik konsumen dalam berbelanja sifatnya cair.
“Artinya, konsumen mudah beradaptasi dengan pasar atau sistem belanja,” ucap dia.
“Jadi, ketika satu platform tidak dibolehkan dalam jangka pendek, mungkin konsumen akan kehilangan tempat, tetapi konsumen akan bergeser kepada platform yang lain.”
Di sisi lain, bagi pedagang offline, Agus memandang, perlu kreatifitas untuk menggaet konsumen di media digital. “Ini menjadi tantangan karena belanja secara digital itu kan sebuah keniscayaan,” kata dia.
“Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi pelaku usaha untuk mengambil ceruk pasar digital.”
Senada dengan Agus, Esther mengungkapkan, walau TikTok Shop sudah tutup, pedagang offline harus tetap mengikuti perkembangan zaman. Karena saat ini konsumen lebih senang berbelanja daring.
“Kalau mereka tidak buka toko online, ya saya rasa omzetnya tetap akan turun,” ucap dia.
“Ketika bisnis tidak mengikuti perkembangan zaman, di mana digital ekonomi masif, ya saya rasa akan dilindas zaman.”
Berkeadilan dan sehat
Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan (Kemendag) Rifan Ardianto mengatakan, dengan terbitnya Permendag 31/2023 pemerintah bertujuan mengatur e-commerce, sehingga menjadi ekosistem yang adil dan sehat.
“Pemisahan antara media sosial dan e-commerce menjadi salah satu upaya mengatur agar tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data, yang merugikan dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,” ujar Rifan, Rabu (4/10).
Menurut Rifan, konsumen dan pelaku usaha masih dapat menggunakan media sosial sebagai wadah untuk mempromosikan barang dan jasa. Bagi Rifan, hal itu bakal berpengaruh positif.
“Secara akses pasar akan memberikan ruang yang lebih besar bagi konsumen dan pedagang karena dapat memanfaatkan berbagai akses untuk bertransaksi di berbagai marketplace,” katanya.
“Dan dimungkinkan akan membantu mempromosikan toko offline yang dimilikinya. Opsi transaksi perdagangan akan semakin terbuka lebar.”
Sementara itu, Agus mengatakan, kebijakan pemerintah perlu dihormati. Pemisahan antara media sosial dan e-commerce juga dilakukan banyak negara. Bahkan di China, negara asal TikTok sendiri.
“Di China itu juga sudah terpisah media sosial dengan e-commerce,” katanya. “Pemisahan ini yang memang menjadi pertimbangan pemerintah.”
Ia melanjutkan, keluarnya kebijakan pemerintah berdampak positif bagi konsumen dan pedagang lantaran dalam jangka panjang bakal mendapatkan kepastian hukum ketika bertransaksi.
“Yang penting karena pedagang-pedagang online secara jual-beli itu memang idealnya memiliki payung hukum dan juga izin usaha,” ujarnya.
“Karena ketika terjadi permasalahan konsumen dengan pelaku usaha, itu ada saluran untuk bisa mendapatkan penyelesaian dan win win solution.”
Di samping itu, Agus mengingatkan pemerintah tentang perdagangan lintas negara atau impor yang dijual secara daring dengan harga lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Supaya produk dalam negeri bisa bersaing, Agus menyarankan memudahkan perizinan dan pajak yang ringan, sehingga proses biaya produksi bisa ditekan.
“Nah, ini yang harus menjadi perhatian pemerintah agar walaupun ada barang impor atau tidak, barang dalam negeri ini juga dapat dijual dengan murah dan dapat memenuhi kebutuhan konsumen dari dalam negeri,” ucap Agus.
Terpisah, pemerhati teknologi, telekomunikasi, dan informatika Heru Sutadi memandang, kebijakan pemerintah tepat. Alasannya, saat ini platform marketplace yang ada memiliki aturan sangat rinci. Sedangkan social commerce semacam TikTok Shop seolah berada di luar aturan e-commerce.
“Padahal kan ketika dia menjual produk perdagangan melalui sistem elektronik, dia harus mengikuti aturan yang terkait dengan e-commerce,” ujar Heru, Senin (2/10).
“Dan untuk e-commerce ini kan banyak aturannya, yang pertama itu harus memiliki badan usaha tetap.”
Harga produk di TikTok Shop yang sangat murah, menurut Heru, terjadi lantaran tak dikenakan aturan perpajakan. Sebab, tak ada kejelasan apakah mereka memiliki badan usaha tetap di Indonesia atau tidak. Padahal, e-commerce lainnya yang ada di Indonesia punya kewajiban perpajakan.
“(Hal ini memicu) terjadinya ketidakadilan dan ketidaksehatan dalam kompetisi. Jadi ini yang harus kita kembalikan bahwa kompetisi ini harus dijalankan secara sehat,” kata dia.
Heru pun menganggap, penggabungan media sosial TikTok dengan e-commerce TikTok Shop mengundang kesimpangsiuran. Karena dua entitas berbeda menjadi satu.
“Banyak masalah yang agak membedakan antara media sosial dan e-commerce. Kalau media sosial mungkin kita bicara hoaks, ujaran kebencian, larangan pornografi, dan lain-lain berdasarkan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” katanya.
“Tapi kalau e-commerce kita bicara perdagangan.”
Nihilnya aturan, membuat Heru khawatir Indonesia hanya dijadikan pasar produk asing. Belum lagi ada kekhawatiran terkait penyalahgunaan data. Ia mengingatkan, banyak negara sudah mengambil kebijakan memblokir TikTok karena alasan keamanan siber.
“Indonesia memang agak terbuka. Kita enggak melakukan banned terhadap TikTok. Tapi (malah) memberikan kesempatan mereka hadir (dengan dua platform sekaligus),” ucapnya.
Terlepas dari itu, Heru berharap kompetisi dilakukan dengan sehat, baik perdagangan online maupun offline, serta perdagangan online dalam negeri dan luar negeri. “Jadi, kewajiban-kewajiban ini sama.”
Bagi Heru, solusi untuk TikTok adalah membuat aplikasi baru, serupa e-commerce lainnya yang sudah eksis. Memisahkan TikTok Shop dari TikTok.
“Kita yakin, TikTok itu kan perusahaan giant tech yang membuat hal-hal seperti itu bergerak dengan cepat,” kata dia.
Sentimen: positif (94.1%)